“MASJID KINIBALU SAMARINDA”: POLEMIK, HISTORI DAN TAFSIR



Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Jum’at, 2 November 2018. Sekira pukul 20.30 malam. Kami, saya dan istri baru saja memarkir kendaraan sebelum menyaksikan pertunjukan dan seni budaya pesisir Kalimantan pada gelaran Festival Mahakam. Parkir yang cukup jauh dari arena pertunjukkan (di depan gubernur) ini menjadi sangat wajar, jalan-jalan tepian sungai mahakam sudah penuh oleh pengunjung juga pedagang. Begitu juga jalan poros kota depan kantor gubernur yang sudah sangat macet. Di belakang kantor gubernur yang temaram itu, kami menyusuri trotoar jalan yang ditutupi dinding-dinding seng, pembatas proyek pembangunan Masjid Kinibalu. Menuju halaman depan gubernuran, di dinding-dinding itu pulalah, saya membaca ekspresi rakyat berupa tulisan-tulisan, nadanya seperti menolak pembangunan masjid di area itu. Di lapangan Kinibalu. Beberapa coretannya adalah: #SaveLapanganKinibalu; Bangunan ini tanpa IMB dan lain sejenisnya, seperti mendeskripsikan polemik dan konflik pembangunan masjid yang belum menunjukkan akan segera berakhir.  

Melihat realitas ini, saya lalu berusaha menelusuri dan melacak persoalan sengketa pembangunan masjid di kawasan yang sebenarnya adalah lapangan sepak bola itu. Berdasarkan catatan media lokal, ada beberapa hal yang dapat dilaporkan, di antaranya: penolakan sekelompok masyarakat; tidak adanya rekomendasi dari DPRD dan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB); serta historisitas lapangan Kinibalu yang merupakan situs cagar budaya kota yang (meskipun) masih dalam proses pengajuan. Soal penolakan masyarakat atas pembangunan rumah ibadah tersebut juga masuk akal. Pertama, lokasi yang kini sedang berlangsung pembangunan masjid itu adalah ruang terbuka dan sarana olahraga masyarakat. Kedua, pembangunan masjid di kawasan lapangan kinibalu dinilai tidak strategis, mengingat ada beberapa masjid yang tidak jauh dari lokasi tersebut, diantaranya adalah Masjid Baitussalam di markas korem 091/Aji Surya Natakesuma yang jaraknya kurang lebih 150 meter dari lokasi pembangunan masjid dan juga Masjid Jami’ Al-Ma’un yang berjarak sekitar 300 meter dari kawasan Kinibalu. Fakta lain yang juga turut menjadi alasan penolakan masyarakat adalah tentang kesejarahan lapangan Kinibalu itu sendiri. Sebuah kawasan yang menurut laporan sejarahkaltim.com, merupakan lokasi Sultan Kutai Aji Muhammad Parikesit saat memproklamirkan persetujuan untuk bergabung dengan NKRI. Selain itu, Lapangan Kinibalu juga menjadi kawasan bersejarah, sebagai lokasi Ketua Front Nasional Abdoel Moeis Hassan berpidato tentang keharusan demokratisasi serta penghapusan feodalisme di Kaltim. Pidato penting kedua tokoh Kaltim yang pernah terjadi pada hari yang sama, 24 Januari 1950.

Kembali soal niat pemerintah membangun masjid di kawasan itu. Meskipun, ada kesan yang kuat, bahwa masjid dibangun sebuah legacy (warisan) di akhir masa kepemimpinan gubernur. Saya kira itu sah-sah saja dan lazim. Yang terpenting, niatan pemerintah itu harus bersih sejak dalam pikiran. Karena hanya dengan kesadaran yang tulus itu pulalah, kita merasa yakin bahwa pembangunan masjid terbebas dari kepentingan-kepentingan. Pasalnya, ini dalah membngun masjid, bukan membangun bangunan-bangunan berorientasi “ekonomistik” lainnya. Kajian, status hukum, dampak sosial dan budaya harus sudah beres. Bagian terakhir yang saya sebut ini, nampaknya belum selesai benar?

