ARGUMEN KENABIAN, AL-BASYAR DAN AL-KAHFI: 110
Pencarian makna tentang makna
manusia tidak pernah berhenti, terus didiskusikan dan ditulis dibanyak tempat
dan dengan berbagai pendekatan. Berkaitan dengan hal tersebut, tulisan ini
adalah usaha untuk melengkapi dan mendiskusikan kembali tentang bagaimana
manusia seharusnya didefinisikan. Al-Qur’an punya argumen tentang itu, melalui penafsiran
atas surah Al-Kahfi: 110.
Al-Kahfi: 110 adalah ayat
Al-Qur’an yang turun di Mekah. Berdasarkan cirinya ayat-ayat Makiyyah
seringkali menggunakan bahasa yang lebih tegas dibanding surat-surat yang turun
di Madinah. Selain tegas, pesan ayat-ayat Makiyyah banyak berbicara
tentang ketauhidan, keimanan, kenabian, hari kebangkitan, hari akhir, hari
pembalasan, argumen-argumen Al-Qur’an atas orang-orang musyrik dan ayat-ayat
tentang alam dan kekuasaan Allah. Seperti yang disampaikan oleh Manna’
Al-Qaththan dalam Mabahits Fi ‘Ulum Al-Qur’an. Lalu Apa hubungannya
dengan surah Al-Kahfi: 110?
Al-Kahfi: 110 ternyata
berkait erat dengan sebuah kisah yang terdapat dalam kitab Asbab Al-Nuzul
karya Imam Al-Suyuthi. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Ibnu Abi
Hatim dan Ibnu Abi Al-Dunya dalam kitab Al-Ikhlash dari Thawus: “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku berdiri untuk berperang karena mengharap ridha
Allah, aku juga senang kedudukanku terlihat orang lain. Rasulullah tidak
menjawab apa-apa kepada laki-laki itu hingga turunlah ayat ini, ‘barang siapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
salih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada
Tuhan-Nya.” Meskipun ada beberapa riwayat lain, namun demikian memiliki
maksud dan makna yang hampir sama.
Melalui riwayat di atas, maka
dapatlah dikatakan bahwa ayat 110 dari surah Al-Kahfi ini berkaitan
dengan seorang laki-laki yang berperang karena Allah, namun juga berharap
“pujian” manusia atas apa yang telah diperjuangkannya. Apa titik temunya dengan
istilah manusia dalam ayat ini yang menggunakan kata “Basyar”?
Kata “Basyar”, meskipun
bermakna manusia, ia memiliki kekhususan dalam pemaknaannya. Tafsir
Al-Jalalayn memaknai “Basyar” sebagai “anak adam” (keturunan Nabi
Adam), dan Nabi Adam sendiri disebut “Abul Basyar” (ayah semua umat manusia).
Artinya kata “Basyar” dalam Al-Qur’an berarti manusia, namun demikian
manusia yang dimaksud adalah manusia secara biologis, manusia sebagai bentuk
dan wujud, manusia yang dilahirkan oleh ayah dan ibunya, manusia yang butuh
makan dan minum, manusia yang perwujudannya ditentukan oleh apa yang
dikonsumsinya, bagaimana iklim dan situasi lingkungannya. Dalam konteks manusia
biologis itulah, Allah memerintahkan kepada nabi untuk mengatakan: “sesungguhnya
aku ini hanya seorang manusia seperti kamu”, perintah ini menegaskan bahwa
Nabi, jika dilihat dari bentuk dan wujudnya adalah sama sebagaimana manusia
lainnya. Anak dari seorang ibu bernama Aminah dan ayah yang bernama Abdullah. Kepada
siapa Nabi disuruh Allah untuk mengatakan bahwa dirinya adalah “manusia yang
sama” seperti yang lain?, menurut Tafsir Ibnu Katsir adalah: Kepada kaum
Musyrikin yang mendustakan kerasulan dirinya.
Apa maknanya dalam konteks
hubungan antara Nabi dan orang-orang yang mendustakan kerasulannya?. Penggunaan
kata “Basyar” mengandung maksud, bahwa dalam menyampaikan argumentasi
saat berhadapan dengan orang-orang yang mendustakannya, Nabi menggunakan sebuah
dalil yang setara dengan lawan bicaranya (kaum musyrikin). Dirinya adalah
manusia yang secara biologis memiliki kesamaan dengan orang-orang musyrik.
