KENAPA SYAIKH ‘ABDUS SHAMAD PALEMBANG MENULIS KITAB SIYAR AL-SALIKIN?



Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Pada tulisan sebelumnya, kita sudah mendiskusikan tentang cara Syaikh ‘Abdus Shamad memulai untuk menulis, bagaimana konsistensinya menulis sebuah karya besar dalam kurun waktu sepuluh tahun. Ternyata semua bergantung pada niat awalnya, keyakinannya, bahwa Allah-lah yang meberikannya pertolongan: pada ide dan gagasan dalam karya-karya besarnya itu.

Masih tentang Mukadimah Kitab Syaikh ‘Abdus Shamad, Siyar Al-Salikin, namun bagian ini lebih memfokuskan pada alasan kenapa karya ini ditulis? Kapan ditulis? Apa hubungannya dengan Kitab Lubab Ihya ‘Ulum Al-Din Karya Imam Al-Ghazali? Apa saja isinya?, apa maksud dan tujuannya melalui karya ini?. Pertanyaan-pertanyaan ini akan dijawab langsung oleh Syaikh ‘Abdus Shamad, dalam Mukadimahnya. Kalaupaun ada hal lain, itu hanya tambahan saja, menyesuaikan konteks kesejarahan Syaikh ‘Abdus Shamad dengan data-data yang ada.

Sebelum menjelaskan maksud dan tujuannya saat menulis kitab Siyar Al-Salikin, Syaikh ‘Abdus Shamad menunjukkan sikap tawadhu’-nya dengan mengatakan: “adapaun kemudian daripada itu maka lagi akan berkata fakir yang miskin yang berkehendak kepada rahmat Tuhan sekalian alam yaitu ‘Abdus Shamad Al-Jawi Falimbani murid Quthb Al-Rabbani Al-Shamdani Sayyidi Al-Syaikh Muhammad yang anak Syaikh ‘Abdul Karim Samman Al-Madani Mudah-mudahan diampunkan Allah Ta’ala baginya dan bagi ibu bapaknya dan bagi segala muslimin dengan berkat kemegahan Sayyid Al-Anbiya dan segala rasul dan segala Auliya Allah yang Shalihin Amin.”

Menjadi tawadhu’ adalah kunci dalam belajar. Perlu merasa kurang dan merasa sedikit ilmu membuat seorang murid akan terus belajar, mudah menerima ilmu dan pengetahuan dari gurunya, selain menghilangkan keangkuhan dan kesombongan. Dua hal terakhir adalah aib bagi para pencari ilmu. Kutipan langsung dalam Mukadimah Siyar Al-Salikin di atas, menjadi hal penting untuk beberapa hal: pertama tentang sikap seorang ulama yang menunjukkan ketawadhu’-annya, kedua tentang penghormatannya pada sang guru mulia, Syaikh Muhammad bin Syaikh ‘Abdul Karim Al-Samman Al-Madani. Sikap tawadhu’ sesungguhnya adalah teladan yang harus dicontoh, Syaikh ‘Abdus Shamad, seorang ulama besar abad 18 mengajarkan itu pada kita semua. Sebesar apapun kedudukan manusia, itu semua adalah anugerah Allah semata-mata. Bukankah dengan bersikap tawadhu’, Allah akan meninggikan derajatnya, seperti bunyi hadis Nabi riwayat Abu Nu’aim: “siapa bertawadhu’ karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajatnya), dan siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya”.

Selanjutnya, adalah soal penyebutan nama gurunya dalam mukadimahnya, menunjukkan bahwa ia adalah murid dari seorang Wali Allah yaitu Syaikh Muhammad bin Syaikh ‘Abdul Karim Al-Samman Al-Madani, yang juga merupakan guru-guru para ulama-ulama Nusantara seperti: Syaikh Muhammad Arsyad Banjar, Syaikh Abdul Wahab Bugis, dan Syaikh ‘Abdurrahman Betawi. Nama-nama tersebut merupakan sahabat akrab Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang dalam belajar. Nama Guru dan para murid di atas, pada gilirannya menjadi tanda tentang keterhubungan antara guru dan murid, keterhubungan itu pulalah yang menjadi sanad keilmuan Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang juga ulama-ulama Nusantara lainnya. Sehingga tidaklah mengherankan jika kemudian, Syaikh ‘Abdus Shamad dan sahabat-sahabatnya itu menjadi penyebar tarekat sammaniyyah di Nusantara. Fakta ini menjadi penjelas yang nyata tentang kontribusi Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang sebagai penyebar tarekat Sammaniyyah di Nusantara.

