ALLAH: AKAL, CAHAYA DAN ALAM RAYA



Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Kelas perkuliahan Filsafat di semester ini akan berakhir Desember ini. Artinya, diskusi-diskusi filosofis tentang Tuhan, manusia, alam, etika dan isu-isu aktual lainnya harus segera diselesaikan secara formal. Sudah banyak filosof yang dibahas pemikirannya, dari Barat, Timur, hingga Persia. Semuanya menarik, apa indikatornya?. Dari semua pembahasan itu memicu tanya dan kritik. Persoalan sehari-hari pun ditarik masuk ke dalam diskusi-diskusi fisafat oleh mahasiswa. Semuanya saya jawab sebisanya. Tidak lupa saya lengkapi jawaban yang terasa kurang, dan belum sempurna pada minggu selanjutnya. Tulisan ini, selain untuk me-review, saya pikir tepat juga untuk mengambil makna dan nilai sebanyak-banyaknya, dan sedalam-dalamnya, sebagai refleksi perkuliahan Filsafat selama satu semester ini. Dari sini, mungkin akan kita temukan sebuah pencerahan cara berpikir kita tentang Tuhan dan apa-apa saja yang diciptakan-Nya sebagai hakikat dan kebermaknaan yang sejati. Ujungnya, adalah kita semua menjadi pribadi yang berkualitas dihadapan Tuhan. Dalam segala tindakan, di setiap peran kehidupan.

Filsafat Ketuhanan
Kita mulai dari Filsafat Ketuhanan. Banyak argumen diajukan oleh para filosof dengan teori-teori yang seringkali dirasa rumit: melalui argumen gerak, teori emanasi, hingga iluminasi. Pada teori gerak kita memahami bahwa setiap gerak ada sebabnya. Ada akibatnya. Gerakan-gerakan itu kemudian memberikan manfaat dalam keteraturannya, yang dengannya kita meyakini adanya penggerak utama, yaitu Allah yang menjadi sebab segala sesuatu. Masih soal Tuhan dan karya-Nya, yaitu alam, yang masih terus dicari jawabannya dalam perenungan orang-orang yang berpikir. Apakah alam diciptakan dari ketiadaan? Ataukah dari sebuah materi awal?, ataukah Ia semacam keniscayaan dari adanya Tuhan. Maksudnya, adanya alam menjadi bukti adanya Tuhan. Mungkin bagi sebagian orang, pertanyaan-pertanyaan ini masih terasa menggelisahkan. Kenapa menggelisahkan?, karena setiap jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu akan memberikan akibat dan efek domino tentang alam. Misalnya alam yang dianggap diciptakan dari sebuah materi yang telah ada, berakibat pada kesyirikan, karena menganggap ada sesuatu yang lain sebelum semesta diciptakan. Atau, penciptaan alam dari tiada menjadi ada (al-Ijad min al-‘Adam) yang secara nyata menjadi bukti adanya Tuhan, karenanya, ia menjadi penanda tentang dua hal, yaitu Khaliq dan makhluq, antara pencipta dan yang diciptakan. Dari sini terdapat dua substansi pertanyaan yang ingin diungkapkan: apakah alam itu qadim (kekal) ataukah hadits (baharu)? Kekal artinya tidak bermula dan tidak berakhir, dan baharu yang berarti diciptakan atau wujud yang pasti akan hancur dan berakhir. Pendapat yang menyatakan alam itu kekal, akan dikritik oleh filosof yang berpandangan bahwa yang kekal hanyalah Allah semata, atau sebaliknya, kelompok filosof yang menyatakan bahwa ada kekekalan lain, yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam dengan materi-materi awal. Untuk menyelesaikan polemik ini, pendapat Ibnu Thufayl (1110-1184 M), seorang filosof Andalusia, menjadi sangat relevan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pendapatnya, bahkan menjawab dua persoalan sekaligus. Menurutnya, alam (segala yang maujud) tersusun dari materi dan bentuk, setiap materi tentulah membutuhkan bentuk, bentuk itu sendiri tidak mungkin bereksistensi penggerak, dan segala yang ada hanya dapat mewujud karena adanya penggerak atau pencipta (Zar, 2004: 214).  Melalui pendapat ini, saya berkeyakinan ada kekekalan yang diciptakan Allah, yang kekekalannya tidak setara dengan kekalnya Allah. Seperti banyak berita Al-Qur’an tentang orang-orang yang masuk surga dan mereka kekal di dalamnya. Bukankah hal ini kekekalan juga?.

Kenapa Akal dan Cahaya Menjadi Simbol Emanasi?
Tentang Tuhan, kita sudah memosisikannya pada setinggi-tinggi dan semulia-mulia tingkatan. Tidak ada yang setara dengan-Nya. KepadaNyalah alam raya bersujud. Pengetahuan kita pada pemikiran ini, membawa kita  pada tahap selanjutnya dalam usaha mengenal Tuhan, tentang bagaimana Ia menciptakan semesta menurut pendapat para filosof Islam?

Jika dilihat dari cara filosof menjelaskan bagaimana Tuhan menciptakan alam, ada dua simbol yang digunakan: akal dan cahaya. Akal digunakan untuk menjelaskan teori emanasi (Nazhariyat Al-Faydh), sedang cahaya adalah tamsil yang digunakan untuk menjelaskan Tuhan melalui filsafat iluminasi (Hikmat Al-Isyraqiyyah). Al-Kindi (801 – 873 M), Al-Farabi (870 – 950 M), Ikhwan Al-Shafa (10 M) dan Ibnu Sina (980 - 1038) menggunakan terminologi akal. Sementara Suhrawardi Al-Maqtul (1153 – 1191 M) menjadikan cahaya sebagai simbol iluminasi Tuhan.

Kenapa akal?, kenapa cahaya?. Keduanya punya alasan rasional dan teologis. Secara rasional, akal dianggap sebagai wujud paling awal sebelum sesuatu, ia ada sebelum adanya wujud lain. Sebelum sesuatu ada, ia telah ada pada akal. Ayat-ayat Al-Qur’an banyak menyebut kata akal (‘aql) dengan beragam derivasinya, untuk menunjukkan betapa utamanya akal. Hal ini sejalan dengan sebuah hadis populer: “Al-Din ‘Aql, La Dina Liman La ‘Aqla Lah: agama adalah akal, tidak ada agama bagi yang tidak berakal.” Namun demikian, harus dipahami bahwa Allah adalah ‘aql (semua ide dari Allah), ‘Aqil (Zat yang berfikir) dan Ma’qul (zat yang juga dipikirkan). Allah suci dan tidak tergantung pada apapun dan pada siapapun. Allah suci dalam serba kekuasaan-Nya. Sebelum masuk pada tahap emanasi akal, seharusnya sudah menjadi jelas bahwa akal adalah deskripsi tentang kemahatahuan Allah semata.

Setelah akal, ada simbol lain, yaitu cahaya. Kenapa cahaya?, bagaimana cahaya?. Penjelasan tentang cahaya memiliki rujukan teologisnya dalam Al-Qur’an, Surah Al-Nur 135:  "Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."

Tentang cahaya, secara argumentatif Suhrawardi berusaha untuk menjelaskan konsep metafisika cahaya. Menurutnya, cahaya merupakan satu-satunya realitas sejati, Tuhan adalah cahaya di atas cahaya. Semua cahaya bersumber dari-Nya. Segala maujud di alam raya hanya terbagi menjadi dua: cahaya dan kegelapan. Hanya cahaya yang memiliki realitas objektif, sedang gelap tidak. Kegelapan itu sendiri disebabkan oleh ketiadaan cahaya. Keadaan cahaya akan menjadikan gelap sirna. Cahaya adalah keniscayaan yang memancar, semua benda disinari cahaya. Kualitas benda ditentukan oleh tinggi rendahnya intensitas cahaya. Cahaya Tuhan itu bersifat independen, kaya (Al-Ghani), dan absolut dalam kemandirian-Nya. Sedangkan sifat cahaya pada alam itu adalah fakir (Al-Faqr) yang menunjukkan ketergantungan alam pada cahaya Tuhan. Dari sini patutlah kita memberikan penilaian betapa tinggi dan mulianya cahaya. Sehingga menjadi teranglah alasan kenapa simbolisasi cahaya menjadi penting dalam usaha menjelaskan proses penciptaan dalam teori emanasi.

