AL-QUR’AN DAN MERITOKRASI
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Masih
dengan topik yang berkaitan, tentang yang saya tulis kemarin lusa. Soal perubahan dan Zuhud yang menyinggung proses perpindahan dan perubahan
(kekuasaan, kepandaian dan popularitas) yang seringkali menipu. Sebuah isu yang
masih memerlukan pembahasan lebih lanjut pada tataran praktis.
Sejatinya
memimpin dan kepemimpinan adalah realitas alamiah setiap individu atas apa yang
dipimpinnya, atau yang menjadi tanggung jawabnya. Dalam skala besar ataupun
kecil. Semua kita adalah pemimpin, seperti isyarat dalam sabda rasul yang
masyhur itu. Dalam posisi itulah, pertimbangan untuk menyerahkan amanat,
memangku tugas dan tanggung jawab, harus dilaksanakan juga secara bertanggung
jawab. Menjadi lebih bermakna jika ia dilaksanakan dalam kerangka peribadatan. Bukan
sekedar formalitas belaka.
Untuk
mendedahnya, konsep meritokrasi bisa menjadi titik pijak awal. Yaitu sebuah sistem
yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan
kemampuan dan prestasi, bukan kekayaan, senioritas dan lain sebagainya.
Untuk
memberi makna pada topik ini tentu saja kita membutuhkan pijakan moral religius.
Untuk kepentingan meghadirkan pesan historis tentang beberapa ciri dan citra ideal,
maka konfirmasi dan legitimasi teks Al-Qur’an menjadi basis yang sangat urgen
untuk sebuah maksud dan tujuan. Menjelaskan apa konsep Al-Qur’an tentang
meritokrasi?
Berkaitan
dengan konsep itu, rangkaian ayat 23-26 pada surah al-Qasas memberikan
deskripsi. Narasi tentang bagaimana seseorang seharusnya di angkat dan bertanggung
jawab atas apa yang menjadi tugasnya. Menurut saya, ayat yang paling jelas
menunjukkan maksud itu adalah ayat ke 26: “salah seorang dari kedua wanita
itu berkata, wahai ayahku, ambillah dia sebagai orang yang bekerja pada kita,
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil bekerja pada kita
adalah yang kuat lagi dapat dipercaya”
Dua
Imam Jalal: Jalaluddin Al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli, melalui Tafsir
Jalalayn menjelaskan makna ayat bernuansa kisah ini. Menurut dua imam ini, ayat
tersebut berkaitan dengan salah seorang anak Nabi Syu’aib yang meminta agar
Nabi Musa dipekerjakan sebagai penggembala kambing kepada ayahnya, Syu’aib.
Ketika Nabi Syu’aib bertanya tentang Nabi Musa, Anak Nabi Syu’aib menceritakan
banyak hal tentang apa yang telah dilakukan oleh Nabi Musa: mulai dari
mengangkat batu penutup sumur, juga tentang perkataan Nabi Musa kepada dua anak
Nabi Syu’aib: “berjalanlah di belakangku”. Sebuah penafsiran yang
setidak-tidaknya menjelaskan tiga hal pokok tentang meritokrasi dalam khazanah
Islam, yaitu: memiliki kemampuan (kuat), dapat dipercaya dan bertanggung jawab.
Semua itu, idealnya menjadi bahan pertimbangan dalam memberikan kuasa dan
tanggung jawab. Bahkan, Syaikh Mutawalli Al-Sya’rawi menjadikan dua hal di atas
(memiliki kekuatan dan amanah) sebagai syarat utama dalam sistem kerja. Makna
yang juga disetujui dua mufasir lain: Fairuz Abadi dan Al-Sulami. Tentu saja
dengan penambahan sedikit penjelasan bersemangat sufistik. Dengan mengutip
pendapat Ibn ‘Atha, Al-Sulami memberi spesifikasi dengan: Kuat secara
spiritual, amanah terhadap karunia yang bersifat jasmani (bertanggung jawab
dalam mengambil tindakan).
Pembahasan
satu ayat di atas menjadi penjelas bagi dua keharusan dalam sistem merit, yaitu:
kapabilitas dan integritas. Integritas moral juga integritas religius.
Sebelum
tulisan ini selesai. Saya merasa perlu menghadirkan citra. Siapa lagi kalau
bukan Rasulullah, kekasih Allah. Tentu bukan untuk menyamainya. Selain terlampau
sulit, itu juga mustahil. Tapi, meneladaninya adalah niscaya. Atas nama cinta
pada teladan-teladannya. Untuk itu saya kutip tafsir lagi. Surah Al-Taubah
bagian hampir terakhir, ayat 128. Pada ayat ini Allah tegaskan pada kita semua
tentang integritas moralnya, cintanya dan kasih sayangnya pada kita semua. Ayat
itu berbunyi: “sungguh, telah datang rasul kepadamu, dari kaummu sendiri,
berat terasa baginya penderitaan yang
kamu alami, dia sangat mengingingkan keimanan dan keselamatan bagimu, penyantun
dan penyayang bagi orang-orang yang beriman.”
Ayat
ini memang sudah mendaftar sifat-sifat mulia yang harus diteladani. Bisa
dikatakan turunan dari integritas. Seperti memiliki ‘frekuensi’ sama dengan
rakyat (tidak merasa lebih tinggi dari rakyat), peduli, memberi solusi, melakukan
perbaikan-perbaikan, penyantun dan penuh kasih sayang. Akhlak terpuji yang sebangun
dengan apa yang juga ditafsirkan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani terhadap
ayat itu.
Demikianlah inti makna dari
dua ayat Al-Qur’an, dua tafsir dan lima mufasir. Pendapat mereka tersimpul pada
dua terma kunci dalam meritokrasi. Kapabilitas dan integritas yang mewujud
dalam sikap, tindakan dan kebijakan. Sebelum menjadi mitos, maka dua kata di atas
idealnya terasosiasi dalam diri setiap yang mendaku sebagai pemimpin. Perjuangan
untuk menterjemahkan semangat itu adalah jalan menciptakan kebaikan-kebaikan
bagi semesta. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab.
Gambar: columbiaspectator.com
Komentar
Posting Komentar