HABIB UMAR, HADHRAMAUT DAN KALIMANTAN






Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Beberapa waktu lalu, Habib Umar bin Hafiz datang ke Samarinda. Tentu saja, untuk sebuah perhelatan besar, Tabligh Akbar: Sejuta Doa untuk Kaltim. Acara beliau di Samarinda padat. Tiga hari, sejak tanggal 11 hingga 13 oktober 2018, beliau berceramah di kota ini. Malam, pagi dan siang. Di Islamic Center dan di Gelanggang Olah Raga (GOR) Sempaja. Semuanya penuh sesak dengan jemaah. Datang dari berbagai daerah: kawasan kaltim sendiri, luar kaltim, bahkan luar Kalimantan.

Di malam itu, di salah satu titik kumpul luar stadion, di bawah pohon, saya menikmati lantunan selawat sembari menunggu kedatangan beliau, sang guru mulia. Di tengah lautan manusia, saya berusaha memahami fenomena keberagamaan yang sedang berlangsung. Banyak pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Meskipun, sebenarnya ada beberapa kesimpulan sederhana. Di antara kesimpulan awal itu adalah: semangat kebudayaan dan seni agama Islam yang masih menjadi arus utama masyarakat Kalimantan; sikap hormat dan memuliakan ulama jelas masih sangat terasa; dan tentu saja kepengikutan terhadap ulama dan berkembangnya kebudayan Islam semisal Maulid Al-Habsyi dan sejenisnya akan menjadi benteng kokoh bagi lestarinya Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Kalimantan. Untuk simpulan yang terakhir ini, saya rasa relevan dengan jumlah para ulama Kalimantan yang mayoritas berpaham sunni. Seperti dengan mudah dapat kita temukan di Timur, Barat, Tengah, selatan dan Utara wilayah Kalimantan. Biasanya, para guru tersebut memimpin majelis taklim yang disertai dengan kegiatan pembacaan maulid nabi. Mereka terhubung antara satu dengan lainnya. Sepanjang pengamatan saya, di Samarinda, banyak dari para ulama muda, adalah alumni Hadhramaut, Yaman, mereka terhubung langsung atau tidak langsung dengan Habib Umar bin Hafiz.

Sebut saja apa yang saya tulis di atas sebagai sebuah hipotesa tentang sikap keberagamaan masyarakat Kalimantan, khususnya Samarinda. Tidak cukup memang, harus ada pembacaan lebih jauh tentangnya. Tentang kenapa kedatangan Habib Umar menjadi magnet yang begitu kuat bagi banyak masyarakat di Kalimantan?; adakah hubungan antara Tarim-Hadhramaut, yang disebut-sebut sebagai kota wali, yang juga menjadi tempat asal sang Habib dengan keyakinan dan sikap keberagamaan masyarakat Kalimantan?; dan apakah terdapat kaitan historis antara ketiganya: Habib Umar bin Hafiz, Hadhramaut dan Kalimantan?. Untuk mengatakan iya atau tidak. Ada hubungannya atau tidak. Tentu saja kita harus melacak kembali ketiga hal tersebut. Pendekatannya banyak: bisa biografis, historis, bahkan geneaologis. Semuanya adalah langkah-langkah yang akan memberikan sedikit pencerahan tentang lanskap keberislaman kita. Sesuatu yang menurut saya penting untuk diketahui.

Habib Umar: Keilmuan, Kealiman dan Kesejukan
Selalu ada sisi menarik dari citra kehidupan sang Habib. Alasan-alasan itulah yang kiranya menarik perhatian dunia tentang sosoknya. Saya yakin, tidak ada yang membantah ketika saya menuliskan sub judul yang telah saya tuliskan ini. Ketiga hal yang menjadi daya tarik kepengikutan umat terhadap Habib Umar. Tidak mudah memang, menjelaskan kebesaran beliau. Ada lebih banyak kesan-kesan baik lainnya tentang beliau yang mungkin saja berbeda. Ini menjadi penanda banyak jejak, kiprah dan kontribusinya bagi dunia Islam. Sesuatu yang hampir pasti tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada konsistensi, ada teladan dan ada juga perjuangan. Semuanya dilakukan dengan sepenuh hati. Sejalan, antara yang diucapkan dengan yang dilakukan. Sebuah pencapaian prestisius yang hanya akan dimengerti dan dipahami dengan cara menelisik jalan keilmuan, ide-ide dan juga pelaksanaannya. Sesuatu yang masih mungkin kita telusuri dengan mendengar ceramahnya, secara langsung atau tidak langsung. Dan juga, melalui tulisan-tulisan dan karya ilmiah yang mendedah jalan dakwahnya. Sebuah langkah-langkah mendasar yang mungkin harus kita lakukan untuk memahami siapa dan apa yang diperjuangkannya?. Untuk itu, saya punya data-datanya.

