DEMANG LEHMAN, PERANG BANJAR DAN HEROISMENYA
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Ada beragam anasir untuk
menjelaskan tentang bagaimana sosok pahlawan itu lahir. Dalam konteks lokal, kasus
perang Banjar adalah salah satunya. Selain menjelaskan banyak hal, perang
Banjar yang terjadi kurang lebih selama 46 tahun sejak tahun 1859 turut pula
melahirkan tokoh penting, yang yang kepalanya dicari-cari pemerintah kolonial
Belanda dan dihargai Belanda sejumlah 2,000 gulden, Ia adalah Demang Lehman.
Satu nama penting yang berperan dalam perang Banjar. Mengingat dan membaca
kisahnya akan mengurai satu persatu tentang citra personal, dan atau komunal
masyarakat Banjar yang sangat mengharu biru di satu sisi, dan patriotik di sisi
lainnya. Terutama tentang sikapnya (juga) masyarakat yang dipimpinnya dalam
menghadapi momen-momen historis kolonialisme dalam konteks kontestasi
perdagangan dan politik lokal-global. Menjelaskannya dalam konteks dan latar kesejarahan itu akan
membantu untuk menangkap prinsip dan berbagai legitimasi, dari moral hingga
kultural yang menjadi bagian penting untuk menciptakan makna-makna baru patriotisme
dan nasionalisme dalam konteks yang berbeda tanpa meninggalkan legitimasi dan
nilai-nilainya.
Demang Lehman dan Konteks
Sosialnya
Secara sosiokultural, Demang
Lehman terlahir dari kelas masyarakat biasa, dalam arti bukan dari trah darah
biru atau bangsawan. Nama kecilnya adalah Idis, Ia lahir di Martapura, Kampung
Riam Kanan pada tahun 1837. Ayahnya berasal dari Pekacangan, Amuntai dan ibunya
berasal dari Karang Intan Kabupaten Banjar. Sedari kecil, Ia merupakan orang
yang cakap. Oleh karena kecakapannya, ditambah sikap setia dan berani pulalah
yang membuatnya diangkat sebagai seorang punakawan oleh pangeran Hidayat sejak
tahun 1857. Sejak diangkat sebagai punakawan, Ia secara resmi diberi gelar Kiai
Adipati Mangku Negara/ Kiai Demang Lehman, yang juga bertugas sebagai Kepala
Distrik Riam Kanan. Sebagai pengukuhan atas pengangkatan dirinya, Ia
dianugerahi oleh pangeran Hidayat dua buah pusaka: sebilah keris yang disebut
dengan ”Si Singkir” dan sepucuk tombak dengan nama “Si Kali Belah” yang berasal
dari tanah Sumbawa (M. An-Nur, 2014: 48-49).
Sebagai punakawan, Ia mengesankan
sosok yang sangat berani. Keberaniannya sangat masuk akal dan beralasan,
terutama saat harus menghadapi kolonialis Belanda. Pelbagai soal menjadi “bahan
bakar” dan energi pergerakannya untuk melawan penjajah. Terintimidasi secara sosial,
ekonomi dan politik menjadi bagian tak terpisahkan yang kerap menyulut
amarahnya untuk bangkit dan membela tanah dan rakyatnya. Sejak bercokol di
tanah Banjar, kolonialis Belanda memang seringkali melanggar batas-batas
keadilan yang berhubungan langsung dengan kehidupan masyarakat Banjar dengan
apa yang dimilikinya. Jamak diketahui, Tanah Banjar yang juga menjadi tempat
Kesultanan Banjar, secara geografis berada dalam posisi yang sangat strategis.
Fakta ini dapat digambarkan melalui pelabuhan Kesultanan yang berada di antara
pelabuhan-pelabuhan besar di semenanjung Malaka, Sumatera, Sulawesi dan
Kepulauan Sulu-Filipina. Sebuah posisi strategis perdagangan Nusantara, yang
juga membuka ruang-ruang interaksi dan transaksi bagi berbagai kawasan di kepulauan Nusantara dan
juga negara-negara lainnya seperti: Melayu, Cina, India, Arab, Portugis,
Perancis, Inggris dan Belanda. Terbukanya pintu masuk dagang yang juga
dimanfaatkan penduduk setempat untuk menjual dan menyuplai berbagai komoditas
alam yang dimilikinya, seperti: lada, rotan, karet, sarang burung, kayu jati,
getah perca, lilin lebah, madu, kulit
reptil, emas, intan dan batu bara
(Swardhani, 2017: 523).
