PEDAGANG SUNNI, NALAR MARITIM DAN ISLAM NUSANTARA


Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia 

Adrian B. Lapian dalam “Peta Pelayaran Nusantara dari Masa ke Masa” merasa perlu untuk mengatakan bahwa tidak ada sukubangsa di Asia Tenggara yang lebih maritim dari Orang Bajau. Sebuah pernyataan singkat dan sederhana yang menjelaskan banyak hal tentang hubungan masyarakat Nusantara dengan laut. Mulai dari urusan ekonomi, kontak sosio-religius, asimilasi adat-kebudayaan, hingga mengkristal dan membentuk khasa‘ish atau karakteristik tersendiri tentang bagaimana keberislaman masyarakat Nusantara adalah beberapa hal yang perlu dijelaskan secara historis-kronologis untuk memberikan pencerahan-pencerahan tentang identitas dan kesejatian diri orang bahari, orang Nusantara.

Sudah lama peneliti Indonesia, juga peneliti Non-Indonesia yang memberikan simpulan-simpulan tentang kapan, dimana dan dengan bukti apa Islam tiba di Nusantara. Teori Arab, Cina, Persia, Turki, India dan Pantai Coromandel adalah negara dan daerah yang disebut-sebut menjadi kawasan penting penanda hadirnya Islam di Nusantara. Bukti-bukti tentangnya juga tidak kalah banyak, mulai dari nisan kuburan, tradisi masyarakat hingga kepengikutan mazhab yang berkembang di Nusantara serta perbandingannya dengan daerah-daerah asal penyebar Islam.  Dari sudut pandang waktu, atau kapan Islam masuk di Nusantara juga beragam: mulai dari abad 9, seterusnya hingga abad 13. Bisa jadi semua benar, namun dengan titik berlabuh para penyebar Islam (ulama, sufi dan Pedagang) yang berbeda dan dengan waktu ketibaan di Nusantara yang berbeda-beda pula.

Bagi saya, yang paling pasti adalah bentangan laut Indonesia yang luas. Bentangan yang juga memproduksi budaya, tradisi dan cara berfikir, termasuk di dalamnya soal aktivitas ekonomi: perdagangan, yang juga terlibat aktif melakukan diseminasi Islam di kawasan Nusantara. Tempat berlabuh yang potensial secara ekonomi dan (juga) menjanjikan harapan-harapan besar. Secara geografis, Indonesia merupakan negara maritim (archipelagic state) yang memiliki luas wilayah 7,7 juta km2 yang terdiri dari daratan sekitar 1,9 juta km2 (25%) dan luas lautan 5,8 juta km(75 %) dengan luas laut teritorial Indonesia mencapai 3,1 juta km2, serta Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 juta km2. Selain itu, Indonesia juga memiliki bentangan garis pantai sepanjang 95.181 km (Freddy Numberi dalam Nur Said, 2015: 364). Kiranya, fakta ini menjadi satu jawaban yang presisi tentang sisi ekonomi berikut peluang-peluangnya yang menarik minat jaringan pelayaran-perdagangan global ke Nusantara. Di antara banyak pedagang yang datang ke Nusantara itu, saya hanya akan mendiskusikan karakter maritim Nusantara dan pertemuannya dengan para pedagang Sunni serta implikasi sosiologisnya terhadap Islam di Nusantara.

Makassar: Bukti Identitas Bahari

Tidak sulit untuk membuktikan kemaritiman masyarakat Nusantara. Ada banyak sukubangsa di Indonesia yang terhubung langsung dengan laut dengan berbagai motif. Dari sekian banyak motif dan kepentingan, perdagangan menjadi yang paling dominan, asal muasal dan muara perjumpaan orang Nusantara dengan pendatang-pendatang Internasional. Untuk menjelaskan itu semua, Kerajaan Makassar dan keakrabannya dengan lautan serta interaksi sosialnya dengan pelayar antar negara dirasa cukup untuk menjelaskan identitas bahari masyarakat pesisir kita.

Secara historis, sejak abad ke 16, Makassar telah menjadi bandar pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh banyak kapal dan perahu. Dilaporkan pula, semenjak 1605 ketika dua kerajaan, yaitu Goa dan Tallo secara resmi menganut agama Islam, banyak pedagang muslim mendatangi pelabuhan ini. Dikabarkan pula, sejak 1641 pada saat Belanda menggantikan kedudukan Portugis di Melaka, terdapat banyak orang Portugis yang menetap di wilayah ini. Dalam rentang waktu 1660-2000 telah ada 2000 orang Portugis di Makassar. Pedagang-pedagang Eropa lainnya, datang pula dari berbagai negara seperti Inggris, Spanyol, Denmark, Perancis, dlsb. (Adrian B. Lapian, 1996: 49)

Data di atas menggambarkan sebuah pergumulan kebudayaan kosmopolit yang telah dilalui oleh orang-orang Makassar, cukup untuk mendefinisikan Makassar sebagai salah satu suku bangsa dengan identitas bahari yang besar, tidak kerdil dan terpinggirkan dalam kontestasi perdagangan global pada saat itu. Terbukanya pos-pos perdagangan di Nusantara memberi dampak bagi terbukanya ruang perjumpaan antar budaya di Makassar. Sebagai kawasan Bandar, Makassar  berhasil menjadi titik dagang penting Nusantara, bahkan menjadi semakin intensif, ditandai dengan datangnya para pedagang dari berbagai kawasan di Nusantara. Dengan sistem perdagangan bebas dan pola dagang multilateral, Makassar telah lama terhubung dengan para pedagang Nusantara yang datang dari Melayu, Malaka dan Jawa, selain pedagang-pedagang yang datang dari Cina, Portugis dan Belanda. Terhubungnya simpul-simpul dagang itu tidak hanya menguntungkan berbagai pihak pada sektor ekonomi saja, tetapi juga terhubungnya relasi-relasi sosial, agama dan pembentukan komunitas baru, Makassar-Melayu yang terjalin melalui perkawinan. Orang-orang Melayu dari Pattani, Minangkabau, Johor dan Pahang bahkan telah mendiami beberapa wilayah di Makassar seperti Salajo, Sanrobone dan pesisir Timur Kesultanan Makassar. Bahkan, Antonio de Paiva telah menemukan perkampungan Melayu di Siang dan Pangkep pada 1490  (M. Nur Ichsan Azis, 2013).

Melalui serangkaian koneksi lokal yang saling terhubung dengan wilayah-wilayah lain di Nusantara, pantaslah jika identitas kebaharian menjadi penciri penting orang Indonesia. Sebuah sikap hidup dan kebudayaan yang terbangun atas paduan maritim laut dan pantai yang berorientasi pasar. Secara sosio kultural, kondisi-kondisi tersebut mengkristal dan membentuk nalar kosmopolit, inklusif, egaliter, outward looking, dinamis, kewiraswastaan dan pluralistik yang menandai identitas orang pesisir Indonesia (Slamet Widodo, 2011: 11). Jika demikian, mungkinkah Islam merangsek masuk dalam lubuk hati masyarakat yang telah berperadaban tinggi hanya dengan doktrinasi?, Tidak. Islam masuk dan diterima berdasarkan pertimbangan rasional, serta keteladanan yang dicitrakan para pedagang sekaligus penganjur Islam yang lebih memilih cara-cara kultural dan etik, tidak memaksa apalagi frontal.                    

Pertemuan Pedagang Sunni dan Orang Nusantara

Selain guru-guru sufi, para pedagang muslim yang datang dari jazirah Arab telah berhasil memperkenalkan Sunni kepada umat Islam Melayu di kawasan Asia Tenggara pada abad 12 (Azra, 2009). Melalui perspektif pelaku, baik sufi atau pedagang, keduanya memiliki kecenderungan menghindari konflik. Sufi adalah agen penyebar damai dengan ajaran etiknya, sedang pedagang adalah penyambung jaring-jaring sosial yang memanfaatkan setiap interaksi sebagai peluang ekonomi. Untuk alasan itulah, Zakiya Darajat membuat kesimpulan tentang pedagang dan perdagangan yang menjadi media interaksi sosial, meniscayakan kerjasama antara penjual dan pembeli, kesederajatan, jauh dari kesan permusuhan atau perasaan superioritas dan inferioritas. (Zakiya Darajat, 2015: 68).

Dalam suasana saling menguntungkan dan berkepentingan itulah, persahabatan antar pribadi dan kelompok-kelompok terbentuk, antara pelayar-pedagang dan penduduk-penduduk lokal di Nusantara. Konektivitas yang baik itu, didukung pula dengan semangat dan nilai-nilai etik yang dikembangkan oleh penganjur Islam ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam wilayah agama, sosial dan kehidupan ekonomi, semangat Sunni atau Aswaja tercitrakan dengan baik oleh santri, sebagaimana pendapat Hari J. Benda. Forma Islam Sunni yang paling mudah untuk disaksikan dalam konteks Indonesia, bukti paling faktualnya adalah perujukan kitab kuning yang ditulis para ulama-ulama saleh terdahulu (salaf al-shalih) sebagai sumber penting sekaligus penghubung geneaologis Islam Sunni di Nusantara. Bukti ketersambungan itu dapat dilihat melalui ciri khas semangat Sunni yang berkembang: moderasi (al-tawassuth), nilai-nilai keadilan (al-I’tidal), toleransi (al-Tasamuh), reformatif (al-Ishlahiyyah) dan dinamis (al-Tathawwur). (Mudzakir Ali dan Mehmet Toprak, 2015: 29-30).

Penutup

Melalui perspektif perdagangan maritim, Aswaja di Nusantara adalah produk multiperadaban yang kaya. Meskipun telihat motif-motif ekonomi yang kuat dalam setiap hubungan dagang, namun Ia juga menjadi alasan bagi tersebarnya paham Sunni di tanah air. Paham yang memilih jalan-jalan damai, mengedepankan akhlak dan teladan. Bersamaan dengan itu, terhubungnya simpul-simpul dagang turut serta menjadi wasilah bagi persebaran paham dan ajaran Sunni di Nusantara. Interkoneksitas negara, budaya, sosial dan etika itulah yang mencitrakan Aswaja sebagai sebuah paham yang kosmopolit dan teruji masa. Faktanya, Aswaja menjadi aliran yang diterima mayoritas masyarakat Nusantara. Penerimaan yang juga didukung paradigma dan sikap hidup masyarakat bahari Nusantara yang egaliter dan inklusif. hal yang seharusnya menjadi Identitas, historisitas sekaligus kesejatian kita di tengah-tengah Indonesia yang pluralistik. [MJ] 

Foto: www.pulsk.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

BELAJAR BAHASA INGGRIS