Dengan menyebut nama gurunya, dan menjelaskan posisinya sebagai murid, Syaikh ‘Abdus Shamad sesungguhnya hendak menjelaskan otoritasnya sebagai sufi yang juga murid dari seorang sufi besar. Tidak lupa, ia juga mendoakan ayah dan ibu dari gurunya, semua orang muslim, dengan berkah dari Nabi Muhammad  yang merupakan pemimpin segala nabi, rasul, para wali dan orang-orang yang saleh. Dengan pernyataan ini, Syaikh ‘Abdus Shamad ingin menegaskan posisinya yang tidak terlepas dari ajaran Nabi, para wali dan orang-orang saleh.

Sebagai seorang sufi, Syaikh ‘Abdus Shamad paham benar bahwa Allah-lah sumber segala pengetahuan, bahkan, ia mengatakan bahwa menulis kitab Siyar Al-Salikin adalah karena ilham yang diberikan oleh Allah, seperti yang diungkapkannya: “Tatkala adalah tahun seribu seratus sembilan puluh tiga hijrah Nabi Muhammad Shalla Allahu ‘Alayhi wa Sallam, mengilhamkan Allah Ta’ala di dalam hatiku bahwa aku terjemahkan akan kitab Imam bagi Fuqaha’, yang ‘alim dan yang jadi ikutan ulama sufi yang muhaqqiqin yang dinamai akan kitab itu Lubab Ihya‘ ‘Ulum Al-Din yaitu Mukhtasar Ihya‘ ‘Ulum Al-Din yang menghimpunkan ia antara syariah dan thariqah yang terkandung di dalam itu ‘Ilmu Ushul Al-Din dan Ilmu Fikih, dan ilmu Tasawuf yang memberi manfaat bagi orang yang menjalani jalan akhirat padahal aku terjemahkan kitab ini dengan bahasa Jawi serta aku tambah dengan beberapa faidah yang baik supaya memberi manfaat dengan dia orang yang tiada mengetahui baginya itu dengan bahasa Arab.” Kutipan ini memuat banyak infomasi tentang motivasi Syaikh ‘Abdus Shamad untuk menuliskan kitab Siyar Al-Salikin, waktu penulisannya, hubungannya dengan Lubab Ihya‘ ‘Ulum Al-Din karya Imam Ghazali, isi kitab dan tujuan penggunaan bahasa Jawi (Arab Melayu).

Syaikh ‘Abdus Shamad memulai untuk menulis karya ini pada tahun 1193 H/ 1778 dan selesai pada tahun 1203 H/1788 M. Proses penyelesaiannya kurang lebih sepuluh tahun. Karya ini diinspirasi oleh karya Imam Ghazali yang berjudul Lubab Ihya‘ ‘Ulum Al-Din, namun demikian menurut saya, karya ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan sebagai terjemahan, karena sebagaimana diakuinya bahwa ia juga menambahkan pembahasan-pembahasan tambahan di dalam karyanya. Untuk membuktikan ini, saya berusaha untuk membandingkan antara dua karya tersebut, Siyar Al-Salikin dan Lubab Ihya‘ ‘Ulum Al-Din. Pada bagian pertama dari Bab Fadhilat Al-‘Ilm wa Al-Ta’alum, yang diterjemahkannya dalam bahasa Melayu dengan “Kelebihan orang yang menuntut ilmu dan kelebihan orang yang mengajar”, di bagian ini Syaikh ‘Abdus Shamad mengutip surah Al-Mujadalah ayat 11 tentang derajat orang yang berilmu. Tidak sekedar menerjemahkan, Syaikh ‘Abdus Shamad ternyata memberikan penjelasan tambahan melalu hadis-hadis Nabi, pendapat para sufi, selain itu tambahan penjelasan yang bersumber melalui karyanya yang lain dalam Bahasa Arab berjudul Anis Al-Muttaqin. Fakta ini harus dinilai sebagai independensi pemikiran Syaikh ‘Abdus Shamad yang turut pula memberikan pemikiran, pemahaman dan hasil dari sebuah pembacaan atas realitas yang dihadapinya. Dengan kata lain, Syaikh ‘Abdus Shamad berusaha untuk menghadirkan solusi praktis bagi masyarakatnya melalui karyanya. Harus diakui bahwa Syaikh ‘Abdus Shamad adalah sufi yang pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Imam Ghazali, yang berusaha untuk melakukan harmonisasi antara syariah dan hakikat, antara Fikih dan Tasawuf. Sehingga pantaslah jika Syaikh ‘Abdus Shamad dikategorikan sebagai tokoh penting sebagai penganjur neo sufisme di Nusantara.

Sebagai tokoh penting pengembang tasawuf di Nusantara pada abad ke 18, melalui karyanya ini, Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang memuat materi-materi yang berkaitan dengan ilmu akidah, dan tasawuf. Bagi Syaikh ‘Abdus Shamad ilmu-ilmu tersebut memberi manfaat langsung bagi masyarakat. Tujuannya adalah: masyarakat tetap melaksanakan ibadah-ibadah praktis berdasarkan Fikih, namun tetap bertasawuf, atau memberi makna mendalam dalam setiap peribadatan. Apa yang dikembangkannya ini sejalan dengan semangatnya untuk melakukan harmonisasi antara Fikih dan Tasawuf. Sebuah ide dan gagasan yang sejalan dengan pendapat Imam Malik, seperti ditulisnya pada halaman 10 jilid 1 dari kitabnya Siyar Al-Salikin: “barangsiapa menuntut ilmu Tasawuf dan tidak mengetahui ilmu Fikih yang fardhu ‘ain itu maka sanya jadi zindiq, dan barangsiapa yang menuntut ilmu fikih dan tiada menuntut Ilmu Tasawuf maka sanya jadi fasiq dan barangsiapa yang menghimpunkan antara keduanya maka sanya jadilah ia ulama yang muhaqqiq yang ‘arif bi Allah Ta’ala yaitulah yang bernama ulama ahli sufi yang menghimpunkan mereka itu antara syari’ah dan thariqah dan haqiqah”. Selain mengembangkan neo sufisme, gerakan dan kontribusinya bagi muslimin di Nusantara terlihat lebih nyata dan berorientasi praktis, ditandai dengan penggunaan Bahasa Jawi/ Arab Melayu agar dapat dipahami dengan mudah oleh muslim Nusantara.

Kebermanfaatan dari karya ini adalah tujuan yang diharapkan oleh Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang seperti yang dituliskannya: “mudah-mudahan memberi manfaat Allah Ta’ala akan daku dan akan kamu seperti memberi manfaat ia dengan asalnya karena Allah Ta’ala itu murah lagi mulia dan tiada daya daripada menjauh maksiat dan tiada upaya pada berbuat taat melainkan dengan anugerah Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi dan Maha Besar.”

Untuk mengakhiri mukadimahnya, Syaikh ‘Abdus Shamad menjelaskan tentang ilmu apa saja yang terkandung dalam karyanya, Siyar Al-Salikin, ia mengatakan: “dan yaitu melengkapi atas suatu Mukadimah dan atas empat bahagi (bermula) bahagi yang pertama itu pada menyatakan Ilmu Ushul Al-Din yaitu segala Iktikad Ahlus Sunnah dan Jama’ah dan menyatakan segala taat yakni ibadah yang zahir (dan) bahagi yang kedua pada menyatakan adat yakni pada menyatakan hukum adab yang berlaku pada adat seperti makanan dan minuman dan nikah dan berusaha yang membawa kepada kehidupan di dalam dunia dan mengetahui haram dan halal dan pada menyatakan adab bersahabat dan yang lainnya seperti yang lagi akan datang itu insya Allah Ta’ala (dan) bahagi yang ketiga pada menyatakan muhlikat, yakni membinasakan sekalian amal yaitu segala maksiat yang zahir dan maksiat yang batin seperti yang lagi akan datang kenyataannya (dan) bahagi yang keempat pada menyatakan munjiyat yakni melepaskan daripada yang membinasakan sekalian amal yaitu segala ibadah batin seperti yang lagi akan datang kenyataannya (dan) suatu khatimah yakni kesudahan kitab Allah Wa Allahu Al-Muwaffiq”.

Mukadimah dari kitab Siyar Al-Salikin memberikan kesan bagi siapapun yang membacanya untuk menjadi manusia yang berusaha untuk sempurna dalam beribadah kepada Allah. Usaha menuju kesempurnaan dalam penghambaan kepada Allah itu dapat dicapai dengan mempelajari berbagai ilmu, diantaranya adalah ilmu mengenai dasar-dasar akidah, ilmu syariah dan ilmu tasawuf. Ketiga bagian ini adalah tiga kajian utama yang dikembangkan oleh Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang. Ketiga ilmu inilah yang merupakan bekal penting dalam menjalani kehidupan. Syaikh ‘Abdus Shamad meyakinkan kita semua bahwa bertasawuf dalam menjalankan peribadatan adalah sesuatu yang niscaya. Fikih dan Tasawuf dapat bersanding dan saling melengkapi. Keduanya adalah wasilah menuju Tuhan Yang Maha Tinggi. Ilahi Anta Maqshudi wa Ridhaka Mathlubi.    


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT