MODERAT DAN RAHMAT


 Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Pada pembahasan sebelumnya kita telah mendiskusikan manusia melalui pendekatan tematis Al-Qur’an. Pada pembahasan tersebut kita mendapati makna manusia yang beragam. Manusia secara fisik-biologis (Al-Basyar), manusia secara sosial (Al-Nas), dan manusia yang telah terhimpun padanya aspek badaniah, ruh, jiwa dan akal (Al-Insan). Ketiganya adalah satu kesatuan. Dalam kebersatuan itulah, antara ketiga bagian tersebut saling memengaruhi antara satu dan lainnya, namun demikian, naluri “Insan”-lah yang kita harapkan mendominasi pada diri kita semua. Yaitu, manusia yang berakal, beragama dan berkebudayaan. Yang mampu memosisikan dirinya secara seimbang dalam kehidupan sehari-hari.  

Keseimbangan atau berada di posisi tengah, seringkali diistilahkan dengan kata moderat. Dalam Bahasa Arab disebut sebagai “wasath” (berada di posisi Tengah). Berkaitan dengan hal tersebut, Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 143 menyebut kata itu, sebagaimana berikut: Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.

Ayat di atas, menjadi argumen teologis tentang konsep moderat yang dewasa ini seringkali diperbincangkan. Pada ayat di atas pula, kata “Ummatan Wasathan” menjadi kata kunci yang dimaknai sebagai “umat pertengahan”. Apa yang dimaksud umat pertengahan pada ayat di atas?, lalu apa kaitannya dengan Asbab Al-Nuzul ayat tersebut?. Dalam konteks apa istilah “Ummatan Wasathan” dijelaskan?. Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan kita diskusikan.

Pada wilayah makna, ada beberapa nama mufassir yang berusaha untuk memaknai istilah “Ummatan Wasathan” di atas, beberapa yang dapat saya himpun adalah: Tafsir Al-Wajiz karya Al-Wahidi, Tafsir Al-Nahr Al-Mad karya Abu Hayyan Al-Andalusi, Tafsir Al-Hidayah Ila Bulugh Al-Nihayah karya Makki bin Abi Thalib dan Mukhtashar Ibn Katsir, Ali Al-Shabuni dan terakhir Tafsir Al-Maraghi karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghi.

Dimulai dari Al-Wahidi, melalui Al-Wajiz-nya, Ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “wasathan” adalah adil dan terpilih. Secara lengkap Al-Wahidi menarasikan ayat ini dengan memperjelas posisi umat Islam sebagai yang diberi petunjuk. Bentuk petunjuk itu adalah sebuah jalan yang lurus. Jalan lurus itu adalah kehadiran Nabi Muhammad dan risalahnya. Melalui Rasul dan risalahnya itulah, Allah menjadikan umat Muhammad sebagai “umat pertengahan” yang “adil” dan “terpilih” agar umat Islam ini menjadi saksi atas perbuatan manusia atas umat-umat (terdahulu) yang juga telah diutus kepada mereka para nabi untuk menyampaikan risalah. Begitupun Nabi Muhammad yang menjadi saksi atas umatnya, tentang pembenaran kenabian umatnya kepadanya. Kenapa persaksian-persaksian ini penting?. Karena, Allah, di hari kiamat nanti akan mempertanyakan kepada umat-umat tentang: Apakah para Rasul telah menyampaikan risalah?. Atas pertanyaan ini, sebagian umat (terdahulu) menjawab: tidak satupun rasul darimu yang menyampaikan risalah. Lalu, Allah bertanya lagi kepada para Rasul, kali ini para Rasul menjawab: kami telah menyampaikan risalah-Mu Ya Allah, akan tetapi mereka mengingkarinya. Allah bertanya lagi, apakah kalian (Para Rasul) memiliki saksi?. Para Nabi menjawab, Iya. Mereka yang menjadi saksi itu adalah umat Muhammad, umat Muahammad bersaksi bahwa para Nabi itu telah menyampaikan risalah-Mu, akan tetapi kaum mereka mendustakannya. Umat yang mendustakan tersebut kemudian bertanya kepada Allah, Wahai Tuhan, mereka hidup setelah kami, bagaimana mereka mengetahui hal tersebut? Umat Muhammad mengatakan: Nabi kami, Nabi Muhammad memberitakannya kepada kami melalui Al-Qur’an. Lalu Nabi Muhammad menyucikan mereka (umatnya). Sampai di sini kita memahami bahwa makna adil dan terpilih itu adalah karena disebabkan oleh hadirnya Nabi dengan membawa risalahnya, sebagai petunjuk bagi siapapun yang mengikutinya. Kepengikutan atas Nabi, menuntun umat Muhammad untuk juga percaya pada kisah-kisah kenabian di masa lalu. Meneladani dan mengambil hikmah dari kisah-kisah tersebut.