Dalam cakrwala dan alam pikir
itu, Demang Lehman juga sebagian besar masyarakat Banjar hidup dalam situasi
sosial-ekonomi yang amat menguntungkan dan ideal. Sebuah kondisi dan keadaan
yang tidak mungkin direlakan untuk alasan penjajahan, penindasan dan monopoli
ekonomi. Celakanya, Pemerintah Hindia Belanda masuk terlalu dalam dalam pada
persoalan-persoalan fundamental itu. Bersikap tidak adil, memonopoli, mengintervensi
ekonomi dan turut campur dalam suksesi kepimimpinan kesultanan dengan melanggar
aturan dan norma etiknya. Sesuatu yang mungkin saja bisa dibenarkan berdasarkan
kesepakatan Hindia-Belanda dengan Kesultanan Banjar. Tetapi, rakyat tetap
melihat dengan caranya, menganggap hal ini sebagai kelancangan dan intervensi
Hindia Belanda terhadap kedaulatan kesultanan sebagai representasi rakyat
Banjar.
Ketidakrelaan Demang Lehman dan
juga rakyat Banjar atas sikap pemerintah Hindia-Belanda inilah yang kemudian
menemukan momentumnya manakala ia berpadu dengan kebudayaan Banjar yang
menjunjung tinggi kebersamaan dan persatuan. Orang Banjar menyebutnya dengan
istilah “Kayuh Baimbai”, mengayuh bersama sebagai sebuah manifestasi
nilai-nilai persatuan. Sebuah fase awal sejarah perlawanan rakyat Banjar yang
didukung oleh semangat kedirian orang Banjar yang anti kolonial. Dalam situasi
semacam inilah Demang Lehman muncul, menjadi pemimpin dan sosok penting yang
menginisiasi serangan demi serangan terhadap pasukan pemerintah penjajah.
Intervensi Politik dan Kontrol
Ekonomi Belanda
Dua isu utama yang menjadi awal
munculnya gerakan perlawanan rakyat Banjar ialah konfilik ekonomi tambang dan
suksesi kepemimpinan curang, yang tidak hanya menjadi kerisauan dan kegelisahan
Demang Lehman sendiri, tetapi juga rakyat Banjar. M. Idwar Saleh, dalam “Agrarian
Radicalism and Movements of Native Insurrection in South Kalimantan ( 1858- 1865)”
Archipel, Vol. 9, 1975: 144, memberikan gambaran penting tentang sikap
tidak adil yang ditunjukkan oleh pihak Hindia-Belanda. Ia menyebut bahwa situasi
kritis perang Banjar disebabkan oleh intervensi Belanda terhadap suksesi
kepemimpinan Kesultanan Banjar telah mengabaikan aturan adat dengan mengangkat
Tamjidillah sebagai sultan pasca mangkatnya
Sultan Muda Abdurrahman. Selain melanggar wasiat Sultan Adam, hal ini
pula menjadi preseden buruk sebagai pelanggaran terhadap aturan adat kesultanan.
Secara urut, data lain menyingkap
beberapa alasan yang menjadi sebab lahirnya gerakan dan perlawanan rakyat dalam
perang Banjar, diantaranya adalah: ketidaksenangan rakyat atas merajalelanya
penguasaan Belanda terhadap tambang dan pertanian di Kalimantan Selatan;
Belanda terlalu banyak mencampuri urusan kesultanan; Belanda bermaksud
menguasai Kalimantan Selatan karena ditemukan pertambangan batu bara. Belanda
memonopoli perdagangan lada, rotan, damar serta hasil tambang berupa emas dan
intan. Tindakan monopoli sangat merugikan rakyat dan para pedagang semenjak
abad tujuh belas. Terlebih lagi maksud Belanda yang akan memberlakukan Pax
Netherlandica, yaitu kesatuan daerah jajahan di bawah Belanda. Alasan lain
yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan kesultanan, yaitu: pangeran
Hidayatullah yang seharusnya menjadi sultan, tidak disetujui oleh Belanda.
Belanda bahkan menganggap Sultan Tamjidillah sebagai Sultan Banjar, meskipun
sebenarnya Ia tidak berhak atas kedudukan tersebut. Secara politik, Belanda
telah turut campur terlalu dalam pada persoalan tahta kerajaan yang memunculkan
ketidaksenangan masayarakat Banjar (M. An-Nur, 2014: 66-67).
Isu tentang ekonomi pertambangan menjadi
hal krusial yang menyulut api perang Banjar. Perusahaan-perusahaan tambang
milik Belanda menjadi semakin kuat dan besar semenjak riset-riset awal tentang
potensi Batubara di Kalimantan Selatan. Ita Syamtasiyah Ahyat, secara
kronologis menjelaskan dalam tulisannya “Politics and Economy of Banjarmasin
Sultanate in the Period of Expansion of the Netherlands East Indies Government in Indonesia, 1826-1860” dalam Tawarikh:
International Journal for Historical Studies, 3 (2), 2012 menyebutkan bahwa
pada tahun 1843, Schwaner dan beberapa orang yang merupakan anggota dari The
Comission of Natural Sciences (De Natuurkondige Commissie) telah tiba
di Indonesia untuk melakukan riset tentang keadaan alam Kalimantan. Dalam
ekspedisi ke wilayah-wilayah pedesaan Kalimantan, Schwaner dan kelompoknya
ditemani oleh pemerintah kolonial yang dibantu pula oleh masyarakat sipil dan
militer. Seorang ahli di bidang pertambangan bernama Gaffron, yang juga turut
serta dalam kelompok Schwaner menemukan sumber daya alam berupa batu bara dan
emas di pesisir Selatan yang telah ditambang oleh penduduk lokal dan
orang-orang Cina. Kawasan lain di Banjarmasin tepatnya di daerah Riam, mereka
juga menemukan bijih besi. Peneliti dari
Universitas Utrecth, Mulder berpendapat bahwa kawasan Riam mengandung 70 persen
besi murni. Meskipun, Ia juga menyebut bahwa biaya membuka pertambangan di
daerah tersebut sangat mahal dan jauh dari pelabuhan (Tunjung dalam Ita
Syamtasiyah Ahyat, 2012:161).
Tidak butuh waktu yang terlalu
lama dari riset-riset itu, enam tahun setelah kedatangan Schwaner dan The Comission
of Natural Sciences, Belanda telah berhasil menancapkan dominasi ekonominya
di Kalimantan Selatan melalui industri pertambangan dengan mendirikan sebuah
perusahaan bernama Oranye Nassau, tepat pada 28 September 1849. Untuk
meresmikannya, Jenderal Gubernur J.J. Rochussen datang langsung ke lokasi
pertambangan di Pengaron. Kunjungannya ke Pengaron ini juga bertujuan untuk menyampaikan
apa yang disebutnya sebagai surat khusus dan rahasia kepada masyarakat sekitar.
