SYARAH MUKADIMAH SIYAR AL-SALIKIN SYAIKH ‘ABDUS SHAMAD PALEMBANG
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Kitab berbahasa Melayu, berjudul Siyar
Al-Salikin Ila ‘Ibadat Rabb Al-‘Alamin/ jalan orang-orang menuju Tuhan
dalam ibadah kepada Tuhan semesta alam. Itu judul yang ditulis oleh Syaikh ‘Abdus
Shamad Palembang sendiri dalam Mukadimahnya. Ada perbedaan dengan judul di
halaman sampul yang ditulis Siyar Al-Salikin Fi Thariqat Al-Sadat
Al-Shufiyyah/ jalan orang-orang yang berjalan menuju Tuhan melalui cara para
Ahli Tasawuf. Judul yang terakhir ini kemungkinan tambahan dari penerbit. Kitab
ini memuat persoalan teologi, fikih dan tasawuf yang diterbitkan oleh penerbit
Haramayn, dicetak di Singapura, Jedah dan Indonesia pada tahun 1953 M (1372 H).
Karya ini menjadi karya
monumental Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang. Ditulis oleh Syaikh ‘Abdus Shamad
sejak 1193 H/ 1778 M hingga 1203 H/1788 M. Berdasarkan data ini maka untuk
menyelesaikan karyanya, Syaikh ‘Abdus Shamad membutuhkan waktu sepuluh tahun.
Dengan memosisikan Syaikh ‘Abdus
Shamad palembang sebagai seorang sufi besar abad 18, tentu saja karya ini
penting untuk kembali didiskusikan. Bagian yang teramat penting untuk dikaji
kembali adalah mukadimahnya atau bagian pembukaan dari karyanya. Tulisan ini
berusaha untuk mendedah sebagian dari mukadimah Siyar Al-Salikin Syaikh
‘Abdus Shamad Palembang. Tentang doa, selawat dan cara Syaikh ‘Abdus Shamad
menghubungkan dirinya kepada Rasul, sahabat, dan para pengikut Nabi. Ritual
penting Syaikh ‘Abdus Shamad, yang menjadi energi dalam menuliskan pesan-pesan
keagamaan.
Pertama sekali, memulai mukadimah
pada karyanya, Syaikh ‘Abdus Shamad menuliskan kalimat yang menunjukkan doa
kepada Allah: Wa Bihi Nasta’in, dan kepada Allah kami mohon pertolongan.
Menjadi sangat indah manakala diterjemahkannya dalam bahasa Melayu: “Aku
Mula’i kitab ini dengan nama Allah yang amat murah lagi amat mengasihani akan
hambanya”. Kata singkat sebagai sebuah permulaan yang bermakna doa itu
menjadi kata kunci ketundukan, tanda berserah pada Allah dan hanya kepada
Allah-lah tempat memohon pertolongan. Dari kata pertama dalam tulisannya,
kalimat demi kalimat, hikmah demi hikmah, hingga bagian terakhir, yang setelah
diperhatikan berjumlah 244 halaman pada halaman jilid pertama, dan 251 halaman
pada jilid kedua. Total 495 halaman. Dari sini, Syaikh ‘Abdus Shamad hendak
mengajarkan bahwa sesungguhnya kemampuan dalam berkarya itu sama sekali tidak
terlepas dari pertolongan Allah, sehingga memulainya dengan berdoa adalah
sesuatu yang harus dilakukan. Kesalahan orang-orang yang kesulitan dalam
menulis dan berkarya adalah menyandarkan kemampuan hanya pada dirinya, tidak
“mengosongkan” dirinya dari petunjuk dan pertolongan Allah, sehingga ide dan
gagasan tersendat-sendat. Karena sesungguhnya Allah-lah yang menjadi sumber
segala ide dan gagasan. Manusia itu terbatas, sedang Allah tidak terbatas.
Setelah berdoa, Syaikh Abdus
Shamad melanjutkan mukadimahnya dengan memuji Allah: “Segala puji bagi Tuhan
sekalian alam yang memberi taufik Ia akan seorang menghendaki Ia dengan Dia
kebajikan pada menjalan akan jalan segala Imam ahli sufi yang muhaqqiqin.”