Kata “wasathan” juga memiliki makna berada di antara dua kutub dan “pilihan keselamatan” menurut Abu Hayyan Al-Andalusi. Tidak jauh berbeda dengan Abu Hayyan Al-Andalusi, Ali Al-Shabuni berpendapat bahwa “wasathan” berarti terpilih dan terbaik, hal ini merujuk pada istilah Arab yang populer: “Awsathul ‘Arab” yang memiliki arti orang Arab yang terbaik, dinisbatkan kepada suku Quraisy. Rasul disebut pula sebagai “ Ka na Rasul Allah Saw. Wasathan fi Qawmihi, ay Asyrafuhum Nasaban/ Rasul itu adalah orang yang bersifat wasath pada kaumnya, yakni yang paling mulia secara nasab.” Sedang Makki ibnu Abi Thalib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “umat pertengahan” adalah umat yang diberi petunjuk dengan kedatangan Nabi Muhammad, yang membawa kebenaran, karena alasan itulah umat Islam adalah umat yang istimewa yang diberikan kekhususan sebagai umat yang adil dan terpilih.

Menjadi umat pertengahan yang adil dan terpilih itu adalah bentuk ideal dari umat Islam. Al-Maraghi menyebutnya sebagai umat yang tidak berlebihan dan tidak terlalu mengekang diri. Sesuatu yang sebenarnya menjadi fitrah kemanusiaan. Argumentasi yang disampaikan oleh Al-Maraghi sesungguhnya merujuk pada sebuah keadaan dimana Islam belum lahir. Menurutnya, pada masa itu umat manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah kelompok orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, ialah orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan ruhaniah secara total, sehingga meninggalkan sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan aspek dunia, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan jasmaniah mereka. Beberapa contoh bagi kaum ini adalah kaum Nasrani dan Shabi’in, selain itu terdapat pula beberapa sekte agama Hindu. Islam, dalam konteks ini, berusaha untuk memadukan antara dua kebutuhan tersebut, yakni kebutuhan ruhaniah dan jasmaniah, unsur hewan dan malaikat. Keduanya harus seimbang untuk mencapai posisi manusia dalam pengertian yang sempurna, yang mampu memenuhi kedua unsur tersebut.  Dengan demikian, maka menjadi muslim adalah berusaha untuk memberikan porsi yang seimbang dalam berbagai hal, baik yang berkaitan dengan aspek ruhani dan jasmani, tidak berlebihan dalam kehidupan dunia, tidak menutup diri dari hak-hak kemanusiaan, mampu menjalankan kewajiban kepada Allah, kepada diri sendiri, kepada keluarga dan orang lain.

Konteks selanjutnya setalah diskusi tentang apa yang dimaksud dengan “umat pertengahan” adalah soal pemindahan kiblat: “Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”

Berdasarkan sebab turunnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Shahihayn dari Al-Bara‘ yang terdapat dalam kitab Asbab Al-Nuzul karya Imam Al-Suyuthi, bahwa: “beberapa orang meninggal dan terbunuh ketika kiblat belum berpindah, maka apa yang harus kami katakan tentang mereka?” maka Allah menurunkan firman-Nya, “ Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”

Bagi Al-Wahidi, perpindahan kiblat ini merupakan ujian bagi kaum beriman untuk tetap mengikuti Nabi Muhammad. Kejadian ini memperlihatkan siapa saja yang tetap mengikuti rasul dan siapa yang berpaling dari rasul. Orang-orang yang berpaling dari Rasul akan mengira bahwa rasul sedang dalam kebingungan. Orang Yahudi kemudian mempertanyakan tentang status orang-orang yang sebelumnya telah shalat (beribadah) menghadap kiblat yang pertama (Bait Al-Maqdis)?, lalu, ayat ini turun untuk memberikan jawaban bahwa: Allah tidak mungkin menyia-nyiakan iman mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Berkaitan dengan ayat ini, Al-Maraghi berpendapat bahwa perpindahan kiblat ini adalah ujian bagi keimanan. Siapa yang beragama dengan penuh penghayatan, memahami hikmah dari peristiwa tersebut tentulah iman mereka akan semakin kuat. Begitu juga sebaliknya, mereka yang beragama tanpa penghayatan, tentu kejadian perpindahan kiblat ini akan melemahkan iman mereka.

Narasi Al-Baqarah: 143 mengandung dua konteks, pertama: umat Islam yang disebut sebagai umat pertengahan, dan kedua: tentang perpindahan kiblat yang menjadi ujian keimanan. Moderasi dalam kedua konteks itu menemunkan momentumnya. Sebagai umat yang terpilih, pengikut rasul pembawa risalah Allah, maka sikap moderat idealnya menjadi jalan yang ditempuh oleh masyarakat Muslim. Moderasi inilah yang menjadi semangat agama Islam. Memadukan dua unsur kehidupan: kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Bersikap moderat menjadi jalan yang hanya bisa ditempuh melalui cara berpikir menyeluruh dan penghayatan yang mendalam, terhadap syariat agama yang secara fitrah, menurut Al-Maraghi, mengakomodasi unsur lahiriah dan batiniah. Sama halnya, dengan keteguhan mengikuti Nabi, dalam kasus perpindahan kiblat itu, maka yang dikedepankan adalah kekuatan dalam memahami hikmah peristiwa perpindahan kiblat yang menyatukan kekuatan dan keimanan muslim terhadap Nabi.

Melalui narasi tafsir ayat di atas, kita menemukan nilai-nilai moderasi berdasarkan pendapat beberapa mufassir, di antaranya adalah: Islam adalah agama yang moderat, umat pertengahan adalah umat yang bersikap adil sehingga mereka menjadi umat yang terpilih karena mendapat petunjuk dari Nabi yang diutus Allah, moderasi adalah sikap muslim yang dapat dicapai dengan berpikir dan menghayati agama secara mendalam dan menyeluruh.

Sebagai nilai yang diserap dari Al-Qur’an, moderasi dalam beragama yang menjadi dasar berkehidupan dapat mewujud dalam bentuk-bentuk yang teramat luas, dua di antaranya yang dapat dijadikan contoh adalah: moderat dalam menjalani kehidupan, berarti keseimbangan dalam hal duniawi dan ukhrawi. Moderat dalam pengetahuan, berarti menggabungkan unsur zahir dan batin, syariat dan hakikat, dalil Naqli dan dalil ‘Aqli dalam memahami ilmu-ilmu keagamaan. Melalui jalan “moderasi” inilah, Islam menjadi rahmat bagi semesta. Wa Allahu A’lam bi Al-Shawab.

Gambar: eyooon.net


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BELAJAR BAHASA INGGRIS

TENTANG FILSAFAT DAN KEBERTUHANAN KITA