SUFISTIFIKASI POLITIK, MUNGKINKAH?
Muhammad Julkarnain
Rumah Transformasi Indonesia
Ada jarak antara tasawuf dan
politik. Entah dipersepsikan, diasumsikan, diciptakan atau bahkan sengaja
dibentuk dan dipertentangkan. Sehingga, atas praduga ini banyak yang
menafsirkan bahwa tasawuf itu sulit dicapai, asing dan tersembunyi. Sedang, di
sisi lain, politik seringkali berkonotasi negatif, setidaknya tercitrakan oleh
“pelaku politik” yang dengan siasatnya menghalalkan haram untuk kekuasaan,
menumpuk harta dengan korupsi. Belakangan, opini publik semakin mengkristal
dengan isu mahar politik dan korupsi oknum politisi, baik di pusat maupun
daerah. Satu situasi yang nampaknya belum menunjukkan akan berakhir.
Penggambaran di atas merupakan
potret politik kita hari ini. Pudarnya marwah, ideologi dan filosofi politik
adalah akibat dari menjauhnya politik dari nilai-nilai. Kemewahan, kekuasaan
dan popularitas adalah kosa kata yang melekat pada laku sebagian politisi. Pada
posisi ini, kita mengerti bahwa politik tidak lagi menjadi wasilah
(sarana) untuk memperjuangkan keadilan dan kemanusian. Politik telah berubah
menjadi ghayah (tujuan) memperoleh harta dan kedudukan, sehingga segala
cara dianggap sah dan perlu untuk dilakukan. Bukti paling sederhana adalah
politik uang dan kampanye hitam. Keadaan yang menggambarkan kegagalan dalam
menerjemahkan nilai dan norma etik dalam berpolitik. Sebabnya adalah,
meletakkan tasawuf sebagai ajaran tentang akhlak hanya di masjid, surau,
zawiyah dan majelis ta’lim saja. Di luar tempat-tempat suci itu,
ia seperti mudah kehilangan makna.
Sufi dan Perjuangan Politiknya
Politik itu adalah kata yang
semula netral. Ia bersih, suci dan mulia karena memperjuangkan cita-cita
bersama. Untuk itulah kiranya Aristoteles menyebutnya sebagai seni paling
tinggi untuk mencapai kebaikan bersama. Oknum politiklah yang melumurinya
dengan “kotoran”, melalui aktivitas politik yang tidak bisa dibenarkan. Karena
masifnya aktivitas politik kotor, lalu muncul istilah-istilah: politik transaksional,
politik uang, politik dinasti dan istilah-istilah lain yang sejenis. Sehingga
sangat wajar, jika Syaikh Muhammad ‘Abduh pernah berujar: A’udzu bi Allah
min al-Siyasah (Aku berlindung kepada Allah dari Politik).
Harus diakui, ada orkestrasi politik
yang menyebabkan banyak orang akhirnya apatis dan sinis terhadap apapun yang
berhubungan dengan “politik”. Meskipun sebenarnya, kita amat sulit terlepas
dari politik. Mulai dari harga bawang dan cabai hingga urusan luar negeri
semuanya adalah hasil keputusan politik. Dalam hal ini, pengarusutamaan akhlak
tasawuf dalam politik menjadi sesuatu yang penting.
Meskipun tasawuf dikesankan jauh
dari aktivitas politik, catatan Fait Muedini berjudul “The Promotion of
Sufism in the Politics of Algeria and Morocco” dalam Jurnal Islamic Africa,
3, No. 2 menunjukkan sejarah panjang keterlibatan sufisme dalam politik, Ia
meyakini bahwa sufi banyak terlibat dalam kampanye melawan kolonial dan rezim
yang otiriter (Heck, 2007), sosialisasi kesetaraan dan demokrasi (Werbner,
1996). Bahkan, sufi juga terlibat aktif dalam memberikan legitimasi keagamaan
terhadap kredibilitas pelaku politik.
Dalam kesejarahan Nusantara, kita juga mengenal sosok
Syaikh ‘Abdus Shamad Al-Falimbani. Seorang sufi Nusatara abad 18, masyhur sebagai
guru besar di Haramain yang tetap memberikan perhatiannya terhadap kondisi
politik tanah air. Dengan keahlian dan nalar sufistiknya, Ia mengarang sebuah
kitab berbahasa Arab dengan judul Nasihat Al-Muslimin wa Tadzkirat Al-Mu’minin fi Fadha’il
Al-Jihad Fi Sabilillah wa Karamat Al-Mujahidin fi Sabilillah. Tentu saja kitab yang
berbahasa Arab ini dialamatkan untuk pembaca yang mahir bahasa Arab, bukan awam.
Targetnya, adalah pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara. Benar saja, karyanya
tersebut berhasil menghembuskan semangat politik anti penjajahan di tanah air.