Mochammad Hilmi, dalam penelitiannya yang berjudul “Al-Isti’arah fi Nizham Dhiya’ al-Lami’ li al-Habib ‘Umar bin Muhammad bin Hafiz bin al-Syaikh Abi Bakr bin Salim: Dirasah Tahliliyah Balaghiyah” (2016) merunut sketsa biografis Habib Umar dengan cukup baik. Tahun lahir, keterlibatan Habib Umar dalam dunia dakwah, pengembaraan keilmuan, sanad keilmuan, karya-karya monumental dan prinsip-prinsip dakwahnya dijelaskan dalam karya ini. Ia menyebut, Habib yang bernama lengkap Habib Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz Ba‘alawi ini merupakan ulama yang dilahirkan di Kota Tarim, Hadhramaut, Yaman, bertepatan pada hari Senin, 4 Muharram 1383 H atau bertepatan pada tanggal 27 Mei 1963 M. Satu hal yang menjadi penciri kebesaran Habib Umar adalah semangatnya untuk memperoleh ilmu dari banyak guru. Sehingga menjadi patut bagi kita untuk mengatakannya sebagai pengembara ilmu sejati. Banyak ulama-ulama besar yang menjadi guru-gurunya. Di antaranya adalah: al-‘Allamah al-Mufti Ibrahim bin ‘Aqil; Muhammad bin ‘Alwi bin Syihabuddin; Muhammad bin ‘Abdullah al-Haddar; Ahmad bin Ali bin al-Syaikh Abi Bakr; ‘Abdullah bin Syaikh al-‘Aydarus; al-Muaarikh al-Bahatsah ‘Abdullah bin Hasan Balfaqi; al-Muarrikh al-Lughawi ‘Umar bin ‘Alwi al-Kaf; saudaranya ‘Ali al-Masyhur bin Muhammad bin Salim bin Hafiz; Salim bin ‘Abdullah al-Shatiri; ‘Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf; al-Syaikh al-Mufti Fadhl bin ‘Abdirrahman Ba Afdhal; Al-Syaikh Taufiq Aman. Istimewanya, nama-nama besar yang menjadi guru-gurunya ini, merupakan mata rantai keilmuan yang tersambung sampai kepada Rasulullah. Sanad keilmuan dan ijazah yang diperolehnya, sejauh yang dapat ditelusuri adalah dari Musnid al-Dunya al-‘Allamah Al-Syaikh Yasin ‘Isa al-Fadani (1410 H); al-‘Allamah al-Syaikh ‘Abdul Fattah Abu Ghuddah (1418 H). Deskripsi nama-nama dan tokoh penting ini menjadi bukti otentik dan otoritatif tentang beragamnya ilmu yang dipelajarinya.

Dengan sederet nama besar yang menjadi guru-gurunya itu, Habib Umar tidak berhenti untuk menyampaikan ilmunya di mimbar dan panggung-panggung ilmu semata. Ia adalah penulis ulung. Sesuatu yang juga nampak dari ceramahnya di Samarinda malam itu. Kata-katanya indah, tersusun rapi, mengesankan penguasaan sastra yang baik. Sehingga, tidak mengherankan jika banyak karya yang sudah ditulisnya. Beberapa di antaranya adalah: Taujih al-Nabiyyah Li Mardhati Bariyyah; Syarh al-Manzhumah al-Sanad al-‘Alawi; khuluquna; al-Dhakhirat al-Musyarrafah; Khulashat al-Madad al-Nabawi fi al-Adzkar; al-Dhiya’ al-Lami’ bi Dzikr al-Nabi al-Syafi’; Al-Mukhtar min Syifa’ al-Saqim; Tsaqafat al-Khatib; Nur al-Iman min Kalam Habib al-Rahman, dan lain sebagainya.