Untuk melegitimasi perusahaan pertama yang dimiliki oleh pemerintah
Hindia-Belanda itu, Ia menyampaikan bahwa Sultan tetap berada dalam perjanjian
dan kesepakatan, tidak akan menghalangi berkembangnya pertambangan dan
menyatakan akan menjadi sahabat Sultan dalam urusan politik. Buah dari kesepakatan
antara Belanda dan Sultan itu adalah perihal konsesi dan ekskavasi yang hanya dilakukan pada tiga
titik kawasan, yaitu: Banyuirang, Pengaron, Kalangan dan Martapura. Dalam
kesepakatan itu, pemerintah Belanda mengambil sebuah keputusan untuk menyewa
tanah jaminan atas priyai atau bangsawan (apanage land) yang saat itu
dikuasakan oleh Pangeran Mangkubumi Kencana. Pangeran Mangkubumi, yang saat itu
masih berada dibawah kepemimpinan Sultan Adam Al-Watsiq Billah, membuka lahan
pertambangan di Pengaron. Biaya sewa lahan pemerintah Belanda pada saat itu
adalah 10,000 gulden (guilders) selama setahun. Atas persetujuan itu,
Belanda mengambil langkah dengan melakukan kontrol terhadap sumber-sumber
batubara yang pada saat itu diminati oleh pasar dunia (Sundari, 2007: 161-162)
Lampu hijau dari kesultanan
Banjar berbanding lurus dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh perusahaan
Belanda itu. Oranye Nassau menghasilkan 10,000 ton batu bara pada tahun
1849, dan meningkat menjadi 14,794 ton pada
tahun 1854. Profit yang begitu besar dari hasil penjualan batubara yang
digunakan untuk kebutuhan angkatan laut dan kapal uap ini, tidak sepenuhnya
memberikan kesejahteraan bagi para pekerja yang digaji sangat murah. Bahkan,
Belanda mempekerjakan para tahanan yang sedang menjalani hukuman (Linblad dalam
Sundari, 2007: 162-163). Memang telah ada kesepakatan antara Belanda dan
Sultan, tapi fakta itu tidak mampu menghalangi suasana psikologis rakyat Banjar
yang sejak awal tidak simpati dengan Belanda sebagai penjajah. Keadaan terjajah
itu, paling tidak tercitrakan dari sikap Belanda terhadap buruh-buruh yang
digaji murah. Momen-momen ini secara perlahan tapi pasti, telah membangkitkan
emosi anti Belanda.
Serangan, Pertempuran dan
Strategi
Dalam suasana batin dan sikap
rakyat yang antipati dan menentang Belanda itulah, Demang Lehman berhasil
memberikan pengaruhnya. Ia benar-benar menunjukkan dirinya sebagai punakawan
yang gagah berani, pemimpin perang yang membakar semangat rakyat. Satu kalam
pamungkasnya: “Dangar-dangar barataan! Banua Banjar lamun kahada lakas
dipalas lawan banyu mata darah, barikit dipingkuti Walanda!/ Dengar
semuanya! Banua Banjar kalau tidak dibasuh dengan air mata darah, maka kita
(tidak bisa bergerak) karena dipegang (dijajah) Belanda! (M. An-Nur, 2014: 88)
menjadi seruan berarti bagi rakyat Banjar.
Memuncaknya kemarahan Demang
Lehman juga rakyat Banjar, membuatnya terlibat dalam banyak pertempuran,
serangan dan upaya-upaya perlawanan untuk menumbangkan tentara Belanda.
Beberapa di antara peperangan yang diikutinya, adalah: Pertempuran Benteng
Munggu Thayor; Serangan terhadap Belanda di Keraton Bumi Selamat Martapura;
Pertempuran Benteng Tabanio; Pertempuran di Benteng Gunung Lawak; Ia juga
tercatat pernah berusaha untuk mendatangkan senjata dengan mengirim utusan ke
Kesultanan Kutai, Paser dan Pagatan. Ia terlibat aktif dalam pertempuran di
tiga lokasi ( Banua Lima, Sekitar Martapura dan Tanah Laut serta sepanjang
Sungai Barito); Pertempuran para pejuang di Kandangan; Penyerangan ke Benteng
Amawang; Pertempuran daerah Barabai dan Pertempuran Gunung Madang (M. An-Nur,
2014: 67-87)
Kepiawaiannya bersiasat dalam
perang, membuatnya sangat licin dan tidak mudah untuk ditangkap. Karena itu
pulalah Belanda melakukan berbagai cara untuk menangkapnya, dalam keadaan hidup
atau bahkan mati. Untuk alasan itulah Belanda mengeluarkan pengumuman harga
kepala Demang Lehman sejumlah (F. 2.000,-) bagi siapapun yang menangkap dan
mendapatkannya. Oleh Belanda, Ia dianggap sebagai pemberontak atau Staat der
ops tandelingen op we premien of hoofd gelden zijn gesteld. Harga kepalanya
bersejajar dengan para pejuang tanah Banjar yang juga masuk dalam daftar premie
atau harga kepala, seperti: Antasari (F. 10.000,-); Hidayat ( F.
