MUSLIM NUSANTARA: BERLAYAR, BERDAGANG DAN BERHAJI


Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Sarjana Belanda Snouck Hurgronje, seorang ahli di bidang budaya oriental  dan bahasa yang juga menjadi penasehat urusan pribumi untuk pemerintah kolonial Belanda mendaftar beberapa motif masyarakat muslim Nusantara dalam perjalanan ibadah haji ke tanah suci, di antaranya adalah:    menjalankan perintah agama, keinginan untuk memperluas ilmu agama, status sosial, kekecewaan/kejenuhan pada kehidupan tanah air yang masih terjajah dan ingin terus tinggal di Mekah (Dawam Multazam, 2017: 119-120). Meskipun motivasi-motivasi tersebut bisa dibenarkan sebagai sebuah fakta, ia belum sepenuhnya berhasil memberikan deskripsi utuh dari sudut pandang pelaku: jamaah haji Nusantara. Dalam catatan saya, ada dua hal pokok yang luput dari pengamatan Snouck , yaitu motif dan narasi ekonomi tentang konektivitas dagang Nusantara yang mensyaratkan hubungan multibangsa serta kerjasama-kerjasama bidang transportasi haji di dalamnya. Selain mewarnai dinamika sejarah haji Nusantara, dua hal yang saling berkait kelindan itu berhasil membentuk nalar beragama yang khas dan kaya, sebagai buah dari perjumpaan dan pengalaman global orang Nusantara dengan dunia lain dari berbagai kawasan.

Berhaji dengan Kapal Dagang: Momen Historis, Kesan dan Keterkaitan
Dalam buku Historiografi Haji Indonesia yang ditulis oleh Shaleh Putuhena,  disebutkan bahwa pada permulaan abad ke-16, telah ada muslim Nusantara yang berkunjung ke Hijaz untuk kepentingan berdagang sekaligus untuk berhaji (Fahham, 2015: 201). Data sejarah ini cukup untuk menjadi dasar pentingnya aktivitas perdagangan lintas negara dalam pelaksanaan ibadah haji di Nusantara. Sekurang-kurangnya, ia akan menjadi pintu awal diskusi untuk mendedah beberapa hal tentang bagaimana transportasi haji di masa lalu (era perdagangan jalur laut)?; apa yang dilakukan oleh para calon jamaah haji selama di perjalanan (kapal laut) menuju tanah suci Mekah?; mengingat panjangnya waktu perjalanan, apa kesan yang diperoleh oleh jamaah haji sepulang dari tanah suci dan apa pengaruhnya secara personal dan komunal?. Pertanyaan-pertanyaan ini secara historis-kronologis akan banyak kita diskusikan dengan memulainya dari peran, posisi dan arti penting Nusantara bagi kepentingan dagang berbagai kawasan, termasuk Timur Tengah.   

Untuk menjelaskan hubungan Nusantara dan jazirah Arab, baik soal dagang ataupun haji, dapat kita mulai dari Sumatera, terutama Aceh. Sebuah penelitian yang ditulis oleh Hilmy Bakar Almascaty, berjudul “Relasi Persia dan Nusantara pada Awal Islamisasi: Sebuah Kajian Awal Pengaruh Persia dalam Politik Aceh” berusaha untuk mengkritik pendapat orientalis Barat tentang Aceh. Dengan mengajukan temuan-temuan mutakhir kontemporer, Ia ingin menjelaskan masyarakat Aceh sebagai rumpun bangsa tua telah berhasil membangun identitas peradabannya sejalan dengan perkembangan zaman. Terdapat banyak peninggalan sejarah yang menyertai tumbuh kembang peradaban kerajaan Indra Pura, Indra Purba, Indra Patra dan lainnya. Bahkan, hubungan dagang Aceh dengan negara-negara di bagian Barat telah berlangsung sejak lama. India, Persia, Yaman, Mesir, Romawi dan Cina adalah bangsa-bangsa yang turut serta mempengaruhi pembentukan peradaban tinggi Aceh sebelum ketibaan Islam. Sebagai kawasan penting  perniagaan, Sumatera bahkan telah dikenal oleh bangsa Yunani purba dengan nama Taprobana. Sebuah naskah Yunani tahun 70 M, Periplous tes Erythras Thalasses menyebut Taprobana (Sumatera) sebagai pulau yang juga dijuluki chrysenesos atau pulau emas.  Sumatera telah menjadi tujuan para pedagang sekitar laut Tengah untuk mencari emas, kemenyan (Styrak Sumaterana) dan kapur barus (Dryobalanops Aromatica) yang pada saat itu hanya terdapat di Sumatera. Dalam kontestasi perdagangan itu, pedagang Nusantara menunjukkan posisinya sebagai penyedia komoditas lokal yang dimilikinya sampai ke Asia Barat, Timur Tengah hingga Afrika Timur. Ahli Geografi Yunani, Ptolemaios, juga menyebut Barousai (Barus) sebagai kawasan penghasil wewangian dari kapur barus yang menjadi jalur penting menuju Tiongkok (Almascaty, 2013: 56).

