GURU SEKUMPUL DAN FILSAFAT CAHAYA




Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Fenomena Haul Akbar Guru Sekumpul itu perlu dijelaskan secara filosofis. Untuk menemukan jawaban yang lebih esensial dari sekadar perdebatan tentang haul itu sendiri, dengan berusaha memahami jauh lebih dalam tentang Siapa Guru Sekumpul yang begitu memberikan pengaruh besar serta menginspirasi semangat sosial-keagamaan yang terjadi secara besar-besaran?

Fakta-fakta tentang kebudayaan yang bersifat keagamaan itu, beberapa dapat disebut disini, di antaranya: jemaah yang datang dari berbagai wilayah di Indonesia memenuhi Martapura untuk mengikuti acara haul; terjadi semacam solidaritas sosial, seperti makan gratis, bahan bakar gratis, bengkel gratis, di batas-batas provinsi di Kalimantan, dan juga banyak titik, sepanjang jalan menuju lokasi haul di Martapura yang disediakan secara sukarela oleh masyarakat untuk para peserta haul  Guru Sekumpul Martapura. Beberapa kampung, bahkan, masyarakatnya bergotong royong mengumpulkan kayu bakar untuk dikirim ke panitia haul di Martapura, ini belum termasuk sumbangan bahan-bahan pokok yang datang dari berbagai kelompok masyarakat. Semua peserta haul bahkan telah mendapatkan jatah makanan, tiga hari sebelum acara haul dimulai. Betapa haul Guru Sekumpul mampu menggerakan kesadaran sosial secara masif. Faktualitas yang masih menyimpan pertanyaan, dan membutuhkan jawaban sekaligus.

Untuk memeroleh jawaban itu, saya berusaha berdiri di atas dasar-dasar filsafat cahaya Suhrawardi, untuk memosisikan Guru Sekumpul dalam tingkatan-tingkatan cahaya. Sesuatu yang bisa dilihat melalui aktivisme historisnya sebagai seorang ulama berpengaruh dari Martapura,  Kalimantan Selatan. Sebagai apa dan bagaimana Guru Sekumpul dicitrakan oleh masyarakat, di sanalah dapat ditemukan jawaban atas fenomena yang terjadi pada Haul Guru Sekumpul?. Tentang jumlah jemaah, dan juga sikap sosial-religius masyarakat yang berhasil membentuk budaya sosial-keagamaan baru itu.

Dalam usaha memahami Filsafat Cahaya, saya membaca sebuah buku berjudul Suhrawardi and the School of Illumination karya Mehdi Amin Razavi, yang diterbitkan oleh Routledge, London, tahun 2013. Di buku itu, saya membaca satu bagian khusus dari pemikiran Suhrawardi, “Philosophical Sufism: On Lights and Its Varieties”, Sufisme Filosofis: Tentang Cahaya dan Keanekaragamannya. Dalam pandangan Suhrawardi, cahaya adalah susunan hierarki dari yang tertinggi sampai yang terendah. Yang tertinggi adalah cahaya di atas cahaya (Nur Al-Anwar), sedang yang paling rendah adalah kegelapan atau ketiadaan cahaya (‘adam). Segala sesuatu yang eksis berada dalam derajat dan intensitas cahaya dan kegelapan. Pemaknaan maknawinya, semakin dekat seseorang dengan “Cahaya di atas Cahaya”, Allah, maka semakin tinggi pula intensitas cahayanya. Dan semakin jauh seseorang dari Allah, semakin rendah pula intensitas cahayanya, artinya intensitas kegelapan jauh lebih banyak daripada intensitas cahaya-Nya.

Apa yang terpenting dalam tingkatan cahaya tersebut?, Suhrawardi merujuk pada istilah Nur Isfahbadi, yaitu cahaya yang suci, murni dan independen. Konkretnya, cahaya tersebut ada pada jiwa yang rasional. Melalui argumen ini, menjadi jelas bahwa, orang yang menggunakan rasionya, sejatinya sedang menapaki jalan menuju cahaya di atas cahaya, yaitu Allah. Sedangkan, jiwa yang tidak bercahaya adalah jiwa yang fakir. Lalu bagaimana jiwa yang fakir atau gelap itu dapat bercahaya?. Ada dua modus. Pertama, dari bawah ke atas, dari yang dicipta kepada pencipta melalui prinsip cinta (mahabbah). Cinta kepada Allah menjadikan kita semakin dekat pada-Nya. Kedua, prinsip dominasi (Al-Qahr), Allah kuasa untuk melimpahkan cahaya-Nya pada makhluknya, yang dikehendaki-Nya. Jiwa yang berakal, dan suci adalah yang potensial memeroleh anugerah itu. Bagaimana pembuktian atas perolehan anugerah cahaya itu?. Dengan mendekati “Cahaya” melalui peribadatan yang ikhlas, dan tulus dengan cinta. Orang dengan tingkatan cahaya yang rendah, lalu kemudian Ia berusaha menapaki jalan menuju Sang Cahaya, Ia akan memeroleh Al-Bariqah Al-Ilahi (Kilatan Cahaya Ketuhanan). Dalam bahasa yang lebih sederhana, dapat diartikan sebagai petunjuk Allah yang menjadikannya sebagai jiwa yang terbimbing menuju Tuhan. Persatuan dengan cahaya di atas cahaya adalah tujuan terakhir dari semua makhluk, sumber segala cahaya, berada dalam dunia penuh cahaya (luminous world). Konsep filosofis cahaya ini, tentu saja, tidak dapat menggambarkan keseluruhan pemikiran Suhrawardi tentang cahaya, namun demikian, sebagai pengetahuan awal, ia cukup untuk menjadi dasar menjelaskan bagaimana ‘menjadi bercahaya’ dan menuju sumber segala cahaya, Allah. Tuhan semesta raya.

Dalam cahaya-cahaya itu, Guru Sekumpul tidak lain adalah manusia pilihan yang intensitas cahayanya lebih tinggi dibanding orang kebanyakan, itu artinya Ia dekat dengan Allah dengan dua cara sekaligus. Dengan jalan mahabbah dan anugerah. Dengan Cinta, melalui totalitas penghambaan kepada Allah menjadi sebuah fakta tentang Guru Sekumpul yang tidak bisa dibantah, tentang posisi keulamaannya. Di sisi yang berlainan, perolehan dari Allah dapat pula dibuktikan dengan kewalian dan kekeramatan. Bukti paling nyata adalah banyaknya para pencinta yang datang pada perayaan haulnya, yang mendoakan dan berusaha meneladani kehidupan dan ajarannya.  

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa secara personal, Guru Sekumpul telah memainkan peran penting dalam usaha mendakwahkan Islam melalui semangat profetik. Pesan-pesan agama berhasil disampaikannya secara optimis dengan cara membangun hubungan yang baik kepada Allah, dan kepada sesama manusia. Guru Sekumpul menekankan arti penting kewajiban teologis, dan kewajiban sosiologis. Untuk mencapai idealitas keberagamaan, seseorang harus mengenali dirinya, memperbaiki dirinya, menerjemahkan nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. (Abbas, 2017: 103). Guru Sekumpul memilih jalur dakwah dan pengajaran. Melalui wasilah pengajaran dan dakwah inilah, Guru Sekumpul melakukan transformasi sosial dan etik bagi masyarakat. Ia meyakini bahwa Guru bisa merubah perilaku murid menjadi baik, sedangkan murid itu sendiri harus meyakini bahwa apa yang diperoleh dari gurunya, bisa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari (Alimaturraiyah, Hariansyah, dan Wahab, 2019: 97-98).