10.000,-); Aminullah ( F. 2.000,-); Haji
Buyasin ( F. 1. 000,-); Pembakal Noto ( F. 500,-); Karta Negara ( F. 500,-); Pangeran Muda ( F. 500,-); Gusti Matsaid ( F. 300,-);
Muhammad Yusuf ( F. 250,-); Pembakal
Duraif ( F. 250,); Kia Langlang ( F. 250,-); Pembakal Timang ( F. 250,-); Haji Mataif ( F. 250,-), (M. An-Nur, 2014:79-80).
Sebagai pemimpin perang yang
lahir dari rakyat Banjar. Demang Lehman tergambar sebagai pejuang yang memahami
medan dengan baik. Ia tidak buta strategi, rencana perlawanannya terencana dan
terkoordinasi. Pertempuran yang dilancarkan Demang Lehman saat menghadapi
pasukan Belanda disebut-sebut menggunakan strategi defensif atau bertahan
dengan menggunakan operasi darat dengan taktik pertahanan wilayah. Ia juga
menggunakan strategi perang rakyat semesta atau yang biasa disebut gerilya. Secara
teknis, Demang Lehman melancarkan serangannya dengan menyingkir terlebih dahulu
dari daerah yang dikuasai Belanda untuk menghindari perang secara langsung,
fase itu digunakan untuk mengumpulkan para pejuang. Hal ini terjadi pada perang
di daerah Martapura, Kesultanan terdahulu yang kemudian dipindahkan ke Karang
Intan oleh pangeran Hidayatullah. Demang Lehman melakukan penyerangan secara
mendadak terhadap tempat-tempat penting yang diduki Belanda tanpa bertujuan
untuk mendudukinya. Setelah penyerangan, Ia menghilang. Pola ini dilakukannya
pada perang di Martapura. Sebuah strategi perang yang biasa disebut dengan “hit
and run”, memukul dan menghilang. Melalui cara itu, Demang Lehman berharap musuh
akan semakin lemah, baik secara fisik ataupun mental. Melemahnya keadaan musuh
itulah yang kemudian menjadi kesempatan serang yang paling baik, pasukan Demang
Lehman akan menggempur habis-habisan pihak lawan. Model ini dilakukannya pada peperangan
Gunung Madang, pihak Belanda tidak berhasil menemukannya apalagi memukul mundur
pasukan Demang Lehman. Selain turun ke gelanggang Perang, Demang Lehman dan Pangeran
Hidayatullah juga menggunakan pendekatan politik dalam melawan penjajah Belanda,
yaitu dengan melibatkan rakyat untuk berjuang gigih dengan serangan yang
berlanjut (M. An-Nur, 2014: 91-92). Semangatnya berapi-api, menandai keyakinan
dan keteguhan yang tinggi. Ia tidak pernah menyerah untuk melawan, mengusir
penjajah dari tanahnya sendiri, bahkan jika harus mati sekalipun. Sikapnya ini
pulalah yang menumbuhsuburkan benih-benih perjuangan rakyat Banjar, bahkan pada
saat ketiadaannya.
Akhir Cerita Sang Demang
Berita aktivisme historis Demang
Lehman yang sangat heroik dan patriotik itu sebenarnya telah
membuatnya tidak
aman. Alasan itu kiranya yang menyebabkan pihak kolonial Belanda tidak pernah
berhenti untuk menangkap dan membunuhnya. Namun, bukan Demang Lehman namanya
jika takut mati demi tanahnya sendiri. Bersamaan dengan itu, Belanda melakukan
berbagai cara untuk menangkapnya, termasuk dengan cara-cara yang licik. Ia
dijebak oleh pihak Belanda, ketika Ia sedang mengatur kekuatan di
persembunyiannya, di daerah Gunung Pangkal, Batu Licin, Tanah Bumbu. Saat itu,
Ia bersembunyi di Gua Gunung Pangkal dengan hanya makan daun-daunan. Untuk
menangkapnya, Belanda diketahui telah memanfaatkan seseorang untuk mengajak
Demang Lehman menginap di rumahnya, dengan imbalan gulden dari pihak Belanda.