Memahami Akal dan Cahaya dalam Emanasi
Deskripsi akal dan cahaya dalam konsep emanasi adalah sesuatu yang masuk akal. Dalam diskusi-diskusi filsafat di kelas, dua simbolisme itu dapat diterima dan dipahami. Yang jadi persoalan adalah tentang bagaimana akal dan cahaya itu beremanasi?. Di titik inilah, kerumitan dimulai. Ada banyak pertanyaan dan sangsi yang menunjukkan betapa sulitnya memahami akal dan cahaya, dari yang semula satu, kemudian menjadi banyak dan berbilang. Sementara ada diktum umum di kalangan filosof bahwa Yang Satu, seharusnya hanya memunculkan yang satu pula. Sementara dalam konsep emanasi dalam filsafat Islam, akal dan cahaya yang semula tunggal, melahirkan akal-akal dan cahaya-cahaya lanjutan, yang pada gilirannya membentuk semesta dan apapun yang ada di dalamnya.

Untuk menjawab pertanyaan itu, menurut saya, perlu ada wawasan tentang tujuan penciptaan. Hal ini diperlukan agar konsep emanasi melalui akal dan cahaya menjadi lebih mudah untuk dimengerti. Dalam sebuah hadis Qudsi disebutkan: “kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu ‘an u’rafa, fa khalqtu al-khalqa, fa bi ‘arafuni: pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhluk, maka melalui Aku, mereka mengenal-Ku.” Memang ada perdebatan tentang kualitas hadis ini, pada umumnya sufi menerima hadis ini, meskipun dengan penafsiran yang tidak tunggal. Yang pasti makna hadis ini sejalan dengan makna ayat Al-Qur’an, Fushshilat 53: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. Melalui dalil-dalil ini, semakin jelas kedudukan Allah yang kuasa memperkenalkan diri-Nya, pada makhluk-Nya dan dengan cara-Nya. Allah memiliki kebebasan absolut untuk menciptakan semesta sebagai cara untuk dikenal. Tapi bukankah Allah tidak membutuhkan apapun atas makhluknya?, itu benar. Tetapi, agar yang dicintai-Nya tahu kepada yang mencintai-Nya, maka diciptakanlah jalan pengenalan supaya yang dicintai mengenal siapa yang mencintai, yaitu Allah. Penciptaan alam raya sebagai jalan pengenalan hamba atas Tuhan-Nya bukan karena Allah membutuhkan makhluk, tetapi karena ‘Inayat Allah, sifat rahman dan rahim Allah semata atas segala makhluk-Nya. Jika ini terpahami dengan baik, maka proses emanasi sebagai jalan penciptaan semesta dengan menggunakan simbolisasi akal dan cahaya akan lebih mudah untuk dipahami.

Seperti yang telah saya sebut di atas. Ada diktum filsafat yang menyatakan bahwa, Yang Satu harus mewujudkan yang satu pula. Filosof, semisal Al-Farabi berusaha keras untuk membuktikan diktum itu. Allah digambarkannya, sebagai Yang Berfikir, konsekuensi dari pemikiran-Nya inilah yang melahirkan akal pertama (Al-‘Aql al-Awwal). Objek  pemikiran Tuhan adalah Tuhan itu sendiri. Ia tahu bahwa Ia adalah Satu Yang Benar (the true one), sumber segala sesuatu. Proses ini sudah mampu menunjukkan bahwa Tuhan Yang Esa mewujudkan Yang Satu pula. Dengan demikian, akal pertama ini sudah berkedudukan sebagai ciptaan Tuhan, objek Non-Tuhan. Akal pertama yang terbentuk ini sudah mampu berpikir tentang dua prinsip: tentang Tuhan, dan tentang wujudnya sendiri. Ketika akal pertama berpikir tentang Tuhan, yang merupakan sumber segala sesuatu, maka mewujudlah akal kedua. Dan ketika akal pertama berfikir tentang dirinya sendiri, maka lahirlah benda-benda langit. Ada dua prinsip yang dimiliki oleh akal pertama, prinsip keesaan dan prinsip keanekaan. Proses ini terus terjadi hingga akal ke sepuluh, yang melahirkan planet-planet, bintang-bintang, bulan-bulan, manusia dan segala benda yang ada pada semesta raya. Dengan demikian, Al-Farabi telah berhasil membuktikan bahwa dari Yang Esa mewujud yang Satu, dan dari Yang Satu itulah muncul keanekaragaman makhluk. Begitulah proses emanasi dengan simbolisasi akal yang terus memancar dan membentuk alam raya dan seisinya. Tapi kenapa berfikir menjadi sebab bagi munculnya akal dan benda-benda?. Karena wujud pertama sebelum benda-benda adalah apa yang ada pada akal. Jadi akal mendahului wujud sesuatu. Dari sini sudahkah dimengerti jalan Tuhan mengenalkan diri-Nya melalui “akal-akal”? Seperti yang sudah saya jelaskan di awal: Tuhan mengenalkan diri-Nya pada makhluk-Nya, juga melalui diri-Nya.