Selain sebagai ulama dan penulis produktif, beliau adalah pemikir massa. Memberikan dorongan pada gerakan-gerakan di bidang-bidang pendidikan. Bukti paling nyata dari kontribusinya adalah, mendirikan lembaga pendidikan Islam Darul Musthafa Li al-Dirasat al-Islamiyyah di Kota Tarim, Hadhramaut pada tahun 1414 H. Tentang lembaga yang dipimpinnya ini, ada empat orientasi yang ingin dikembangkan oleh Habib Umar, yaitu: (1) menjadi lembaga khusus dalam pendalaman “’ulum al-Syari’ah”/ Hukum Islam dan ilmu-ilmu pendukungnya (Tata Bahasa, Gramatika Arab, dlsb.) yang bersambung kepada para ulama dan pakar-pakar sebelumnya, yang sanad keilmuannya terhubung kepada Imam-imam besar sampai kepada Rasulullah; (2) menjadi media penyucian jiwa, penyucian sifat-sifat dan menstimulasi akhlak mulia, meluruskan jalan menuju Allah, menghiasi diri dengan adab secara bersungguh-sungguh karena dan untuk Allah; (3) menyebarkan Islam (dakwah), mengajak kepada agama Allah, Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah dengan cara-cara yang penuh kasih sayang (rahmah), benar, keluasan ilmu dan wawasan, dengan cara membujuk, membersamai, lemah lembut, berbaik sangka, sabar, toleransi, meminta maaf jika bersalah, mengambil keputusan dengan keyakinan. Semuanya itu harus pula ditunjukkan dengan perbuatan nyata; (4) selain menunjukkan teladan dan mampu berdakwah dengan memerhatikan objek dakwah dan segala macam persoalannya, juga mampu menghafal al-Qur’an dan menyampaikan ilmu-ilmu yang terkandung di dalamnya.

Apa yang tercitrakan dari lembaganya ini, tidak lain merupakan perwujudan dari semangat dan orientasi dakwah yang juga dimilikinya. Untuk mempertegasnya, sebuah penelitian Maged Abdullah Mohammed dan Syed Hadzrullathfi Syed Omar berjudul “Mafhum al-Dakwah Ila Allah min Manzhur Al-Da’iyah Al-Habib ‘Umar bin Hafizh” dalam Malaysian Journal of Islamic Studies, Jilid 2, 2017 yang memfokuskan pada metode dakwah Habib Umar ini menemukan beberapa prinsip dakwah yang digunakannya, antara lain, yaitu: (1) Dakwah bukan domain kelompok tertentu, ia adalah perintah umum untuk semua umat Nabi Muhammad, berdasarkan nilai-nilai dan petunjuk dari Nabi Muhammad; (2) Perlu usaha dan pemikiran yang luas terhadap objek dakwah/ orang-orang yang telah mampu supaya terhubung dengan Allah serta menyampaikan keindahan-keindahan Islam dengan pemahaman-pemahaman yang benar yang diambil dari kitab tertentu, yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah dengan pemahaman yang rasional, jelas dan terang; (3) ditekankan kepada orang-orang yang mengkhususkan diri di medan dakwah untuk memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang diembannya. Hendaknya para pendakwah melepaskan dirinya dari kepentingan pribadi yang dilakukan atas nama dakwah, karena dengan begitu dakwahnya akan diterima oleh Allah, juga masyarakatnya; (4) dalam berdakwah, tidak perlu berharap pujian, sekaligus mampu bertahan atas celaan. Hal ini menjadi ujian yang seringkali menyebabkan keputusasaan bagi pendakwah. Kalaulah ada pujian dan celaan, jangan biarkan ia memberikan pengaruh terhadap proses dakwah. Tidak berhenti membuat inovasi dalam berdakwah. Tetap berjuang karena Allah; (5) seorang pendakwah harus menjauh dari perbuatan dan perkataan yang didorong oleh nafsu. Hal itu hanya akan mempengaruhi orang yang menjadi objek dakwahnya goyah dalam menjaga pesan dakwah yang telah disampaikan. Perbuatan dan perkataan yang diselimuti nafsu akan mengotori kesucian dakwah. Satu tindakan yang memberikan efek negatif bagi pendakwah; (6) memperluas wilayah dakwah, menjangkau banyak lapisan masyarakat, bahkan melintasi sekat-sekat geografis negara. Untuk itulah, kedalaman ilmu menjadi sangat penting agar mampu memahami keberagaman masyarakat yang berbeda-beda. Dengan begitu, Islam akan kompatibel dan kontekstual dengan semangat zaman. Hal itu memberikan dampak baik bagi pendakwah, juga bagi masyarakat. Kegagalan memahami nilai-nilai universal justru akan menyebabkan sempitnya pemahaman dan keliru tentang ajaran-ajaran Islam; (7) siapapun yang bergerak di medan dakwah, hendaknya senantiasa menggunakan bahasa cinta (mahabbah) dan toleransi (tasamuh) di tengah-tengah umat manusia. Hal ini menjadi kontra narasi bagi kekerasan yang terjadi. Sebagian dari mereka hidup dibawah penindasan, kekejaman dan marjinalisasi; (8) menyebarkan Islam dengan kedamaian, orang-orang saleh terdahulu, beserta pengikut-pengikutnya, sesungguhnya tidak berdakwah dengan satu cara, ada banyak cara, sehingga Islam tetap dikenal dengan “manhaj salam”/ berdakwah dengan damai hingga hari ini; (9) Dakwah yang dilakukan lembaga negara haruslah menjadi teladan bagi generasi muda, utamanya yang berkaitan dengan strategi dakwah dengan cara damai (Manahij al-Salam), diseminasi nilai-nilai Islam moderat (wasathiyat al-Islam), kelurusan (I’tidal), sehingga nilai-nilai itu dapat dijadikan teladan bagi pemuda bangsa.

Dari sisi persona, dan berdasarkan bukti-bukti di atas, maka cukup bagi kita untuk memberikan penilaian yang adil tentang tingginya kapasitas keilmuan, kelembutan sikap dan orientasi dakwahnya yang sejuk. Dengan apa itu semua terkonfirmasi?. Dengan karya-karya, kontribusi sosial dan jemaahnya yang terbilang sangat banyak. Sebuah penerimaan dari banyak masyarakat muslim yang sangat beralasan. Kalaulah alasan itu harus disebutkan, maka Habib Umar adalah pejuang yang teguh dan penuh teladan, mengusahakan sebuah tatanan dunia penuh damai sebagai tujuan yang diridhai oleh Tuhan. Hal itu pulalah yang menjadi salah satu alasannya untuk berkeliling di berbagai negeri, mendakwahkan Islam yang damai bagi semua.

Hadhramaut dan Koneksi Keulamaan di Nusantara
Habib Umar adalah ulama yang melanjutkan perjuangan pendahulu-pendahulunya. Padanya tersemat sebuah identitas yang dapat menjelaskan berbagai keterkaitan. Salah satunya, soal koneksi Hadhramaut dan Nusantara. Baik secara personal, ataupun latar belakang yang melekat padanya adalah satu gambaran tentang proses keberlangsungan nilai dan ajaran yang baik. Seperti banyak diceramahkannya. Habib Umar benar-benar menjadi tokoh yang peran keulamaannya mendunia. Melintasi negara dan kebudayaannya masing-masing. Meskipun tidak mudah, menyampaikan ide-ide di tengah keberagaman budaya, nyatanya, Ia tetap diterima. Nilai-nilai universal berupa cinta dan kasih sayang sesama umat manusialah yang menjadi pesan penting dalam banyak dakwahnya. Ia benar-benar telah membangun jembatan persaudaraan dengan akhlak yang mulia. Sebuah titik kulminasi keilmuan dan pengamalan yang holistik. Satu fakta yang semakin menguatkan citra dirinya dan tempat lahirnya, Kota Tarim, Hadhramaut yang semenjak lama telah menjadi rumah bagi banyak para wali, sayyid dan habaib.

Hadhramaut sendiri adalah salah satu provinsi yang berada di Yaman. Secara geografis, Yaman berdekatan dengan laut merah yang menjadi tempat bagi terhubungnya berbagai koneksi perdagangan antara negara-negara di Timur dan Barat. Hadhramaut yang di dalam Bibel disebut juga Hazarmaveth, merupakan sebuh provinsi yang secara historis, berdasarkan pendapat Van Den Berg, merupakan tempat bagi berbagai kelompok.  Mereka adalah para sayyid dan ulama; kelompok suku-suku; masyarakat kelas menengah dan anak-anak. Meskipun, Sylvaine Camelin menambahkan golongan pekerja; pedagang swasta; orang-orang miskin dan bekas budak yang turut serta menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang mendiami Hadhramaut (Nur Wahidah Fauzi, Tarek Ladjal, dkk., 2013: 1709). Terlepas dari kedua perbedaan pendapat di atas, antara Van Den Berg dan Sylvaine Camelin tentang kelompok-kelompok masyarakat Hadhramaut, saya hanya akan memberikan penjelasan berlebih pada kelompok sayyid yang memang menjadi fokus dalam tulisan ini.

Penelusuran saya tentang orang-orang Arab Hadhrami (orang-orang Arab yang berasal dari Hadhramaut), mendorong saya untuk membuka catatan-catatan ahli tentang sebuah provinsi penting yang memberikan pengaruh besar bagi perkembangan Islam di kawasan Asia Tenggara ini. Tentang siapa sebenarnya keturunan Nabi Muhammad yang paling awal menduduki Hadhramaut, telah dijelaskan dengan baik, secara kronologis oleh S. Zahra Aljunied dalam tulisannya “The Geneaology of the Hadhrami Arabs in Southeast Asia – the ‘Alawi Family”, IFLA WILC 2013, Singapore. Melalui tulisannya ini, Ia ingin mengatakan bahwa kelompok keluarga Arab ‘Alawi atau Ba ‘Alawi-lah yang merupakan keturunan Nabi Muhammad pertama yang mendiami Hadhramaut atau kawasan pesisir Selatan Arab di Yaman. Untuk membangun argumentasinya, Ia meyakini bahwa   istilah ‘Alawi atau ‘Alawiyyin itu sendiri merujuk pada salah seorang cucu dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang merupakan keturunan kesepuluh dari Nabi Muhammad. Ahmad bin Isa inilah yang kemudian, pertama kali bermigrasi dari Basrah, Irak ke Hadhramaut pada tahun 956 M. Kelompok keluarga ini pula yang melahirkan beragam kelompok Hadhrami berdasarkan nama-nama keluarga yang populer di kawasan Asia Tenggara. Beberapa di antaranya adalah: Al-Atthas, Al-Junayd, Al-Haddad, Al-Saqqaf, Al-Kaff, dan lain sebagainya. Kelompok-kelompok habaib yang banyak bermigrasi ke wilayah kepulauan Nusantara.

Kehadiran orang-orang Arab Hadhrami di Nusantara ini memang menyisakan beberapa tanya: tentang bagaimana ketibaan itu beserta motif-motifnya?; bagaimana bentuk-bentuk penerimaan masyarakat Nusantara terhadap kelompok ini?; apa pengaruh ideologisnya terhadap karakter Islam di Nusantara. Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi harus untuk ditemukan jawabannya untuk memahami kekhasan dan karakteristik Islam yang hingga kini terus berkembang di Nusantara.

Secara historis, migrasi ulama dari Hadhramaut ke kepulauan Nusantara memang tidak bermotif tunggal, atau hanya karena alasan menyebarkan Islam semata. Van den Berg menyebut, kedatangan para sayyid hadhrami ke Nusantara juga didorong oleh kepentingan ekonomi, yaitu berdagang. Satu nama tokoh penting dari kelompok orang Arab Hadhrami yang disebutnya adalah Salim bin ‘Abdullah bin Sumayr, yang kedatangannya di Batavia (setelah sebelumnya tinggal beberapa tahun di Singapura) adalah untuk berdagang. Ia adalah pedagang dan ulama. Sebagai ulama, Ia banyak mengajarkan agama dan menulis kepada murid-murid Nusantara. Satu karyanya berjudul Safinat al-Najah (Bahtera Keselamatan) terbilang sangat populer, terutama di pesantren-pesantren di Jawa dan Madura pada abad ke sembilan belas. Sebuah kitab fikih aplikatif yang mengatur persoalan ibadah shalat, haji dan lain sebagainya (Azra, 1995: 8).

Selain pengajaran Islam, ulama-ulama Hadhrami juga datang dengan kemuliaan dengan menyandang nama besar, sebagai cucu keturunan Rasulullah. Sebutan Habib dan Sayyid yang memiliki keunggulan tersendiri bagi masyarakat Nusantara pada umumnya. Ketersambungan dan hubungan silsilah para sayyid dengan Rasulullah ini menjadi semakin kuat dengan tradisi mengetahui asal usul silsilah sampai kepada Nabi Muhammad yang dipegang teguh oleh para ‘Alawiyyin. Sebuah tradisi yang nampaknya memperkuat otoritas keulamaan kelompok Hadhrami. Para sayyid ini dikenal pula sebagai penganjur Islam yang berakhlak mulia, yang berusaha meneladani pribadi nabi Muhammad. Sehingga tidaklah mengherankan jika dakah-dakwahnya diterima oleh masyarakat Nusantara. Salah satu bentuk Penerimaan penduduk lokal kepada para Habaib ini ditandai dengan kebersediaan membangun hubungan kekerabatan dan kekeluargaan melalui jalur pernikahan. Bahkan, sebagai guru yang terpercaya, para habaib dapat dengan mudah membangun relasi dengan kesultanan-kesultanan Nusantara. Seperti yang terjadi di banyak kesultanan Melayu dan Bugis. Sebagai contoh kesuksesan diaspora Hadhramaut ini adalah kemampuan menduduki pucuk pimpinan kesultanan, seperti Bin Syihab yang menjadi Sultan Siak, Riau; begitu juga Sultan Al-Qadri sebagai Sultan dari Kesultanan Pontianak (Zahra Aljuneid, 2013: 3-4).

Kehadiran ulama-ulama hadhrami juga berhasil memberikan pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Asia Tenggara. Sehingga menjadi wajar, jika Martin Slama dalam sebuah artikel ilmiahnya yang berjudul “Indonesian Hadhramis and The Hadhramaut: An Old Diaspora and Its New Connections” dalam sebuah simposium jurnal Antropologi Indonesia di Universitas Indonesia pada tahun 2005 menyimpulkan sebuah keberhasilan kelompok ‘Alawiyyin dalam membangun koneksi dengan Asia Tenggara, utamanya di bidang pendidikan keagamaan. Ulama-ulama Hadhrami dinilai berhasil memproduksi generasi muda Islam dari Indonesia menjadi ulama-ulama lokal di kawasannya masing-masing. Sebuah fakta penting yang telah menumbuhsuburkan penyebaran nilai dan ideologi sunni di Indonesia, sekaligus memperkokoh posisi ‘Alawiyyin dan jaringan Indonesia-Yaman. Dari sini, semakin jelas posisi dan pengaruh ulama hadhrami di Nusantara.

Kalimantan dan Resonansi Hadhramaut   
Data penting yang menandai arti penting hubungan antara Kalimantan dan Yaman adalah catatan  Samuel Bryan Scott berjudul “ Mohammedanism in Borneo: Note for a Study of the Local Modifications of Islam and the Extent of its Influence on the Native Tribes” dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 33, (1913). Dalam artikel ini, Scott menggunakan istilah Mohammedanism untuk menyebut ajaran Islam dan atau risalah Nabi Muhammad. Sebuah istilah yang juga digunakannya untuk menjelaskan bagaimana awal ketibaan Islam di Kalimantan. Dengan mengutip pendapat C. Snouck Hurgronje, Scott mengemukakan bahwa Islam di Kepulauan Nusantara dibawa oleh para guru dari India, Mesir, Mekah dan Hadhramaut. Snouck memberi penjelasan yang lebih detail dan spesifik tentang penganjur Islam asal Arab yang datang ke Kalimantan, mereka itulah yang kemudian disebut sebagai Syarif, istilah yang juga digunakan untuk menyebut keturunan Nabi Muhammad. Kedatangan mereka ini berpengaruh pada perkembangan Islam yang lebih intensif. Snouck meyakini bahwa Islam di kawasan ini dibawa langsung oleh orang-orang Arab, termasuk dari Hadhramaut dan melalui saudagar-saudagar Jawa dan Sumatera yang berdagang di Kalimantan.

