TENTANG FILSAFAT DAN KEBERTUHANAN KITA
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Kelas pertama Filsafat Islam,
mengawali semester tiga, saya sudah dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan
serius seputar sumber dan metode pencarian kebenaran melalui filsafat yang
diajukan oleh mahasiswa. Sebuah pertanyaan yang kemudian menjurus pada hal yang
lebih rumit, soal Ketuhanan. Kenapa harus bersandar pada filsafat, bukan pada
pemahaman atas wahyu saja sebagai sebuah sumber kebenaran tentang Tuhan?. Dan pertanyaan-pertanyaan
lain sejenisnya yang memberikan kesan bahwa ada syak wasangka atas filsafat. Tulisan
ini adalah usaha untuk memberikan jawaban atas keraguan-keraguan itu.
Harus diakui bahwa ada fakta historis tentang apa yang disampaikan
oleh mahasiswa tersebut di atas. Tentang filsafat yang tidak mendapat tempat di
tengah-tengah masyarakat. Ia dianggap
menabrak dan meruntuhkan sendi-sendi agama. Ia yang berfikir secara filosofis
tentang ketuhanan berpotensi untuk syirik dan melanggar aturan-aturan syariat.
Contoh paling nyata dari hal ini adalah tentang teori-teori ketuhanan para filosof
yang menjadi titik kritik bagi kelompok yang berseberangan bahkan kelompok
filosof sendiri. Satu kasus, misalnya, tentang teori gerak Aristoteles (384
SM-322 SM), yang mengandaikan bahwa gerakan-gerakan yang terjadi di alam
disebabkan oleh banyak sebab, dan sebagai penggerak utamanya adalah Tuhan.
‘Banyak sebab’ atas gerakan inilah yang kemudian dibantah dengan argumen bahwa
Tuhan adalah sebab segalanya. Ia tidak butuh sebab-sebab lainnya. Bukankah
Tuhan adalah yang keberadaan-Nya tidak tergantung sama sekali dengan ada-ada
yang lainnya?.
Lalu, bagaimana menjawab pertanyaan itu?. Tentu saja dengan memahami aturan-aturan
berfilsafat itu sendiri: berfikir radikal (mengakar), sistematis dan logis.
Soal produk pemikiran yang berbeda itu adalah hal biasa dan sangat dihargai
dalam filsafat. Bukti atas realitas tersebut adalah beragamnya aliran dalam
filsafat yang juga disebabkan oleh situasi dan kondisi yang berbeda-beda pula.
Sampai di sini produk pemikiran yang dianggap ‘kontroversial’ itu seharusnya
sudah bisa didudukkan sebagai hasil berfikir yang sangat mungkin berbeda dengan
apa yang barangkali telah mapan menjadi keyakinan kita. Kita boleh melakukan
kritik atasnya. Yang terpenting menerima pendapat dengan alasan, menolakpun
dengan alasan, atau melakukan sintesis atas apa yang bertolak belakang, dengan
usulan dan pandangan yang rasional dan logis pula. Boleh saja tidak setuju
dengan pemikiran filsafat, tapi tidak boleh berfikir secara tidak benar,
apalagi mengambil kesimpulan-kesimpulan
dalam pengaruh emosi. Sesuatu yang dalam filsafat Islam disebut berfikir dan
bertindak atas dorongan amarah (Al-Quwwah Al-Ghadabiyyah). Dalam
filsafat, akal harus tetap memimpin dan mendominasi jiwa manusia.
Selain soal beragamnya pemikiran filsafat, ada aspek kronologis yang
harus dipahami, yaitu ide-ide dan pemikiran filsafat yang berkembang secara
dinamis. Ketika ia masuk dalam tradisi keagamaan tertentu. Ia tidak diterima
begitu saja. Ada proses dan penyesuaian-penyesuaian. Dalam tradisi Islam kita
tahu bagaimana Al-Kindi (786-809 M) berusaha keras untuk memodifikasi teori
gerak Aristoteles di atas agar sejalan dengan prinsip-prinsip ketauhidan dalam
agama Islam. Seperti diketahui, teori gerak Aristoteles membuat satu diktum
yang cukup meyakinkan tentang gerakan alam raya yang disebabkan oleh gerak-gerak
lainnya. Sebagai contoh saja, misalnya, gerak bertumbuh tanaman disebabkan
biji, biji menyebabkan tunas, tunas menyebabkan batang, batang menyebabkan
dahan, dahan menyebabkan tangkai, tangkai menyebabkan daun, daun menyebabkan
bunga, bunga menjadikan buah, dari buah kembali lagi menjadi biji. Menurutnya,
gerakan semacam ini tidak berujung (tasalsul), sehingga harus ada
penggerak yang menggerakkan, itulah penggerak utama, yaitu Tuhan. Pendapat ini
kemudian dikritik oleh Al-Kindi, bahwa Tuhan tidak bisa dimaknai hanya sebagai
penggerak secara mekanis. Ia adalah yang menjadi tempat bergantung, tempat
meminta dan mendengar permintaan dan doa-doa. Ada hubungan antara pencipta dan
yang diciptakan. Tuhan bukan pula sebab utama dalam gerakan-gerakan, tetapi
menjadi sebab dalam setiap gerakan. Jadinya biji, tunas, batang, dahan,
tangkai, daun bunga dan buah, semuanya adalah disebabkan oleh Tuhan. Pada titik
ini kita harus mengakui bahwa filsafat menjadi argumen penting yang tidak hanya
dogmatis, tetapi juga rasional. Rasionalitas inilah yang sebenarnya menjadi
pembuka jalan diskusi bagi terhubungnya filsafat, agama dan ilmu pengetahuan.
Jalinan yang memberikan pencerahan di banyak sisi keagamaan. Dengannya kita
menemukan hakikat-hakikat dan semakin dekat dengan Tuhan.
Kemampuan menemukan hakikat
kebenaran atas Yang Maha benar itu penting. Ia membuka tabir kearifan. Yang
dilihatnya bukan lagi wujud demi wujud, pergerakan demi pergerakan, keteraturan
demi keteraturan alam raya yang terjadi secara alamiah. Yang dilihatnya adalah
Yang Maha Mengatur keserasian dan harmoni semesta ini. Itu semua adalah bukti
nyata tentang Pencipta.
Kesadaran atas pencipta
membimbing manusia untuk berfikir, bersikap dan bertindak terarah. Jiwa
orang-orang yang tercerahkan dengan kehadiran Tuhan itu tenang dan khusyuk.
Memberikan dampak yang baik bagi orang-orang sekitarnya, bagi lingkungannya. Ia
membangun paradigma yang baru bagi pandangan manusia tentang kehidupan dan
segala hal yang ada di dalamnya. Itulah kiranya yang menjadi alasan penting
mengapa filsafat Ketuhanan (Al-Falsafah Al-Ula) berada di tingkatan
tertinggi dari penyelidikan filosofis menurut Al-Kindi. Setidak-tidaknya, dari
sini semakin terang dan jelas siapa yang ada di balik alam raya. Tujuan kita
bersujud setiap hari. Dia, Allah Jalla
wa ‘Azza. Ilahi Anta Maqshudi wa Ridhaka Mathlubi. Wa Allah A’lam
bi Al-Shawab. [MJ]
Gambar: radicalvirgo.com
Komentar
Posting Komentar