Setelah akal, ada persoalan lain, yaitu cahaya. Untuk kepentingan itu, penting bagi kita untuk mengamati pemikiran Suhrawardi Al-Maqtul, seorang filosof Persia yang dikenal sebagai bapak pencerahan (syaikh al-Isyraq/the master of illuminasionist).  Tentang teori emanasi Suhrawardi, saya mendapat kesan ada kemiripan secara proses dengan emanasi akal yang digagas oleh Al-Kindi, Al-Farabi dan Ibnu Sina. Kesamaannya adalah tetap memosisikan Tuhan sebagai kebenaran tunggal dan sumber segala penciptaan. Dalam teori emanasi Suhrawardi, Tuhan adalah sumber segala cahaya. Cahaya Tuhan memancar melalui cahaya pertama dan terdekat (Al-Nur Al-Aqrab), yang memancar dari Tuhan secara vertikal (Thuli). Cahaya pertama ini kemudian memancarkan Arbab Al-Ashnam (semacam prototipe bagi makhluk apapun yang ada di alam fisik) secara horizontal (Ardhi). Sifat-sifat cahaya horizontal ini disebut juga dengan Al-Anwar Al-Mudabbirah (cahaya-cahaya dominan) yang memiliki pengaruh terhadap cahaya-cahaya yang ada di bawahnya: ada malaikat atau cahaya-cahaya yang menjaga tumbuh-tumbuhan, hewan dan mineral. Ada pula cahaya yang menjaga manusia dan menggerakan benda-benda langit. Proses ini tidak terbatas hanya sampai sepuluh akal. Pancaran cahaya Tuhan adalah keniscayaan atas segala benda yang ada di alam semesta. 

Melalui emanasi akal dan cahaya terdapat fakta-fakta yang bisa diungkap, dua yang paling nyata adalah: para filosof Islam berusaha memosisikan Tuhan dalam kesucianNya yang tidak terpengaruh oleh benda-benda dan penciptaan semesta yang tersistem, terstruktur dan kompleks. Serba keteraturan ini adalah dalil kewujudan Allah yang bisa diterima secara rasional. Dalam bahasa yang lugas, bisa kita katakan: adanya semesta adalah tanda adanya Allah.

Penutup: Makna Akal dan Cahaya bagi Manusia
Setelah mengerti tahapan-tahapan emanasi, adakah ia memiliki makna pada kesejatian kemanusiaan kita?. Tentu saja. Kalaulah kita melihat alam raya sebagai makhluk-Nya, maka tiadalah kesombongan diri. Alam di luar manusia adalah subjek juga, yang bersujud dan yang bertasbih, bukan objek semata, yang harus terus menerus digunakan untuk memenuhi kepentingan manusia. Dengan begitu, manusia dan lingkungan alamiahnya berada dalam hubungan yang saling membantu dan membutuhkan. Manusia, sebagai yang berakal dan terlimpahi cahaya dengan intensitas lebih tinggi di banding banyak makhluk lainnya memiliki dua kesempatan untuk sampai mendekat ke akal tertinggi dan cahaya tertinggi. Pertama, melalui anugerah Tuhan; kedua, dengan jalan mahabbah (cinta). Saat manusia membuka tabir kegelapan yang ada di dalam dirinya, maka masuklah cahaya dan terjadilah peningkatan kualitas cahaya. Itu berarti Ia sedang mendekat menuju cahaya yang lebih tinggi. Akal dan cahaya adalah sumber segala kebenaran, kebijaksanaan, kebaikan dan keindahan. Siapa manusia ideal yang dapat sampai pada cahaya itu?. Ia yang mampu mengosongkan dirinya dari sifat-sifat tercela, lalu menghiasinya dengan sifat terpuji, serta mengejewantahkannya dalam sikap dan perbuatan terhadap semesta. Dengan akal dan cahaya, Ia memberikan pencerahan pada dunia. Dengan rasio dan intuisinya Ia melihat dunia. Jika diperlukan contoh terideal atas itu semua, maka tidak bisa tidak, itu pasti insan kamil, manusia sempurna bernama Muhammad Ibn ‘Abdillah. Allahumma Shalli ‘Ala Sayyidina Muhammad. Wa Allah A’lam bi al-Shawab. [MJ]

Gambar: gstatic.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

BELAJAR BAHASA INGGRIS