Data lain menambahkan,  bahwa sebelum Inggris menduduki Pulau Pinang pada tahun 1786, para pedagang Arab dan India Muslim juga telah melakukan kontak dagang di Aceh, dan beberapa pelabuhan kecil di Sumatera Barat dan Sumatera Timur, terutama setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis. Beberapa komoditas yang dibawa oleh pedagang-pedagang India muslim, antara lain: tenunan India, candu dan garam. Banyak dari kapal-kapal dagang yang berlayar di Lautan Hindia, juga melintasi pelabuhan Aceh, Pedir dan Sawang untuk memperoleh lada hitam dan pinang. Aceh sendiri menjadi penyuplai utama kain kapas India di kepulauan Melayu. Sebagai jalur perlintasan penting perdagangan antar bangsa, dan didukung ketersedian komoditas dan hasil hutan yang melimpah, Sumatera, khususnya Aceh telah memosisikan dirinya sebagai pemain penting dalam jaringan perdagangan dunia. Salah satu peran penting tersebut telah menjadikan Aceh sebagai penghubung antara Asia Tenggara dan Timur Tengah dalam berbagai kepentingan Keilmuan-keagamaan maupun perdagangan. Dampak langsung dari hal itu adalah, semakin terbukanya akses masyarakat muslim Nusantara untuk menunaikan ibadah haji. Sebuah peran yang terdeskripsikan dengan baik oleh Snouck Hurgronje dalam The Achehnese: “ ... we must remember that before sailing ships were replaced by steamers as a means of conveyance for visitans to Mekka, Acheh formed a great halting-place for almost all the pilgrims from the Eastern Archipelago. The Achehnese used to speak of their country with some pride as ‘the gate of the Holy Land’/ ...kita harus mengingat bahwa sebelum kapal layar digantikan dengan kapal uap sebagai kendaraan yang mengangkut calon jamaah haji ke Mekah, Aceh telah telah membuat tempat persinggahan yang besar untuk hampir semua jamaah haji dari kawasan Timur Nusantara. Orang-orang Aceh biasa berbicara tentang negeri mereka dengan bangga sebagai ‘gerbang tanah suci’ .” (Aiza Maslan, 2017: 42-43).

Rekam jejak maritim masyarakat Nusantara yang baik dari sisi interaksi internasionalnya, menjadi dasar terbukanya kesempatan muslim Nusantara pergi ke tanah suci dengan berbagai tujuan. Seperti telah disinggung pada awal tulisan ini, tentang beragamnya motivasi ke tanah suci, namun maksud yang paling kuat tersimpul pada tiga hal: berhaji, menuntut ilmu dan berdagang (Istikomah, 2017: 129). Ketiga tujuan yang harus ditempuh dengan cara yang sama, melakukan pelayaran dalam waktu yang panjang dan tidak mudah. Sebagai sebuah gambaran, Martin Van Bruinessen secara naratif menuliskannya dalam “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang Nusantara Naik Haji” (1990). Dalam catatan itu, Ia menggambarkan betapa sulitnya masyarakat muslim Nusantara yang berangkat haji sebelum adanya kapal api, perjalanan haji masyarakat muslim Nusantara dilakukan dengan menggunakan perahu layar yang sangat bergantung pada musim. Aceh, yang menjadi pelabuhan penting menuju tanah suci menjadi tujuan-tujuan orang-orang muslim Nusantara dari berbagai daerah di kepulauan Nusantara. Pentingnya posisi Aceh itulah yang menjadikannya kota dengan julukan “Serambi Mekah.” Menuju Serambi Mekah sendiri, menjadi titik awal kesulitan. Orang-orang Nusantara di luar kawasan Aceh terpaksa harus menumpang kapal demi kapal dagang untuk sampai ke Aceh, untuk selanjutnya menunggu kapal ke India. Jika sampai ke India, mereka lalu menunggu kapal yang menuju Yaman, atau langsung ke Jeddah. Sebuah perjalanan yang memakan banyak waktu, paling cepat setengah tahun untuk sekali jalan. Sebagai contoh, seorang Sultan Haji yang berangkat dan tiba di tanah air setelah satu tahun setengah dari keberangkatan terhitung cepat. Masalah lain adalah soal bahaya selama di perjalanan yang tidak kalah mengancam. Para jamaah haji harus menghadapi berbagai macam kegetiran. Mulai dari kapal yang ditumpanginya karam, penumpangnya tenggelam di pantai yang tidak dikenal. Belum lagi harta benda yang hilang dirampas perompak dan bajak laut, atau mungkin juga awak kapal itu sendiri. Sesampainya di Mekah situasi belum sepenuhnya aman, suku-suku Badui seringkali merampok kelompok jamaah haji menuju Mekah. Wabah penyakit yang melanda di perjalanan maupun di tanah Arab menjadi sesuatu yang kerap menghantui. Tidak mudah perjalanan haji orang-orang Nusantara, kepiluan yang jarang mereka lukiskan dalam catatan-catatan sejarah. Sebuah tanda ketabahan dan ketegaran jamaah Nusantara.

Atas kesulitan dan banyaknya ongkos yang dibutuhkan, banyak dari para calon jamaah haji yang menyiasatinya dengan cara berdagang. Sebuah Naskah Tuntunan Ringkas Manasik Haji Karya K.H. Bisri Mustofa akan menjelaskan tentang itu, selain hal ihwal perbekalan jamaah haji Nusantara yang tidak dibatasi dalam perjalanan menggunakan kapal laut. Menurutnya, para jamaah biasa membawa pakaian dan koper besar untuk menyimpan makanan. Tidak jarang koper yang digunakan itu diisi barang-barang yang bisa dijual di tanah suci. Ia sendiri membawa koper berukuran panjang 1 m, lebar 70 cm, dan tinggi 80 cm, Ia memuat 20 lembar sarung dan 40 pasang sendal jepit. Melakukan aktivitas dagang dengan menjual barang-barang yang bisa dijual kepada penduduk tanah suci dan juga kepada sesama jamaah haji dari berbagai negara (Fatkhullah, 2013: 72) menjadi sesuatu yang lazim dilakukan.

Dari sisi personalitas pedagang, jamak dipahami bahwa semakin akrab dan komunikatif pedagang, maka akan semakin besar potensi terjualnya barang (keuntungan) dalam perniagaan. Saya menduga kuat, itu sebagian dari citra orang Nusantara selama berlayar menuju Haramain. Dalam catatannya, Ia menjelaskan pula kondisi kapal yang ditumpangi para jamaah yang dipenuhi ribuan orang dan membuat kapal lebih mirip dengan pasar terapung. Suasana gaduh dan ribut. Ada kalanya terjadi konflik di antara jamaah yang memang berbeda latar belakang dan kebiasaan. Namun, demikian apa yang terjadi dianggap sebagai bagian dari ujian dan cobaan dalam proses menuju ibadah haji.  Sehingga mengedepankan sifat sabar, toleransi dan banyak berdoa adalah sesuatu yang wajib dan harus. Di samping kisah derita, terdapat pula pengalaman berkesan para jamaah, oleh karena terjalinnya persaudaraan setelah sekian lama bersama-sama di kapal dalam menempuh perjalanan jauh ke tanah suci. Tidak jarang, kebersamaan tersebut menjadi media belajar mengaji, lomba mengaji, hingga menjodohkan anak ataupun sanak famili (Fatkhullah, 2013: 72). Suasana di atas kapal yang naik turun dan tidak selalu menyenangkan, seolah menjelaskan kepada kita tentang ketahanan calon jamaah haji dalam keharusan dan kewajiban yang ditempuh untuk bisa sampai ke tanah suci. Sampai ke tanah suci dan berhaji menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi, meskipun  harus menghadapi ombak dan badai samudera. 

Pengalaman sebagai negeri maritim yang terbiasa berjumpa dengan ragam identitas nampaknya menjadi sesuatu yang koheren dengan sikap ramah masyarakat haji Nusantara. Proses sosial asosiatif inilah yang kemudian menjadi pintu terbuka bagi dialog-dialog antar golongan dan kelompok haji dunia. Bukti dari pendapat ini adalah, banyaknya orang Nusantara yang menjadi pelajar, juga pengajar di tanah suci. Seperti direpresentasikan oleh ulama Nusantara abad ke 18 dan 19 yang jaring ideologis dan keilmuannya mengakar kuat di Nusantara hingga kini. Dari sini, saya ingin mengatakan bahwa masyarakat muslim Nusantara dibentuk dari kesadaran kolektif dunia melalui perdagangan dan ibadah haji yang menawarkan berbagai ekspresi dan pengalaman beragama. Luasnya horison dan wawasan itu pulalah yang menjadi alasan kokohnya rasa persatuan dalam keberbedaan. Satu nilai dan makna dari simbol-simbol peribadatan dalam ibadah haji seperti thawaf, sa’i dan wukuf yang sesungguhnya berdimensi universal: egaliter, toleran, tanggung jawab, santun dan sabar (Zainuddin, 2013: 183).

Pascahaji: Identitas dan Perubahan
Proses yang panjang dan tidak mudah untuk dapat berhaji di tanah suci menjadi alasan yang paling meyakinkan bahwa jamaah haji nusantara memainkan tiga peran sekaligus: berdagang, menuntut ilmu dan naik haji. Meskipun gerak dan transformasi sosialnya pasca haji terdiversifikasi secara geografis dan multi bidang pengabdian. Di jalur keilmuan, para penuntut ilmu dari Nusantara berhasil membentuk koloni orang Nusantara yang masyhur dengan sebutan Ashabul Jawiyyin. Di tanah air kelompok ulama ini merata tersebar di berbagai daerah, menjadi penganjur dan penyebar Islam yang gigih.

Di sisi yang lain, kelompok haji-pedagang atau pedagang yang berhaji mengambil peran sosial yang tidak kalah penting sepulang dari Haramain. Dengan gelar haji yang tersemat, pedagang diuntungkan secara sosial dan ekonomi. Status haji menjadi simbol bagi kejujuran, ketaatan dalam ibadah yang sangat penting dalam dunia usaha. Gelar haji berhasil menjauhkan dari kesan-kesan negatif, seperti menipu, memanipulasi dan lain sebagainya. Meningginya tingkat kepercayaan dari mitra sedikit banyak memberikan pengaruh bagi meningkatnya hasil usaha  (Fitlayeni, 2012: 43). Realisasi idealitas pasca haji itulah yang sedikit banyak menciptakan batas-batas etik seseorang tentang apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya untuk dilakukan dalam bingkai norma-norma agama. Penjagaan atas norma-norma itu seiring sejalan dengan pelaksanaan kewajiban agama, sehingga tidak jarang orang yang telah berhaji bertindak pula sebagai pemimpin agama, atau paling tidak memberikan perhatian lebih terhadap agama. Status haji berhasil menjadi awal kehidupan baru yang ideal bagi yang melaksanakannya. Dalam banyak contoh, para haji menjadi teladan yang memberikan pengaruh bagi masyarakat dan kelompoknya.

Penutup
Beberapa fakta sejarah dalam tulisan ini, meliputi kesejatian diri masyarakat Nusantara dan pertemuan-pertemuannya dengan berbagai bangsa, juga persoalan perannya dalam konteks perdagangan global menunjukkan sebuah sikap yang aktif, tidak pasif. Sebagai subjek, bukan hanya objek. Para jamaah haji Nusantara era transportasi kapal dagang memberikan kesan mendalam bagi kita semua tentang perjuangan, ketahanan dan sabar atas berbagai penderitaan untuk tujuan mulia, menunaikan haji di tanah suci. Dalam konteks itu, perniagaan antar negara dan kontribusinya sebagai penyedia transportasi laut bagi jemaah haji, sesungguhnya telah menciptakan ruang-ruang bertemunya keberagaman adat dan kebudayaan sesama jamaah haji dari Nusantara ataupun negera-negara lainnya. Persinggahan kapal-kapal dagang dari wilayah Barat memberikan pengalaman-pengalaman kosmopolit tentang berbagai hal termasuk agama Islam. Secara historis, terhubungnya orang-orang Nusantara melalui perniagaan dan ibadah haji dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk episentrum peradaban Islam, Timur Tengah, adalah modal sosial dan intelektual yang kaya dalam pembentukan nalar Islam yang kosmopolit.  Jika hari ini kita melihat Indonesia tetap bertahan marwah keberagamaannya dalam keberagamannya, maka pengalaman haji dan perniagaan masyarakat muslim Nusantara masa lalu menjadi salah satu faktor penting pembentuknya. Wa Allah A’lam bi al-Shawab.

Foto: www.kanal.web.id

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

BELAJAR BAHASA INGGRIS