Data lain berjudul “Hadhrami Scholars in The Malay-Indonesian Diaspora: A Preliminary Study of Sayyid ‘Uthman ” yang diterbitkan oleh Studia Islamika, Vol. 2, No. 2 (1995), Azyumardi Azra berpendapat tentang migrasi orang-orang Arab Hadhrami dalam jumlah yang besar pada penghujung abad 18. Sebuah informasi yang nampaknya bersumber dari beberapa sarjana Barat, seperti Van den Berg (1886), De Vries (1937) dan Andaya (1989). Yang paling pasti dari data yang disampaikannya ialah sebuah fakta terbentuknya koloni orang-orang Arab Hadhrami di Palembang, Pontianak, Batavia, Pekalongan, Surabaya, Sumenep, Kedah, Malaka dan Penang. Bahkan, beberapa di antara mereka merupakan para sayyid yang menduduki posisi penting di peradilan kerajaan dan kesultanan lokal.

Paling tidak, dua data di atas menjadi bukti kuat tentang hubungan Kalimantan dan hadhramaut dalam tiga hal, perdagangan, misi dakwah Islam dan juga politik. Tiga hal yang memang acapkali saling bertalian antara satu dan lainnya. Bukti paling nyata secara politik adalah berdirinya Kerajaan Pontianak di Barat Kalimantan yang diprakarsai oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie, putra ulama keturunan Arab Hadhramaut pada hari Rabu, 23 Oktober 1771 atau bertepatan dengan 14 Rajab 1185 H. Selain itu, terdapat pula unsur seni kebudayaan Hadhramaut yang sangat akrab di tengah-tengah masyarakat muslim Kalimantan, yaitu Shimt al-Durar atau orang Kalimantan lazim menyebutnya sebagai Maulid Al-Habsyi.

Maulid Habsyi merupakan syair-syair yang berisi puji-pujian dan kerinduan kepada Nabi. Judul asli kitab ini adalah Simth al-Durar, yang ditulis oleh Habib Ali  bin Muhammad Al-Habsyi. Oleh karenanyalah banyak orang menyebutnya Maulid Al-Habsyi. Habib Ali bin Muhammad Al-habsyi sendiri merupakan tokoh ulama terkemuka dari kalangan ‘Alawiyyin pada abad ke sembilan belas di Hadhramaut. Di Kalimantan, tradisi Maulid Habsyi ini cepat sekali berkembang dan tersebar luas. Bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa. Masyarakat seringkali menyelenggarakan Maulid Habsyi dalam banyak kesempatan. Biasanya bersamaan dengan ritual-ritual keagamaan seperti syukuran, majelis taklim hingga perayaan-perayaan hari besar Islam lainnya. Maulid Habsyi seperti menjadi kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat. Maulid Habsyi, lazimnya dipimpin oleh para habib dan ulama, pemimpin masyarakat dan tokoh-tokoh kharismatik. Maulid Habsyi disenandungkan dengan diiringi terbang (rebana), lalu diikuti oleh seluruh jemaah yang hadir. Mengingat konten Maulid Habsyi yang berisi syair-syair indah, tidak jarang, banyak dari jemaah yang tenggelam dalam kekhusyukan dalam berselawat. Ada kedamaian dan kesyahduan di dalamnya. Untuk itulah kiranya, Gazalba berpendapat bahwa seni Islam termasuk Maulid Habsyi mengandung nilai-nilai estetik yang berpadu dengan etika Islam. Secara halus dan lembut, Maulid Habsyi menjadi pembentuk sikap rohaniah yang mulia (Maryanto, dkk, 2016: 1-11).