Dua data di atas menjelaskan tentang metode dan tujuan pengajaran yang ditempuh Guru Sekumpul secara konsisten dalam usaha membentuk karakter masyarakat ideal. Ada dua hal sekaligus yang dilakukan oleh Guru Sekumpul. Idealisasi realitas, dan realisasi idealitas. Idealisasi realitas melalui perbaikan moral masyarakat dengan pengajaran yang multidimensi, melalui basis-basis keilmuan Islam. Melalui ilmu-ilmu itu pula Guru Sekumpul membangun karakter dan kebudayaan etis masyarakat. Berdasarkan temuan-temuan para sarjana itu, menjadi sah untuk disampaikan bahwa, baik secara metode dan strategi, penyampaian ajaran agama yang dilakukan oleh Guru Sekumpul, didukung oleh kepribadiannya yang juga baik dan menyejukkan. Sikap dan semangat untuk menampilkan Islam yang penuh kasih jelas terlihat, dalam keseharian, dalam bentuk keteladanan. Hal ini pulalah yang nampaknya menarik perhatian banyak orang. Majelis taklim yang dipimpinnya selalu dihadiri oleh banyak orang. Guru Sekumpul adalah mata air yang menyejukkan rohani. Ia adalah yang dirindukan. Sebagai yang dirindukan: personalitasnya, ajarannya, karya-karya tertulisnya, rekaman-rekaman video pembacaan syair-syair kerinduan dan ceramahnya masih terus terdengar, di langgar-langgar kampung dan di masjid-masjid tengah kota, khususnya di kawasan Kalimantan. Dakwah beliau maksimal, dengan lisan, tulisan dan perbuatan. Pengajarannya mudah di terima oleh masyarakat luas. Secara detail, Guru Sekumpul mengajarkan hal-hal keseharian, hingga persoalan yang sangat mendalam. Mulai dari pengarusutamaan akhlak kepada keluarga, tetangga, sesama manusia, hingga kepada Allah. Guru Sekumpul menjadi antitesis atas fakta-fakta tentang agama yang tidak dipahami secara utuh, dan disampaikan secara tidak ramah. Ia adalah yang mendamaikan, dan yang mencerahkan kehidupan. Dan, tanda bahwa psikologi massa mayoritas kita masih menginginkan harmoni itu adalah gerakan massal menuju haul Guru Sekumpul yang kemudian diikuti dengan gerakan-gerakan sosial keagamaan yang terjadi secara masif di tengah-tengah masyarakat, khususnya di Kalimantan.

Guru Sekumpul adalah pemimpin spiritual yang wushul/sampai kepada Allah dengan menempuh jalan yang “dibimbing” Rasulullah. Kapasitas keilmuan Guru Sekumpul meniscayakan hal itu. Fakta paling nyata adalah kapasitas dan kemampuan intelektualnya di bidang Akidah, Akhlak, Hadis, Tasawuf dan Tafsir. Secara lahir dan batin Guru Sekumpul adalah yang dicintai dan dirindukan sebagai wali yang wujudnya menyinari wujud-wujud lainnya. Dalam istilah Suhrawardi, Guru Sekumpul dapat dikatakan sebagai manusia ideal, yang memberikan pencerahan bagi masyarakat.

Kualitas dan intensitas cahaya yang ada pada Guru Sekumpul itulah yang membuat banyak orang ingin terhubung dengannya, sebagai ulama yang menunjukkan jalan menuju Tuhan. Di hati para pencinta itu, ada cahaya, cahaya yang ingin terus meningkat menuju Tuhan. Guru Sekumpul adalah cahaya yang diikuti, agar sampai kepada Tuhan. Dalam kerinduan, cinta dan kesadaran itulah orang-orang jauh berdatangan, dengan berbagai cara, saling tolong menolong, membentuk kebudayaan baru yang religius sebagai wujud paling nyata tentang cinta yang diilhami oleh cahaya Tuhan. Semua disatukan dalam cinta kepada Allah sebagai 'Cahaya Yang Tertinggi', yang cahanya sama sekali tidak butuh dan tergantung pada cahaya lainnya. Untuk sampai pada cahaya itu, melalui Guru Sekumpul, banyak orang berkumpul. 

Gambar: bangkitmedia.com





Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT