PERUBAHAN DAN ZUHUD
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Malam
Jumat, dua malam dua hari menjelang Idul Adha 1440 H, saya berkesempatan
bertemu dengan teman-teman lama saya, sewaktu bekerja di salah satu Kementerian
di Jakarta Pusat. Lulus dari UIN Yogyakarta memang saya langsung ‘hijrah’ ke
Jakarta dan sempat bekerja selama satu tahun dua bulan sebelum akhirnya kuliah
lagi pada tahun 2013.
Tak disangka,
saya bertemu beberapa pejabat senior, sebagian sudah saya anggap sebagai guru
dan orang tua saya sendiri. Bahkan saat kuliah dan sudah tidak bekerja di kantor,
oleh salah seorang pejabat, saya masih dipercaya mengajar anak-anaknya.
Ada
banyak cerita dan kabar dalam perbincangan kami di lobi hotel dekat pelabuhan
Samarinda malam itu. Cerita tentang rekan-rekan senior yang sudah pensiun, ada
juga teman-teman kantor yang sudah ‘pergi mendahului’. Ada banyak
cerita tentang perubahan-perubahan yang terjadi. Salah satunya, soal sebagian
mereka yang naik jabatannya, dan sebagian lain yang tak kunjung naik
jabatannya.
Dari
banyak cerita yang saya dengar, saya akhirnya berkesempatan juga menyampaikan
apa yang terjadi, tentang saya sendiri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan,
tentang ‘wanita cantik’ yang ada di samping saya dan tentang kota Samarinda.
Dari
kehangatan perbincangan malam itu, sebagai yang paling muda, bersama istri,
kami lebih banyak menerima nasihat, ajaran dan nilai-nilai dari
pengalaman-pengalaman mereka. Ini rasanya bagian yang paling penting.Sebuah hikmah
dan kearifan yang didapati jauh sebelum waktunya. Maksudnya begini, orang-orang
yang lebih senior biasanya punya apa yang disebut sebagai kebijaksanaan tentang
kehidupan. Bisa soal apa arti hidup? apa tujuan hidup? Dan bagaimana hidup yang
berkualitas?. Betapa beruntungnya jika kumpulan ilmu dan pengalaman itu
ditumpahkan kepada kita di usia semuda ini. Semua itu tentu saja akan
memperkaya cakrawala berfikir yang muaranya adalah kearifan.
Namun
demikian, Persoalannya tidak semua ilmu bisa diserap melalui bahasa yang lugas.
Sehingga kemampuan menangkap kesan dan kesadaran adalah sangat penting. Baik
makna yang terungkap, atau apa yang terdapat di balik makna itu sendiri.
Dari
berbagai topik yang kami perbincangkan malam itu, ada satu hal pokok yang
menurut saya penting. Yaitu soal perubahan status dan kedudukan. Seperti telah
saya singgung di atas tentang seorang teman yang bercerita mengenai
perubahan-perubahan, konkretnya masalah perpindahan dan perubahan jabatan yang
terjadi dalam struktur birokrasi. Seperti diceritakannya: ada yang baru saja
menjadi pegawai, tapi sudah mendapatkan promosi jabatan. Begitu juga
sebaliknya, ada pegawai yang telah lama mengabdi, terus berusaha memberikan
yang terbaik, namun tak juga diangkat jabatannya setelah sekian puluh tahun
bekerja. Meskipun hal ini diceritakan setengah bercanda, tapi ia tetap saja
kejujuran dari suasana batin. Setidaknya kesan itu yang saya tangkap. Merespon
itu, dengan meyakinkan saya sampaikan: tidak mengapa pak, asalkan kehidupan
tenang dan damai. Pokok yang ingin saya sampaikan dari percakapan itu
adalah bukan soal cepat atau lambatnya seseorang menapaki jalan karirnya. Hal
itu tentu saja berkait erat perihal kapabilitas dan integritas. Meskipun,
terkadang tidak terlepas juga dari persoalan politik praktis dengan segala siasatnya.
Dalam posisi ini, orang-orang baik dan jujur yang tidak memiliki kedekatan
dengan struktur pimpinan pasti tidak masuk perhitungan. Kalkulasinya sudah bukan
kemampuan, tapi kedekatan. Dari sini, menjadi semakin jelas, bahwa beroleh
pangkat dan kedudukan dari cara yang dipaksakan dan menghalalkan segalanya
adalah kezaliman, selain mendefinisikan jati diri orang yang melakukannya.
Bukankah dari sikap dan tindakanlah harga diri kita dinilai?. Cara dan proses
yang baik akan meniscayakan hal-hal yang baik pula. Singkatnya, sebagai sub
dari perubahan, pangkat dan jabatan harus dicapai dari niat dan cara yang baik
dan benar.
Sesungguhnya simbolisasi perubahan
atau pencapaian terhadap sesuatu itu juga banyak macamnya: bisa
kepandaian, pangkat, jabatan, keterpengaruhan, popularitas, kekayaan dan lain
sebagainya. Di dalam pencapaian-pencapaian perubahan itulah seringkali terdapat
banyak jebakan-jebakan yang kadang tidak disadari. Orang yang semula bodoh lalu
menjadi pintar. Di sana ada potensi untuk sombong. Orang yang semula miskin,
lalu menjadi kaya. Ada kecenderungan untuk hidup secara berlebihan dan
bermewah-mewahan. Ada banyak tamsil-tamsil lain yang serupa. Oleh karena itu,
setiap fase perubahan, harus dikembalikan kepada yang maha memiliki. Kekosongan
pada fase-fase perubahan hanya akan menggelincirkan seseorang. Seperti salat
yang memberi jeda pada setiap gerakan rukunnya dengan takbir. Karena ada
kemungkinan lupa kepada Allah di setiap perpindahan dan perubahan. Dari semua hal
ini, apa yang bisa membuat kita tenang dalam segala perubahan selain tidak
merasa memiliki dunia di dalam hati kita. Tradisi sufi menyebutnya sebagai zuhud:
penghambaan total dan pengharapan pada Allah semata. Dan tidak termasuk
meninggalkan sifat zuhud, orang-orang yang jabatan, kemampuan dan
kekuasaannya adalah untuk kebaikan-kebaikan semesta. Wa Allahu A’lam bi
al-Shawab.
Komentar
Posting Komentar