MANUSIA DAN IBADAH


Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Di tulisan sebelumnya, kita telah mendiskusikan “manusia” dalam maknanya sebagai makhluk biologis, dengan menggunakan kata kunci “Al-Basyar” yang terdapat di dalam surah Al-Kahfi: 110. Bagian ini merujuk manusia dalam bentuk kata yang lain, yaitu “Al-Ins”, yang seringkali dimaknai sebagai manusia yang telah memiliki ruh dan jiwa, yang menjadi khalifah di muka bumi. Dengan makna ini, lalu apa hubungannya manusia dengan fungsinya sebagai hamba di hadapan Tuhan, sebagai alasan bagi penciptaannya. Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Al-Dzariyat: 56).

Dalam rangka menjelaskan fungsi penghambaan manusia itu, Al-Sulami, seorang mufassir-sufi, berusaha untuk menjelaskan makna ayat di atas. Di awal kalimat dalam penafsirannya, Al-Sulami terlebih dahulu menjelaskan tentang tanda-tanda utama penghambaan kepada Allah. Dengan mengutip pendapat Muhammad bin Hamid, Al-Sulami menyampaikan lima pokok penghambaan, yaitu: secara bersungguh-sungguh menjalankan kebenaran tekad dan maksudnya (dalam beribadah); hati yang tidak berbelok dari kebenaran pada keinginan dan kebaikan dalam keindahan (yang dilakukannya); mengetahui aib (kesalahan/kekurangan) yang terdapat di dalam hatinya, lalu bersedia untuk memperbaikinya; memahami maksud dan tujuan penciptaan dirinya (untuk menyembah Allah); Menyembah Allah dengan dasar pengetahuan (makrifat) untuk menghalangi mereka dari ingin dilihat (riya‘) dan didengar (sum’ah) oleh orang lain.

Dengan memerhatikan pokok-pokok ibadah di atas, sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Sulami, serta kaitannya dengan fungsi penghambaan manusia atas Tuhan, ada kesan yang bisa kita tangkap, yaitu ibadah yang sesungguhnya bertumpu pada maksimalnya kemampuan untuk berusaha sebaik-baiknya dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Dengan demikian, manusia yang sudah memiliki ruh, jiwa dan juga akal dituntut untuk mendayagunakan segala kemampuannya itu dalam beribadah. Hal itu dilakukan agar pelaksanaan ibadah dapat terlaksana dengan baik dan tujuan-tujuan dari ibadah itu sendiri bisa dicapai. Dengan begitu manusia telah melakukan yang terbaik dari penghambaannya kepada Tuhan.

Pendapat yang diajukan oleh Al-Sulami di atas, menunjukkan bahwa ibadah adalah bukti ketundukan dan ketaatan hamba kepada Allah yang disembahnya. Sebagai satu-satunya tujuan penyembahan. Dan untuk melaksanakan itu, dibutuhkan kekhusyukan dan pengetahuan. Hati dan akal manusia berperan penting dalam beribadah kepada Allah. Pada titik inilah kata “Al-Ins” (manusia) yang digunakan oleh Al-Qur’an pada surah Al-Dzariyat: 56 menemukan signifikansinya, untuk menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk berakal, yang seharusnya mampu memahami tugas dan fungsinya, yaitu untuk menyembah Allah dengan pelbagai daya yang dimilikinya.

Hakikat tertinggi dalam ibadah adalah hanya karena Allah. Satu-satunya tujuan. Tidak ada tujuan yang lain. Jika demikian adanya, bagaimana dengan surga yang dijanjikan?, dan neraka yang menjadi ancaman?. Itu benar adanya. Tapi bukan menjadi tujuan dalam ibadah. Al-Sulami menjelaskan pertanyaan itu dengan mengutip pendapat Musa Al-Wasithi yang mengatakan: sesungguhnya Allah menciptakan dunia untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, menciptakan akhirat untuk balasan bagi hamba-Nya, meninggikan langit untuk menjelaskan kebesaran kerajaan-Nya, gunung yang ditinggikan sebagai penghormatan atas kekuatan-Nya, bumi yang diluaskan juga untuk menunjukkan kekuatan-Nya, sungai-sungai yang mengalirkan air adalah pernyataan kasih-Nya, surga yang diciptakan adalah untuk para kekasih-Nya, menunjukkan keutamaan-Nya, sedang neraka yang diciptakan untuk orang-orang yang menentangnya adalah bentuk keadilan-Nya, para Nabi diutus untuk mempertegas hujjah-Nya, semua yang diciptakan-Nya di dunia adalah tanda kebaikan dan kelembutan-Nya,  menjadi bukti ketuhanan dan kebesaran-Nya. Argumen-argumen ini, adalah argumen yang menuntut manusia untuk berpikir dan melakukan perenungan yang mendalam. Manusia dalam hal ini harus menggunakan akal dan hatinya untuk mampu mencapai pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah. Sebagai yang berakal, idealnya alam raya dan segala yang diciptakan-Nya telah mampun menjadi dalil atas ketinggian kedudukan-Nya, agar manusia bersujud dan tunduk dalam ibadah. Ibadah yang sebenarnya memberikan dampak yang baik bagi manusia di hadapan Allah.

Perintah Allah atas manusia dalam peribadatan sesungguhnya menjadi bukti kasih sayang-Nya. Ibadah yang dilakukan manusia adalah jalan untuk memeroleh kebaikan-kebaikan dalam hidup manusia itu sendiri. Berkaitan dengan ini, Al-Junayd berkata: Allah wajibkan bagi manusia untuk secara terus menerus dalam beribadah, Allah jamin bagi mereka kecukupan di dunia dan pahala yang berlimpah di akhirat.

Akhirnya, idealitas manusia secara spiritual didasarkan pada ketundukannya kepada Allah. Bentuknya adalah ibadah yang dilakukan dengan baik dan benar. Dengan demikian kualitas ibadah merupakan aspek penting dalam rangka menjalankan tanggung jawab manusia kepada Allah. Lebih penting lagi, menjadikan setiap perbuatan sebagai ibadah yang dilaksanakan tanpa beban, dengan gembira dan dengan keikhlasan. Wa Allahu A’lam bi Al-Shawab.

Gambar: naviri.org


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT