MODERAT DAN RAHMAT
Pada pembahasan sebelumnya kita
telah mendiskusikan manusia melalui pendekatan tematis Al-Qur’an. Pada
pembahasan tersebut kita mendapati makna manusia yang beragam. Manusia secara
fisik-biologis (Al-Basyar), manusia secara sosial (Al-Nas), dan
manusia yang telah terhimpun padanya aspek badaniah, ruh, jiwa dan akal (Al-Insan).
Ketiganya adalah satu kesatuan. Dalam kebersatuan itulah, antara ketiga bagian
tersebut saling memengaruhi antara satu dan lainnya, namun demikian, naluri
“Insan”-lah yang kita harapkan mendominasi pada diri kita semua. Yaitu, manusia
yang berakal, beragama dan berkebudayaan. Yang mampu memosisikan dirinya secara
seimbang dalam kehidupan sehari-hari.
Keseimbangan atau berada di
posisi tengah, seringkali diistilahkan dengan kata moderat. Dalam Bahasa Arab
disebut sebagai “wasath” (berada di posisi Tengah). Berkaitan dengan hal
tersebut, Al-Qur’an surah Al-Baqarah: 143 menyebut kata itu, sebagaimana
berikut: “Dan demikian pula Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.
Ayat di atas, menjadi argumen
teologis tentang konsep moderat yang dewasa ini seringkali diperbincangkan.
Pada ayat di atas pula, kata “Ummatan Wasathan” menjadi kata kunci yang dimaknai
sebagai “umat pertengahan”. Apa yang dimaksud umat pertengahan pada ayat di
atas?, lalu apa kaitannya dengan Asbab Al-Nuzul ayat tersebut?. Dalam
konteks apa istilah “Ummatan Wasathan” dijelaskan?. Semua ini adalah pertanyaan-pertanyaan
yang akan kita diskusikan.
Pada wilayah makna, ada beberapa
nama mufassir yang berusaha untuk memaknai istilah “Ummatan Wasathan” di
atas, beberapa yang dapat saya himpun adalah: Tafsir Al-Wajiz karya
Al-Wahidi, Tafsir Al-Nahr Al-Mad karya Abu Hayyan Al-Andalusi, Tafsir
Al-Hidayah Ila Bulugh Al-Nihayah karya Makki bin Abi Thalib dan Mukhtashar
Ibn Katsir, Ali Al-Shabuni dan terakhir Tafsir Al-Maraghi karya
Ahmad Mushthafa Al-Maraghi.
Dimulai dari Al-Wahidi, melalui Al-Wajiz-nya,
Ia berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “wasathan” adalah adil
dan terpilih. Secara lengkap Al-Wahidi menarasikan ayat ini dengan memperjelas
posisi umat Islam sebagai yang diberi petunjuk. Bentuk petunjuk itu adalah
sebuah jalan yang lurus. Jalan lurus itu adalah kehadiran Nabi Muhammad dan
risalahnya. Melalui Rasul dan risalahnya itulah, Allah menjadikan umat Muhammad
sebagai “umat pertengahan” yang “adil” dan “terpilih” agar umat Islam ini
menjadi saksi atas perbuatan manusia atas umat-umat (terdahulu) yang juga telah
diutus kepada mereka para nabi untuk menyampaikan risalah. Begitupun Nabi
Muhammad yang menjadi saksi atas umatnya, tentang pembenaran kenabian umatnya
kepadanya. Kenapa persaksian-persaksian ini penting?. Karena, Allah, di hari
kiamat nanti akan mempertanyakan kepada umat-umat tentang: Apakah para Rasul
telah menyampaikan risalah?. Atas pertanyaan ini, sebagian umat (terdahulu)
menjawab: tidak satupun rasul darimu yang menyampaikan risalah. Lalu, Allah
bertanya lagi kepada para Rasul, kali ini para Rasul menjawab: kami telah
menyampaikan risalah-Mu Ya Allah, akan tetapi mereka mengingkarinya. Allah
bertanya lagi, apakah kalian (Para Rasul) memiliki saksi?. Para Nabi menjawab,
Iya. Mereka yang menjadi saksi itu adalah umat Muhammad, umat Muahammad
bersaksi bahwa para Nabi itu telah menyampaikan risalah-Mu, akan tetapi kaum
mereka mendustakannya. Umat yang mendustakan tersebut kemudian bertanya kepada
Allah, Wahai Tuhan, mereka hidup setelah kami, bagaimana mereka mengetahui hal
tersebut? Umat Muhammad mengatakan: Nabi kami, Nabi Muhammad memberitakannya
kepada kami melalui Al-Qur’an. Lalu Nabi Muhammad menyucikan mereka (umatnya).
Sampai di sini kita memahami bahwa makna adil dan terpilih itu adalah karena
disebabkan oleh hadirnya Nabi dengan membawa risalahnya, sebagai petunjuk bagi
siapapun yang mengikutinya. Kepengikutan atas Nabi, menuntun umat Muhammad
untuk juga percaya pada kisah-kisah kenabian di masa lalu. Meneladani dan
mengambil hikmah dari kisah-kisah tersebut.
Kata “wasathan” juga
memiliki makna berada di antara dua kutub dan “pilihan keselamatan” menurut Abu
Hayyan Al-Andalusi. Tidak jauh berbeda dengan Abu Hayyan Al-Andalusi, Ali
Al-Shabuni berpendapat bahwa “wasathan” berarti terpilih dan terbaik,
hal ini merujuk pada istilah Arab yang populer: “Awsathul ‘Arab” yang
memiliki arti orang Arab yang terbaik, dinisbatkan kepada suku Quraisy. Rasul
disebut pula sebagai “ Ka na Rasul Allah Saw. Wasathan fi Qawmihi, ay
Asyrafuhum Nasaban/ Rasul itu adalah orang yang bersifat wasath pada kaumnya, yakni yang paling mulia secara nasab.” Sedang Makki ibnu Abi
Thalib berpendapat bahwa yang dimaksud dengan “umat pertengahan” adalah umat
yang diberi petunjuk dengan kedatangan Nabi Muhammad, yang membawa kebenaran,
karena alasan itulah umat Islam adalah umat yang istimewa yang diberikan
kekhususan sebagai umat yang adil dan terpilih.
Menjadi umat pertengahan yang adil dan terpilih itu adalah bentuk ideal dari umat Islam. Al-Maraghi menyebutnya sebagai umat yang tidak berlebihan dan tidak terlalu mengekang diri. Sesuatu yang sebenarnya menjadi fitrah kemanusiaan. Argumentasi yang disampaikan oleh Al-Maraghi sesungguhnya merujuk pada sebuah keadaan dimana Islam belum lahir. Menurutnya, pada masa itu umat manusia terbagi menjadi dua kelompok. Pertama adalah kelompok orang-orang yang selalu cenderung pada kepentingan dunia dan kebutuhan jasmaniah, seperti kaum Yahudi dan Musyrikin. Kedua, ialah orang-orang yang mengekang atau membelenggu diri dengan adat kebiasaan dan kepentingan ruhaniah secara total, sehingga meninggalkan sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan aspek dunia, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan jasmaniah mereka. Beberapa contoh bagi kaum ini adalah kaum Nasrani dan Shabi’in, selain itu terdapat pula beberapa sekte agama Hindu. Islam, dalam konteks ini, berusaha untuk memadukan antara dua kebutuhan tersebut, yakni kebutuhan ruhaniah dan jasmaniah, unsur hewan dan malaikat. Keduanya harus seimbang untuk mencapai posisi manusia dalam pengertian yang sempurna, yang mampu memenuhi kedua unsur tersebut. Dengan demikian, maka menjadi muslim adalah berusaha untuk memberikan porsi yang seimbang dalam berbagai hal, baik yang berkaitan dengan aspek ruhani dan jasmani, tidak berlebihan dalam kehidupan dunia, tidak menutup diri dari hak-hak kemanusiaan, mampu menjalankan kewajiban kepada Allah, kepada diri sendiri, kepada keluarga dan orang lain.
Konteks selanjutnya setalah
diskusi tentang apa yang dimaksud dengan “umat pertengahan” adalah soal
pemindahan kiblat: “Kami tidak menjadikan
kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui
siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh,
(pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi
petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah
Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.”
Berdasarkan
sebab turunnya, sebagaimana disebutkan dalam kitab Al-Shahihayn dari
Al-Bara‘ yang terdapat dalam kitab Asbab Al-Nuzul karya Imam Al-Suyuthi,
bahwa: “beberapa orang meninggal dan terbunuh ketika kiblat belum berpindah,
maka apa yang harus kami katakan tentang mereka?” maka Allah menurunkan
firman-Nya, “ Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”
Bagi
Al-Wahidi, perpindahan kiblat ini merupakan ujian bagi kaum beriman untuk tetap
mengikuti Nabi Muhammad. Kejadian ini memperlihatkan siapa saja yang tetap
mengikuti rasul dan siapa yang berpaling dari rasul. Orang-orang yang berpaling
dari Rasul akan mengira bahwa rasul sedang dalam kebingungan. Orang Yahudi
kemudian mempertanyakan tentang status orang-orang yang sebelumnya telah shalat
(beribadah) menghadap kiblat yang pertama (Bait Al-Maqdis)?, lalu, ayat
ini turun untuk memberikan jawaban bahwa: Allah tidak mungkin menyia-nyiakan
iman mereka, karena sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia. Berkaitan dengan ayat ini, Al-Maraghi berpendapat bahwa perpindahan
kiblat ini adalah ujian bagi keimanan. Siapa yang beragama dengan penuh
penghayatan, memahami hikmah dari peristiwa tersebut tentulah iman mereka akan
semakin kuat. Begitu juga sebaliknya, mereka yang beragama tanpa penghayatan,
tentu kejadian perpindahan kiblat ini akan melemahkan iman mereka.
Narasi
Al-Baqarah: 143 mengandung dua konteks, pertama: umat Islam yang disebut
sebagai umat pertengahan, dan kedua: tentang perpindahan kiblat yang menjadi
ujian keimanan. Moderasi dalam kedua konteks itu menemunkan momentumnya.
Sebagai umat yang terpilih, pengikut rasul pembawa risalah Allah, maka sikap
moderat idealnya menjadi jalan yang ditempuh oleh masyarakat Muslim. Moderasi
inilah yang menjadi semangat agama Islam. Memadukan dua unsur kehidupan:
kehidupan yang baik di dunia dan kehidupan yang baik di akhirat. Bersikap
moderat menjadi jalan yang hanya bisa ditempuh melalui cara berpikir menyeluruh
dan penghayatan yang mendalam, terhadap syariat agama yang secara fitrah,
menurut Al-Maraghi, mengakomodasi unsur lahiriah dan batiniah. Sama halnya,
dengan keteguhan mengikuti Nabi, dalam kasus perpindahan kiblat itu, maka yang
dikedepankan adalah kekuatan dalam memahami hikmah peristiwa perpindahan kiblat
yang menyatukan kekuatan dan keimanan muslim terhadap Nabi.
Melalui narasi tafsir ayat di atas, kita menemukan nilai-nilai moderasi berdasarkan pendapat beberapa mufassir, di antaranya adalah: Islam adalah agama yang moderat, umat pertengahan adalah umat yang bersikap adil sehingga mereka menjadi umat yang terpilih karena mendapat petunjuk dari Nabi yang diutus Allah, moderasi adalah sikap muslim yang dapat dicapai dengan berpikir dan menghayati agama secara mendalam dan menyeluruh.
Sebagai nilai yang diserap dari Al-Qur’an, moderasi dalam beragama yang menjadi dasar berkehidupan dapat mewujud dalam bentuk-bentuk yang teramat luas, dua di antaranya yang dapat dijadikan contoh adalah: moderat dalam menjalani kehidupan, berarti keseimbangan dalam hal duniawi dan ukhrawi. Moderat dalam pengetahuan, berarti menggabungkan unsur zahir dan batin, syariat dan hakikat, dalil Naqli dan dalil ‘Aqli dalam memahami ilmu-ilmu keagamaan. Melalui jalan “moderasi” inilah, Islam menjadi rahmat bagi semesta. Wa Allahu A’lam bi Al-Shawab.
Gambar: eyooon.net
Komentar
Posting Komentar