Argumen “menyamakan” ini penting, dan dalam informasi yang disampaikan oleh
Ibnu Katsir, Nabi menantang orang-orang yang menentangnya untuk menyampaikan
hal-hal yang pernah disampaikan Nabi kepada mereka tentang hal-hal yang gaib,
menyangkut berita masa silam, seperti kisah Ashab Al-Kahf dan kisah Dzu
Al-Qarnayn. Pernyataan Nabi kepada Musyrikin ini amat “mematikan”, karena
sebagai manusia yang secara biologis sama satu sama lain, tentu saja memiliki
keterbatasan, seperti ketidaktahuan atas apa yang terjadi di masa lampau tanpa
informasi dari orang-orang di masa lalu. Dan pengetahuan Nabi atas kisah-kisah
masa lampau itulah yang membuat Nabi berbeda dari manusia lainnya. Hal itu
dikarenakan Nabi memeroleh informasi melalui wahyu Allah. Nabi adalah:“Yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan
kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa.”
Secara tidak langsung Nabi hendak mendeklarasikan dirinya sebagai manusia
istimewa yang memeroleh wahyu dari Allah, namun dengan cara yang sangat elegan
dan dengan dalil yang tepat lagi sahih, melalui argumen kesetaraan, untuk
menjelaskan posisinya dihadapan penentangnya. Meskipun Nabi mengetahui
posisinya sebagai utusan Allah, namun demikian, Nabi tetap menggunakan apa yang
dapat diterima oleh orang-orang musyrik tentang “manusia”. Kata “Basyar”
yang diperintahkan Allah kepada nabi Muhammad untuk digunakan dalam berargumen
dihadapan orang musyrik, tidak untuk menjelaskan bahwa dirinya hanyalah manusia
biologis, karena pada saat yang bersamaan, Nabi merupakan penerima wahyu, tentu
saja Nabi juga manusia yang memiliki jiwa sosial (Al-Nas), dan manusia
yang terhimpun di dalam dirinya kekuatan akal dan jiwa (Al-Insan).
Penafsiran
ayat di atas memiliki dua konteks sejarah yang saling berkaitan satu sama lain.
Tentang beramal yang mengharapkan pujian dan pertentangan orang musyrik atas
kerasulan Nabi Muhammad. Dua konteks kesejarahan itu, ditutup dengan perintah
Allah untuk mengerjakan kebajikan dan tidak mempersekutukan-Nya: “Maka
barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan
kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah
kepada Tuhannya.”
Penjelasan di atas mengonfirmasi hubungan dan kesesuaian antara karakteristik surat Makiyyah yang berbicara tentang kerasulan dan perintah untuk bertauhid kepada Allah dengan dua konteks kandungan ayat yang lainnya: pertama, perintah bagi orang yang beramal untuk tidak bertujuan agar mendapat pujian manusia; kedua, perintah Allah kepada Nabi untuk berargumentasi menggunakan logika kesetaraan terhadap orang-orang musyrik. Keduanya adalah dua objek dakwah Nabi, keduanya diperintahkan untuk tidak menyekutukan Allah. Dengan tidak menyekutukan Allah dalam beribadah, disertai dengan melakukan kebajikan, sesungguhnya merupakan syarat bagi orang-orang yang berharap untuk “bertemu Allah”. Tentu saja, orang yang ingin dilihat, ingin didengar dan ingin membuat orang lain takjub atas ibadah yang dilakukannya bukanlah orang yang pantas “bertemu Allah”. Yang dimaksud “Bertemu Allah” adalah memeroleh pahala dan balasan dari Allah. Dalam hal ini ikhlas dalam beribadah kepada Allah adalah yang utama.
“Al-Basyar” yang bermakna manusia biologis pada ayat ini digunakan Nabi Muhammad atas perintah Allah sebagai argumentasi yang diajukan dihadapan orang-orang musyrik. Sebagai sebuah argumen, ia adalah pilihan kata yang tepat sekaligus dalil menohok terhadap kaum musyrikin. Untuk mencapai pengetahuan dan pengenalan atas Tuhan, manusia seharusnya tidak semata-mata berada dalam dominasi biologisnya saja. Dominasi biologis dalam diri manusia hanya menjadikannya tidak mampu untuk menerima kebenaran atas risalah kenabian sebagaimana orang-orang musyrik, juga membuat manusia sulit untuk ikhlas dalam peribadatan. Manusia harus berpikir dengan akalnya, menggunakan hati dan jiwanya untuk mencapai kebijaksanaan dalam hidupnya. Sebuah jalan yang harus ditempuh menuju Tuhan semesta Alam. Wa Allahu A’lam bi Al-Shawab.
Gambar: islamweb.net
Komentar
Posting Komentar