AL-SULAMI, AL-JILANI DAN ALAM RAYA YANG BERTASBIH
Bang Zul
Rumah
Transformasi Indonesia
Apakah
semua makhluk bertasbih kepada Allah?. Jawabannya: Ya. Apa argumen Al-Qur’an
tentang ini? Surah Al-Isra ayat 44. Terjemahan Al-Isra: 44 menurut versi
Kementerian Agama RI adalah sebagai berikut: “Langit yang tujuh, bumi dan
semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan
dengan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka.
Sungguh Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun.”
Melalui
ayat ini kita memeroleh keyakinan bahwa alam raya adalah makhluk Allah yang
(juga) bertasbih. Bertasbih itu menjadi tanda ketundukan dari “yang diciptakan”
kepada “Yang Menciptakan.” Siapa subjek yang melakukan tasbih itu?. Tentu saja
semua makhluk-Nya. Manusia, alam raya dan seisinya. Manusia dengan segala macam
bentuk tasbih-Nya kepada Allah adalah mudah untuk memahaminya, bahkan mungkin
melakukannya dalam berbagai bentuk varian bacaan tasbih. Tapi bagaimana makhluk
Allah yang lain, selain manusia, tujuh petala langit, bumi, antara keduanya dan
seisinya, bagaimana mereka bertasbih?. Secara kontemplatif, dua sufi: Al-Sulami
dan Al-Jilani, berusaha memaknai tasbih alam raya kepada Allah. Keduanya mampu
mengubah kalimat (yang mungkin pelik) menjadi mudah dipahami, menyentuh
kesadaran manusia dan membuka jalan menuju kebijaksanaan-kebijaksanaan.
Dimulai
dari pertanyaan apakah alam raya bertasbih? Al-Sulami memberikan penjelasan dengan
mengutip pendapat Abu Utsman Al-Maghribi yang menyatakan bahwa segala yang
diciptakan, setiap mereka sesungguhnya bertasbih kepada Allah dengan “bahasa”
yang berbeda-beda. Tetapi tasbih yang dirapalkan alam tidak dapat didengar, dan
tidak dapat dipahami secara mendalam kecuali oleh “Al-‘Ulama‘ Al-Rabbani”,
yaitu mereka yang dibukakan Allah pendengaran hati mereka. Jawaban yang
disampaikan oleh Al-Sulami tentang tasbih alam raya ini, hendak menegaskan
bahwa perenenungan adalah bagian penting dalam upaya memahami alam dan cara
yang “mereka” lakukan dalam bertasbih. Sayangnya, dalam hal ini banyak manusia
tidak mampu memahami bahasa alam saat bertasbih. Untuk alasan itulah,
perenungan tentang alam mengenai gerak, fungsi, pengaruh dan manfaatnya bagi
keseimbangan kosmos adalah sebuah keharusan. Sebagai bagian yang membentuk
keseimbangan, maka alam raya itu sebenarnya telah tunduk dalam aturan Tuhan.
Berusaha
untuk memperjelas argumen Al-Sulami, Al-Jilani menguraikan bagaimana alam raya
berupa langit, bumi dan seisinya itu bertasbih?. Al-Jilani mengatakan bahwa
“mereka” bertasbih dengan menyucikan Zat Allah dari persekutuan, tidak (beranak,
diperanakkan) dan tiada apapun yang setara dengan-Nya. Sesungguhnya “Tujuh
Lapis Langit” yang bertingkat-tingkat, yang saling berkaitan, tergantung dalam
himpunan yang tersusun dalam struktur yang memberikan ketakjuban pada manusia.
Makna tegas yang ingin disampaikan oleh Al-Jilani adalah keteraturan alam raya
itu tidak lain adalah tanda tentang kuasa dan keesaan Tuhan. Tanpa kuasa tidak
mungkin langit dan bumi itu dapat tersusun rapi. Tanpa keesaan, maka tidak akan
ada kesatuan fungsi alam yang saling menopang antara satu dengan yang lainnya.
Bahkan, di langit yang menakjubkan itu, menurut Al-Jilani, terdapat pula
bintang gemintang yang beraneka ragam dari segi bentuk dan semburat-semburat
(cahayanya). Terdapat ruang (tempat), pergerakan, dampak-dampak (yang ditimbulkan)
oleh bintang-bintang, itu semua adalah hasil karya penciptaan Tuhan yang Maha
Kuasa, langit dan segala hal yang terdapat padanya merupakan petunjuk tentang Esa-nya
Allah. Ia yang mampu menampakkan dan mengatur semuanya.
Bukti
Esa dan Kuasa Allah tidak berhenti pada langit yang maha dahsyat itu, di bumi
pun demikian, di atasnya terdapat beraneka rupa tanaman, sumber-sumber mineral,
bermacam-macam bentuk hewan, yang bahkan tidak mampu dihitung oleh lisan
orang-orang yang memiliki pandangan pengetahuan, akal dan mu’tabirin
(orang yang mampu mengambil hikmah dan
pelajaran) dan muta‘ammilin (orang-orang yang berfikir
kontemplatif) pada penciptaan-penciptaan yang menjadi tanda kebenaran dan
keajaiban-keajaiban ciptaan-ciptaan Allah. Argumentasi sufistik ini mengandung
maksud bahwa manusia itu terbatas, sedang Allah dan kekuasaannya tidak terbatas.
Untuk mendaftar dan menghitung wujud-wujud kekuasannya di bumi adalah tidak
mungkin. Namun demikian, Al-Jilani menyebutkan bahwa semua yang ada di dalam (langit
dan bumi), meliputi para malaikat, jin dan manusia, mereka memiliki
kecenderungan alamiah untuk beribadah dan berusaha mengenal Allah (Yang Maha
Benar). Pendapat ini sejalan dengan teguran Al-Jilani pada paragraf awal dari
penjelasannya pada ayat ini tentang bagaimana mungkin manusia lalai atas
tanda-tanda kekuasaan Allah yang terbentang nyata ini?. Dari argumen ini juga
sebenarnya kita memeroleh kesan bahwa lalai itu sebenarnya adalah pengabaian
atas tanda-tanda kebesaran Tuhan, keengganan untuk memahami alam raya. Jika ini
ada pada diri manusia, sesungguhnya ia sedang tidak menggunakan anugerah dan
daya yang ada pada dirinya, yang telah diberikan oleh Tuhan, yaitu: akal,
pikiran dan hatinya.
Sesuatu yang ada pada diri kita, dan yang kita
saksikan semua adalah tanda dari Allah. Pernyataan yang memiliki landasan dalam
frase “Dan tidak sesuatupun”, yaitu segala hal yang dapat dikatakan sebagai
“sesuatu”, sebuah citra/bayangan dari suatu wujud yang meluas (beraneka ragam),
mereka semua sebenarnya bertasbih. Mereka meninggikan-Nya, menyucikan-Nya dari
ketercampuran dengan sesuatu yang baharu (diciptakan/makhluk) dan
kemampuan-kemampuan (dalam melakukan sesuatu). Mereka tidak pula menyamakan-Nya
dengan sebuah keadaan, perkataan, terlebih dengan tanda-tanda yang menyatakan
bahwa Allah lahir dan melahirkan. Allah Maha Tinggi, Suci dan terbebas dari
semua hal itu.
Alam bertasbih dalam “bahasa” yang tidak dipahami oleh manusia, “tetapi kalian semua tidak mengerti.” Yaitu Ketidakmengertian yang terdapat pada orang-orang yang berdosa karena terjebak dalam rayuan (dunia) dan kesesatan. Sebuah keadaan yang menjadi hijab atas kebenaran dan kebesaran-Nya. Ketidakmampuan untuk memahami bagaimana alam raya bertasbih itu pula disebabkan oleh ketiadaan usaha untuk tenggelam dan menyibukkan diri dalam tadabbur (memahami tanda-tanda kekuasaan Allah) dan Ta‘ammul (perenungan mendalam) atas ciptaan-ciptaan Allah Yang Maha Benar. Mereka tidak pula bertafakur terhadap ayat-ayatNya. Bahkan mereka mengingkarinya, berkeras kepala dalam kesalahan, dan bahkan menyekutukan-Nya. Sikap yang harus dihindari, dan Allah-lah tempat berlindung dari sikap semacam ini.
Ketidakmampuan memahami alam yang memiliki Pencipta sejati, Allah, membuat manusia mengingkari Ketuhanan. Konsekuensi atas pengingkaran itu adalah azab dan hukuman. Akan tetapi “ Sesungguhnya Allah Maha Penyantun”, sehinga Ia tidak mempercepat pembalasan dan hukuman kepada orang-orang yang ingkar, mereka diberikan kesempatan untuk tidak mengulangi kesalahannya, agar mereka kembali kepada Allah dengan pertaubatan yang penuh keikhlasan, sehingga Allah mengampuni segala dosanya, karena sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun. Allah Maha Pengampun kepada orang-orang yang menyesali atas dosa dan kesalahannya, mereka yang bertaubat, mereka yang penuh harap kepada Allah dengan sebenar-benar penyesalan dan keikhlasan. Alam raya adalah bukti ketundukan yang nyata kepada Allah, bagi yang berfikir dan merenungkannya. Manusia melalui indera, akal dan intuisinya mampu memahami Pencipta dan ciptaan-Nya. Ilahi Anta Maqshudi wa Ridhaka Mathlubi.
Gambar: medium.com
Komentar
Posting Komentar