Tentu saja, tulisan ini tidak bertujuan untuk menghakimi tentang lazim, sah dan atau etis tidaknya pembangunan masjid yang dibangun atas dasar pertentangan dan resistensi. Baik yang terjadi, antar lembaga, antara organisasi masyarakat dan pemerintah. Dari alasan yang dikemukakan di atas tadi, mudah kiranya untuk memahami perspektif masyarakat tentang penolakan pembangunan masjid Kinibalu. Hampir pasti yang ditolak itu bukan soal pembangunan masjidnya, tapi soal legalitas dan lokasi pembangunan yang masih bermasalah. Sebuah kontroversi yang secara terang dan jelas sebenarnya telah dijawab oleh ketua FKUB, KH. Zaini Naim: “tidak dibenarkannya pembangunan Masjid yang menyebabkan pertentangan, baik oleh masyarakat, begitu juga pihak yang membangun rumah ibadah.”  

Apapun ujung dari cerita pembangunan rumah ibadah ini, saya berharap itu terjadi berdasarkan pertimbangan yang cermat dan adil, tidak merugikan siapapun. Karena hakikat paling fundamental dari pembangunan masjid adalah peningkatan kesadaran berketuhanan, takwa. Bukan ketidakadilan dan monopoli kekuasaan pihak-pihak tertentu. Melalui argumen ini, biarkan saya melontarkan kritik dan beberapa narasi keagamaan tentangnya. Tentang masjid dan ideal moralnya, juga visinya. Sesuatu yang harus saya sampikan di tengah-tengah pengabaian atas idealitas agama, sosial-kemasyarakatan, kesejarahan, lokalitas dan kebudayaan. Ada cara-cara agama dan kebudayaan yang bisa dipetik dan direnungi. Menjadi pijakan dalam setiap derap langkah pembangunan. Utamanya soal masjid yang teramat sakral bagi kita semua.

Argumen Teologis: Tafsir QS [9]: 108
Hal yang paling pokok dari pembangunan sebuah masjid adalah konsepsi dasarnya. Ia menjadi titik pijak paling pertama yang memberi arah dan tujuan pembangunan. Apa konsepsi dasar itu?. Ia adalah kalam Tuhan pada Surah Al-Taubah [9] 108: “janganlah engkau melaksanakan shalat dalam masjid itu selama-lamanya. Sungguh, masjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih pantas engkau melaksanakan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Allah menyukai orang-orang yang bersih.” Satu ayat Al-Qur’an yang secara lahiriah cukup untuk memberikan penjelasan bagaimana dan untuk apa masjid seharusnya dibangun. Meskipun, tentu saja kita tidak ingin berhenti hanya pada kesan sesederhana itu. Oleh karenanya, penjelasan tambahan para ahli tafsir menjadi sangat penting. Dalam hal ini, saya mengutip tiga karya monumental, dari tiga ulama besar: Haqaiq al-Tafsir, Al-Sulami (w. 412 H); Tafsir Al-Wajiz, Al-Wahidi (w. 468 H) dan Tafsir Al-Jilani, Al-Jilani (w. 713 H).

Penafsiran mengenai masjid yang harus dibangun atas dasar takwa itu seungguhnya beragam. Dalam tafsir hal itu adalah keniscayaan, mengingat latar belakang keilmuan para penafsir yang juga berbeda-beda. Namun, yang pasti dari penafsiran-penafsiran itu ialah sumbangan dan kontribusi penting yang mengandung nilai-nilai dan moralitas. Untuk bisa sampai kepada nilai dan moralitas itu, mendiskusikan pemahaman para penafsir menjadi sebuah keharusan. Kita mulai dari pendapat Al-Sulami. Penafsir Al-Qur’an yang lebih senior dari dua penafsir yang saya kutip. Tentang ayat ini,  Al-Sulami berpendapat dengan pendapat yang disandarknnya pada Abu Utsman, menurutnya: tanah yang terdapat fitnah (yang dibangun di atasnya atas dasar kebohongan), tidak akan menghasilkan apapun kecuali fitnah itu sendiri. Sedang tanah yang didalamnya penuh rahmah, akan memberikan rahmat pula bagi orang-orang yang mendudukinya. Al-Sulami menghubungkan penafsirannya terhadap sekelompok orang yang gemar mensucikan dirinya dari perkara kotor. Yang dimaksud dengan suci adalah: sucinya ilmu, sehingga dengannya jauhlah kebodohan, kesucian dalam mengingat Allah dari melupakan-Nya, kesucian dalam ketaatan dari melakukan kemaksiatan. Golongan orang yang menyucikan diri inilah yang senantiasa mengingat Allah, baik secara terang-terangan dan tersembunyi. Argumen Al-Sulami ini, jelas sekali ingin memberikan penegasan bahwa masjid harus bersih dan suci dari silang sengketa sejak awal mendirikannya. Menjadi sumber ilmu, media menghilangkan kebodohan dan tempat untuk senantiasa mengingat Allah. Semua aktivitas di dalamnya harus bertujuan mendatangkan rahmat Allah.

Pandangan lain disampaikan oleh Al-Wahidi, yang tahun wafatnya berjarak 56 tahun dari Al-Sulami. Menurut saya, pendapat Al-Wahidi ini lebih bersifat historis. Menunjuk kejadian dan tokoh pelaku. Ia berpendapat, masjid yang dibangun atas dasar ketakwaan sejak pertama didirikan itu merujuk pada masjid yang dibangun Nabi, yaitu masjid Kuba atau disebut pula masjid Rasul. Sedang yang dimaksud dari “orang-orang suci yang senantiasa membersihkan diri” itu adalah kaum anshar. Ia menambahkan keterangannya dengan menjelaskan apa yang dimaksud dengan orang-orang yang menyucikan dirinya?. Yaitu, orang yang cinta kepada Allah dan menghindarkan diri mereka dari kesyirikan dan kemunafikan. Secara komparatif, al-Sulami ingin menjelaskn dua hal: masjid yang di dalamnya terdapat kemunafikan dan hawa nafsu di dalamnya itu dalah masjid dhirar. Sedang, masjid yang didirikan atas dasar ketakwaan kepada Allah adalah masjid Kuba. Menjadi semakin jelas, bahwa masjid yang dibangun atas dasar takwa dalah keharusan. Hanya dengan itu kita akan beroleh keridaan. Sebaliknya, bangunan (masjid) yang didirikan atas dasar nafsu (tipu muslihat) adalah sama dengan membuat bangunan di tepi neraka, Ia akan hancur bersama orang-orang yang terlibat dalam kemunafikan dan kebohongan dalam (membangun masjid). Jika pembangunan semacam ini terus dilanjutkan, Al-Sulami memandang sama sebagai sebuah tindakan maksiat. Allah membencinya, ada kemudaratan di dalamnya (al-dhirar).

Untuk melengkapi narasi tafsir tentang bagaimana seharusnya masjid dibangun, penting kiranya untuk mengurai kalam hikmah dari mufassir yang juga seorang sufi, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Menurutnya, masjid yang dibangun atas dasar kebohongan dan penipuan tidak seharusnya menjadi tempat menghadap Allah (shalat). Ketakwaan yang menjadi dasar membangun masjid adalah keharusan membangun tanpa melakukan hal-hal terlarang atau diharamkan. Masjid harus dibangun atas dasar keikhlasan, dan karena berharap ridha Allah, bahkan sejak pertama kali didirikan sebagimana masjid Kuba di Madinah. Keutamaan masjid sebagai tempat beribadah harus melahirkan kebajikan-kebajikan yang didalamnya terdapat orang-orang yang sempurna dalam keimanan; orang-orang yang menyucikan dirinya dari maksiat dan dosa, serta orang-orang yang menghadap-menuju Allah dan memilih untuk tidak tersibukkan dengan hal-hal yang bisa melalaikan diri mereka dari mengingat Allah.

Dari ketiga uraian di atas, ada satu kesamaan ide yang menurut saya dapat ditarik sebagai kesimpulan: tidak dibenarkan membangun masjid di atas silang sengketa, tipuan dan hawa nafsu. Semua tujuan pembangunan masjid harus dalam rangka penghambaan kepada Allah. Orang-orang yang terlibat di dalamnya harus suci dan menyucikan niatnya dari anasir kepentingan keduniaan yang tidak berhubungan sama sekali dari tujuan masjid didirikan. Semua harus menyatu dalam tujuan yang sama. Mencari keridhaan dan rahmat Allah. Argumen-argumen dalam penafsiran ini sangat ideal. Seharusnya menjadi titik pijak dan modalitas moral dalam pembangunan masjid. Meskipun pada kenyataannya, nilai moral Al-Qur’an yang ideal itu tidak selalu koheren dengan kenyataan. Ini memang persoalan realisasi idealitas yang tidak mudah. Meskipun sulit, bukan berarti tidak mungkin. Selain di Madinah dengan Masjid Kuba-nya sebagai contoh paling ideal, ada kisah historis lainnya di Nusantara. Supaya relevan dengan judul tulisan ini, saya ambil saja contoh pembangunan masjid yang menyiratkan cerita dan fakta-fakta bernilai dari pembangunan sebuah masjid. Yang dekat dengan kenyataan dan kesejarahan kita. Masjid Shirathal  Mustaqiem, yang disebut-sebut sebagai masjid tertua di kota Samarinda. Kisah awal pembangunannya, bisa kita gali lebih dalam, tentu saja untuk membentang nilai dan  ideal moralnya agar terjelaskan pada siapapun yang di dalam hatinya telah merencanakan membangun masjid untuk “kepentingan-kepentingan.”   

Masjid dan Moralitas Pembangunannya
Berdasarkan diskusi tekstual di atas, kita mendapati satu landasan yang tegas tentang fungsi masjid berikut anasir moralnya. Dari sini, jelaslah apa yang ingin saya katakan bahwa masjid seharusnya tidak hanya menjadi simbolisasi identitas dan citra ikonik sebuah kota semata. Tentang masjid Kinibalu, Saya kira, sulit untuk menghindarkan diri dari kesan politis dari sebuah masjid yang bernama hampir mirip dengan nama pemimpin wilayah dimana masjid itu didirikan. Meskipun membangun narasi dan alasan untuk merobohkan kesan ini amat sangat mudah untuk dilakukan. Untuk itulah, tugas pemerintah adalah menjelaskan secara tegas dan terbuka, agar beragam suara sumbang dan kesan negatif tentang pembangunan masjid yang terus bergulir di tengah masyarakat semakin menghilang dengan sendirinya.

Kalau kita mengamati beberapa masjid terdahulu di kota Samarinda, kita akan memahami bahwa masjid-masjid tersebut berhasil memainkan peran dan fungsinya di satu sisi, sekaligus menjadi citra kebudayaan masyarakat di sisi yang lainnya. Maksudnya, pembangunan masjid yang terbebas dari kepentingan-kepentingan dan sikap politis individu atau kelompok tertentu akan benar-benar membangkitkan rasa kepemilikan bersama masyarakat sekitarnya. Bahkan, mampu menggerakan budaya keberagamaan yang solid dan kokoh. Tentang ini, secara akademis dalam sebuah kitab berjudul Al-Masajid yang ditulis oleh Husayn Mu’nis, telah berusaha menjelaskan pengembangan fungsi ideal sebuah masjid. Kitab yang diterbitkan 38 tahun lalu oleh penerbit ‘Alam Al-Ma’rifah ini memberikan penegasan-penegasan. Menurutnya, idealnya masjid menjadi ruang penghubung antar individu yang memperkuat struktur komunitas/jemaah (ummah wahidah).  Dengan kata lain, terbentuknya semangat berlomba-lomba dalam kebaikan (Fastabiq al-Khayrat). Singkatnya, masjid yang didalamnya terdapat imam dan da’i, harus menjadi aktor penggerak yang dengan tekun menjadi penganjur ajaran Islam yang damai. Sebuah gerakan yang berperan penting mengembangkan Islam di banyak wilayah, seperti India, Afrika Tengah dan Amerika Selatan (Husayn Mu’nis, 1981: 37).

Kembali ke Samarinda, tentang pembangunan Masjid Shirathal  Mustaqiem. Ada fakta tentang pembudayaan semangat agama yang tergambar dalam usaha pembangunan masjid. Sejarah tentang masjid ini layak diceritakan dan diperkenalkan. Ada teladan, nilai-nilai dan kesejatian. Gambaran-gambaran historis tentangnya, dinarasikan dengan baik oleh Muhammad As’ad. Sebuah artikel ilmiah yang dirilis oleh Jurnal Al-Qalam pada Desember 2013. Untuk menjelaskan pihak-pihak terlibat dalam pembangunan masjid, penulisnya, mula-mula menggambarkan tentang sosok penting dibalik berdirinya Masjid Shirathal Mustaqiem bernama Sayyid Abdurrahman Assegaf. Seorang saudagar muslim dari Pontianak yang kedatangannya di Kerajaan Kutai Kartanegara disambut baik oleh Sultan. Selain sebagai pedagang, Sayyid Abdurrahman juga dikenal sebaagai tokoh agama yang bereputasi tinggi dan menjadi teladan bagi masyarakat. Atas dasar itulah kemudian, Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman mengangkatnya sebagai kepada adat dan Agama di Samarinda Seberang pada tahun 1880. Tokoh penting, inisiator pendirian Masjid Shirathal  Mustaqiem, yang kemudian kita kenal dengan gelar Pangeran Bendahara.