Sebuah“Gerakan Politik” sesuai kemampuan dan keahlian yang cukup berhasil
mempengaruhi Muslim Nusantara untuk berjuang melawan penjajah. Sebuah
penelitian mengungkapkan: “mengenai kolonialisme Barat, al-Falimbani menulis
kitab Nashihat Al-Muslimin wa Tadzkirat Al-Mu’minin fi Fadha’il Al-Jihad fi
Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam
sedunia. Tulisannya
ini sangat berpengaruh pada perjuangan kaum
Muslimun dalam penjajahan melawan Belanda, baik di Palembang maupun di
daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik Di Tiro dikabarkan
juga mengutip kitab tersebut” (Asrina, 2007).
Data di atas penting sebagai penanda perjuangan sufi dalam
panggung sejarah perjuangan politik kita. Fakta-fakta itu setidaknya
mengantarkan kita pada sebuah keyakinan bahwa sufi tidak sepenuhya terlepas
dari aktivisme politis, bahkan ia menjadi sebuah penerjemahan rasionalitas dan spiritualitas.
Singkatnya, tasawuf bisa saja seiring sejalan dengan politik, tergantung pada
cara yang digunakan dan tujuan yang ingin dicapainya. Namun pada saat yang bersamaan,
tasawuf juga mengkritik dan meluruskan tindakan politik yang salah arah dan
tujuan. Inilah kiranya urgensi dari internalisasi nilai-nilai tasawuf dalam
politik.
Menerjemahkan
Nilai Tasawuf dalam Politik
Tasawuf mengajarkan tentang hakikat, bukan yang sekedar
tampak. Yang tampak dan terlihat bisa saja berubah, sedang hakikat adalah inti
dan tujuan yang tetap. Politik seringkali kotor dan jahat, tetapi hakikat
politik tidak pernah berubah, mencapai kebaikan bersama (common and highest
good). Pemimpin dan kepemimpinan terus berganti, namun hakikat pemimpin dan
kepemimpinan itu tetap, menyejahterakan rakyat. Hari ini, politik kita
cenderung bergeser dari tujuan dan hakikatnya dimana kekuasaan adalah tujuan
yang (dengan segala cara) harus didapatkan. Hidup dalam kemewahan seperti
keharusan meski dengan korupsi. Menjadi populer dan nomor satu walaupun menipu.
Inilah yang selama ini menjadi dinding penghalang dari hakikat politik yang
mulia. Nilai-nilai sufistik seperti Sabar, Zuhud, Tawadhu, Syukur, Jujur,
Tawakkal, Cinta dan Kasih telah hilang karena nafsu serakah keduniaan.
Sufistifikasi adalah satu jalan yang dapat ditempuh untuk menemukan
hakikat dan tujuan universal politik. Dalam tasawuf diajarkan, kebencian harus
lenyap dengan cinta dan kasih hingga lahirlah persatuan. Tipu daya dan intrik
politik harus berganti dengan kejujuran sehingga kebenaran tersingkap. Impian
tak terbatas keduniaan harus sirna dengan kesyukuran atas karunia sehingga
hidup bahagia.
Sufisme adalah bentuk protes moral terhadap kehidupan
yang menuhankan harta dan dunia. Hidup mengharapkan ridha Allah dan tidak
berorientasi hanya pada dunia (Zuhud) adalah obat penawar dari
cinta berlebihan pada dunia. Bukankah agama mengajarkan sedekah yang berarti
memberi untuk menerima berkah dan manfaat lebih banyak. Memaafkan yang
bersalah, bukan membalasnya. Menahan diri dari hawa nafsu, bukan
memperturutkannya bahkan mempertuhankannya. Saat dunia timpang tidak seimbang,
patut kita kembali pada nilai-nilai sufistik dalam berpolitik yang sesunggunya
bersifat universal. Saya kira, di luar batas-batas agama dan
kepercayaan, nilai-nilai tasawuf merupakan universalitas etik yang
berlaku umum. Bisa diterima siapa saja. Ia membentangkan hikmah, ajaran dan
nilai-nilai yang mendamaikan dunia. Mungkin cara ini sulit dan terlampau ideal.
Tetapi bukan tidak mungkin untuk terus diperjuangkan. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
Gambar: babu-royanblogspot.com
Bacaan luar biasa, terutama bagi politisi. Konsep pendidikan spiritual & karakter ini, luar bisa jika bisa diaplikasika.
BalasHapusAlhamdulillah. selalu sehat Pak Hamzah Giling
HapusMasyallah, tulisan yg sangat bermanfaat 👍
BalasHapusMasya Allah wa Tabarakallah . . . Terimakasih sudah berkenan membaca. semoga sehat selalu Mba Ridhanay. Amiin
BalasHapus