Dengan semakin meluasnya Maulid Habsyi yang dibawa oleh para Habib dari Hadhramaut dan alumni-alumni Hadhramaut, begitu juga para penganjur agama, sebenarnya telah membuka lebar pintu perjumpaan antar budaya. Orang-orang Kalimantan dengan beragam suku yang ada di dalamnya menjadi lebih dekat dengan Nabi Muhammad. Mengenalnya dari syair-syair dengan nada yang menyejukkan. Lebih diperjelas lagi, melalui syarah-syarah keislaman: tauhid, hukum dan akhlak yang disampaikan oleh habaib dan tuan guru. Maulid Habsyi berhasil memberikan pengaruh-pengaruh penting tersebarnya nilai-nilai Islam hingga saat ini. Dengannya, Majelis ilmu dan selawat terbentuk, menjadi pengikat utama berbagai kelompok dalam kebermaknaan hidup yang mendekatkan kepada Tuhan. Sebagai ruang dari proses kebudayaan yang saling mempengaruhi itulah, sisi keberislaman orang Kalimantan turut dibentuk. Tentu saja oleh guru-guru yang di dalam hatinya ada kebesaran Nabi Muhammad. Yang akhlak dan kepribadianya, terus diteladani dan diajarkan ke tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, antara Habib Umar, Hadhramaut dan Kalimantan bukan semata soal hubungan umat dan ulama. Ada rantai sejarah yang melatarinya. Orang-orang Kalimantan telah sejak lama terhubung dengan penganjur Islam ataupun pedagang dari Hadhramaut, Yaman. Dari sekian motif perjumpaan orang kalimantan dan orang Arab Hadhrami, motif pendidikan dan seni Islam-lah yang memberikan pengaruh penting dan massif. Argumentasi ini dapat kita buktikan. Yang paling dekat dengan saya, Kota Samarinda, Kalimantan bagian timur yang menjadi kota dimana banyak murid-murid Habib Umar bin Hafiz yang menjadi ulama-ulama muda terkemuka. Mereka umumnya, memiliki majelis taklim dan secara rutin berdakwah dari masjid ke masjid. Yang mereka sampaikan beragam, dari soal fikih ibadah sehari-hari, hingga tasawuf. Lokus mereka juga variatif, di pedalaman, desa-desa juga di tengah-tengah kota. Ada hubungan yang baik, yang terjadi secara alamiah antara para Habib, alumni-alumni Hadhramaut dan ulama-ulama lokal setempat. Hal ini dapat terlihat dari sokongan atau dukungan, baik moral ataupun materil terhadap majelis-majelis taklim yang baru didirikan. Biasanya, para Habib dan ulama terkemuka yang menyedot perhatian masa bersedia untuk hadir membuka majelis taklim yang baru didirikan tersebut. Langkah ini menjadi sarana publikasi efektif yang memudahkan masyarakat untuk datang dan menghadirinya. Istimewanya, berdasarkan pengalaman saya, ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para ulama ini sangat menyejukkan. Sebuah kesan yang juga akan kita dapatkan saat mendengar ceramah-ceramah Habib Umar. Dari sini kita mungkin akan mengerti, mengapa banyak orang yang hadir menanti ceramah dan doa dari Habib Umar bin Hafiz malam itu?.  Ada kerinduan pada kesejukan dan kedamaian. Selain itu, masyarakat Kalimantan yang juga begitu dekat dengan resonansi Hadhramaut dalam keberagamaan.

Tulisan ini mungkin sangat historis, namun demikian, ia tetap harus memiliki makna pada ruang, waktu dan konteksnya sendiri. Fakta dan data tentang hubungan antara ketiga hal yang telah kita bahas di atas bermuara pada satu hal, moralitas agama. Baik Habib Umar, maupun murid-muridnya di Kalimantan, semuanya mengajarkan tentang kedamaian, saling menghormati dan menghindari perselisihan. Ia adalah modalitas penting dalam menyikapi keberagaman kita yang harus terus disemai. Sebuah jalan sekaligus cara yang dengannya kita semakin meyakini bahwa rahmat Allah untuk semesta alam.  

Gambar: selfllery.com

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

BELAJAR BAHASA INGGRIS