Sebagai ulama, Sayyid Abdurrahman sadar benar dengan apa yang terjadi di lingkungannya, di ruang sosialnya, kawasan Samarinda Seberang. Ia mendapati suasana dan kondisi sebagian masyarakatnya yang gemar berjudi, sabung ayam dan meminum minuman keras. Atas keadaan ini, Ia pertama sekali berunding dengan para tokoh masyarakat setempat, lalu mengusulkan pendirian masjid di sebidang tanah yang sebenarnya merupakan arena sabung ayam dan perjudian. Rencana ini, tentu saja menghadapi resistensi dari kelompok-kelompok yang selama ini mengambil keuntungan dari bisnis haram tersebut. Namun, perlahan tapi pasti. Sayyid Abdurrahman dan negosiasi etik  yang dilakukannya berhasil membuat masyarakat yang semula menolak pembangunan masjid menjadi setuju atas usulannya. Bahkan mereka terlibat secara bersama-sama dengan masyarakat lainnya untuk membangun masjid. Ada komunikasi dialogis, antara pemrakarsa dan masyarakat.

Barulah pada tahun 1881, 4 tiang utama masjid didirikan. Ada banyak bantuan dari berbagai tokoh masyarakat. Tiang-tiang berdiameter 30-60 cm itu sendiri adalah sumbangan dari Kapitan Jaya yang menyumbangkan pohon ulin dari Loa Haur; Petta Loloncong yang juga memberikan pohon ulin yang didapat dari gunung Salo; begitu pula sumbangan Usulonna berupa kayu ulin dari Karang Mumus dan Pangeran Bendahara sendiri yang turut serta mewakafkan kayu ulin yang didapatkan dari Gunung Dondang Samboja. Dari sumbangan materil yang bisa juga kita sebut sebagai wakaf ini, menjadi penanda tentang semangat filantropis yang tentu saja dilandasi oleh semangat berislam. Sesuatu yang sebenarnya juga terjadi pada periode awal Islam, saat masjid Kuba dibangun oleh Nabi Muhammad di atas tanah wakaf. Ia merupakan momen paling pertama dari sebuah konsepsi Islam bernama wakaf (Frederik Van Tuyll, 2005: 7). Sehingga tidak berlebihan, jika sikap saling membantu dalam pembangunan masjid Shirathal  Mustaqiem ini saya katakan sebagai simbol dari solidaritas keberagamaan orang Islam Samarinda pada saat itu. Sebuah kondisi dan semangat keberislaman yang padu. Ada dialog, komunikasi dan proses saling memahami. Dari sinilah, Islam lalu berkembang pesat di tanah ini. Diterima sebagai agama yang melindungi, mengayomi dan merangkul. Sehingga, jika kita menghubungkan  catatan historis ini dengan polemik “masjid Kinibalu”, akan didapati hal-hal tidak baik sedang terjadi. Paling tidak, ketidakmampuan pemerintah menggandeng pihak-pihak yang berseberangan, dan memaksakan kehendak adalah watak yang bisa kita sebut sebagai sikap ‘tangan besi’ yang secara prinsipil bertentangan dengan ajaran Islam: “Tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan ketakwaan (Ta’awanu ‘ala al-Birr wa al-Taqwa)” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Penutup
Memilih jalan paling ideal dalam pembangunan adalah keharusan. Tidak baik membangun masjid yang sakral di atas pertentangan. Prinsip idealnya sudah ada. Sejarah dan juga orang-orang yang terlibat dalam pembangunan masjid Shirathal Mustaqiem adalah cerminan yang dekat dan nyata. Menjelaskan banyak hal tentang moralitas agama. Inilah yang disebut makna penting dari landasan moral dalam pembangunan. Pemerintah mungkin bisa saja membangun masjid, kapanpun dan dimanapun, tetapi jika dalam prosesnya, mereka membatasi diri dan menciptakan jarak dengan berbagai pihak, maka yang terjadi adalah sekedar membangun bentuk formal dari tempat ibadah. Mungkin ada yang bersepakat, meskipun tidak sedikit yang terpaksa mengiyakan. Yang pasti, membangun masjid bukan semata membangun bentuk, model dan desainnya. Tetapi juga, membangun kekuatan jemaah (solidaritas) berikut gerakan spiritual dan sosialnya. Jika ini terjadi, maka harapan dan cita-cita peradaban kita akan terlihat.

Gambar: kaltimkece.id 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

BELAJAR BAHASA INGGRIS