Demang Lehman sama sekali tidak menduga bahwa itu adalah bagian dari perangkap
Belanda. Oleh sekelompok orang yang menginginkan uang dan tanda jasa dari
Belanda, setelah shalat subuh dan tanpa sejata, Ia ditangkap, meskipun sempat
melawan puluhan orang yang mengepungnya. Sang Demang kemudian dibawa ke
Martapura untuk dihukum (M. An-Nur, 2014: 86-87). Ia didakwa bersalah berdasarkan
keputusan militer Belanda pada tanggal 27 Februari 1862, Demang Lehman harus
dihukum mati dengan cara digantung. Ia digantung di martapura dalam keadaan
yang sangat memilukan.
Kesan mendalam dirasakan, bahkan
oleh para pejabat militer Belanda yang menyaksikan hukum gantung ini. Mereka merasa
kagum dengan keteguhan dan ketabahan Demang Lehman yang menaiki tiang gantungan
tanpa menutup mata dan tanpa didampingi satu orang keluarga sekalipun. Meskipun
begitu, wajahnya tidak berubah, tatapannya tajam melawan (Banjar: menceleng),
“tulang belikat”nya terlalu keras untuk merunduk dihadapan pasukan Belanda yang
menjajah tanah lahir dan tumpah darahnya. Setelah memenuhi janjinya, mati di
garis perjuangan dengan cara digantung, kepalanya lalu dipenggal oleh Belanda,
jenazahnya dikubur tanpa kepala. Kepalanya dibawa oleh Konservator
Rijksmuseum van Volkenkunde Leiden untuk disimpan di museum Leiden, Belanda
(M. An-Nur, 2014:87-88).
Penutup
Demang Lehman adalah pejuang yang
tidak mudah dikalahkan. Pengkhianatan dan jebakan liciklah yang mengalahkannya.
Ia tetap terhormat dan gagah di akhir cerita. Bagaimanapun, Demang Lehman dan
perjuangannya menjelaskan kegigihan, kegagahan dan ketabahan. Ia sebenar-benar
pahlawan yang mengharamkan dirinya untuk menyerah pada rezim tiran Belanda.
Sebuah falsafah hidup orang Banjar yang juga dikumandangkan Pangeran Antasari
saat melawan penjajah: “Haram manyarah, waja sampai kaputing”/ Haram
menyerah, menjadi baja sampai akhir.
Kalaulah harus mengambil sebuah
iktibar tentangnya, lalu ditarik satu garis analogis untuk dimaknai dalam
dimensi sejarah yang baru, maka kisah heroiknya akan menemukan similaritas dan
relevansinya dengan apa yang terjadi hari ini. Terutama soal personanya dalam
perang Banjar: sikapnya dan perjuangan-perjuangannya. Niat dan gerakannya untuk
menyudahi kolonialisme di tanahnya sendiri tidak selalu berjalan mulus. Ada
saja pengkhianat yang menjebaknya, menggunting dalam lipatan, api dalam sekam,
musuh dalam selimut yang menjadi penghalang perjuangannya.
Menang atau kalah, berhasil atau
gagal adalah proses yang merupakan fase demi fase perjuangan. Hal itu hanya soal
babak perlawanan, yang pasti akan dilanjutkan. Demang Lehman telah berhasil
menancapkan fondasi penting perjuangan: keberanian, kegigihan dan ketulusan
untuk membela dan melawan ketidakadilan. Nilai yang semakin memudar-hilang
dalam narasi publik hari ini. Yang mewakili rakyat, mengkhianati rakyat. Yang
memimpin dan seharusnya melayani, ternyata hanya ingin menguasai. Jika premis
itu benar, maka apa beda dengan penelikung Sang Demang?. Di tengah krisis nilai
ini, kita berharap masih ada semangat Demang Lehman yang mewujud dalam berbagai
bentuk dan beragam ekspresi. Menyesuaikan ruang sejarahnya masing-masing. Kisah
perjuangan Demang Lehman adalah cerita tentang pengabdian dan pengorbanan.
Kisahnya memang sulit untuk dititi. Namun, harus kita perjuangkan. Untuk perjuangan
dan jasanya bagi Banua, bagi Indonesia, Al-Fatihah! Wa Allah
A’lam bi-l Shawab.
Gambar: kitlv.nl
Komentar
Posting Komentar