Allah memiliki kekuasaan yang tidak terbatasi, termasuk di dalamnya adalah
kehendak-Nya untuk memberi arah bagi hamba-hambanya. Arah yang ingin dituju itu
adalah pengenalan secara hakikat kepada Allah. Jalan ideal untuk menempuhnya,
menurut Syaikh ‘Abdus Shamad adalah jalan para sufi yang telah mampu memahami
hakikat-hakikat kebenaran. Bagaimana cara Allah menunjukkan hamba-hambanya
dalam pengenalan kepada-Nya?, yaitu dengan jalan “memberi pertunjuk Ia akan
Dia kepada mengenal akan Dia dengan penglihatan Iman dan Yakin”. Keimanan
dan keyakinan adalah jalan yang menjadi pembuka untuk mengenal Allah. Bagaimana
keimanan dan keyakinan itu dapat diperoleh? Tentu saja ia adalah anugerah dari
Allah. Namun demikian, karya yang ditulis oleh Syaikh ‘Abdus Shamad ini adalah
karya yang menjadi wasilah bagi orang-orang yang ingin mendapatkan keimanan dan
keyakinan. Syaikh ‘Abdus Shamad mendapat petunjuk untuk menulisakannya,
orang-orang yang menjadi pembacanya juga mendapatkan petunjuk untuk lebih
mengenal Allah melalui karyanya.
Berdoa telah dilakukan oleh
Syaikh ‘Abdus Shamad, begitu juga memuji segala kebesaran Tuhan yang memberinya
pertolongan dalam penulisan karyanya. Selanjutnya, Syaikh ‘Abdus Shamad
mengucap selawat kepada Nabi: “Dan Rahmat Allah dan selamanya atas penghulu
kita Muhammad yaitu penghulu segala anbiya‘ dan segala rasul”. Menariknya
kata selawat dalam tulisan aslinya “Al-Shalat”, dimaknai oleh ‘Abdus
Shamad Palembang sebagai rahmat Allah kepada Nabi Muhammad. Hal demikian
sesungguhnya merujuk pada pemaknaan selawat Allah kepada Nabi pada surah
Al-Ahzab ayat 56. Di banyak kitab tafsir disebutkan bahwa selawat Allah kepada
Nabi adalah bentuk rahmat Allah kepada Nabi Muhammad yang merupakan pemimpin
segala Nabi dan para Rasul. Selain itu, selawat Syaikh ‘Abdus Shamad juga
bermakna doa kepada semua keluarga dan sahabat Nabi. Menurut Syaikh ‘Abdus
Shamad, mereka semua adalah teladan bagi orang-orang yang makrifat kepada
Allah: “dan atas keluarganya dan segala sahabatnya yang adalah mereka itu
ikutan sekalian ‘Arifin”. Selain itu doa-doa juga “dilangitkan” oleh Syaikh
‘Abdus Shamad kepada para pengikut Nabi, keluarga Nabi dan sahabat Nabi yang
terus melakukan kebajikan-kebajikan hingga hari kiamat: “dan atas yang
mengikuti mereka itu dan yang mengikuti bagi yang mengikuti mereka itu dengan
berbuat amal kebajikan hingga hari kiamat”.
Untuk membuka tulisannya dalam kitab
Siyar Al-Salikin Fi Thariqat Al-Sadat Al-Shufiyyah, Syaikh ‘Abdus Shamad
memulainya dengan berdoa memohon pertolongan dan petunjuk Allah; kemudian
berselawat atas nabi, keluarga nabi, para sahabat nabi dan orang-orang yang
mengikuti Nabi (yang) tetap melakukan kebajikan hingga hari kiamat tiba.
Apa yang dilakukan oleh Syaikh
‘Abdus Shamad menjadi amat penting dan relevan pada masa kini. Hari ini, dengan
terbukanya ruang dan corong informasi, membuat banyak orang kesulitan untuk
menentukan sumber informasi dan pengetahuan yang sahih. Selain itu,
keterputusan silsilah keilmuan juga menjadi permasalahan dalam transfer
pengetahuan di era digital hari ini. Dua kesalahan ini, ditambah tingkat literasi
yang rendah menyebabkan seseorang dengan mudah melakukan klaim kebenaran, tanpa
melihat kemungkinan-kemungkinan kebenaran lainnya. Padahal ilmu Allah luas dan
tidak bertepi.
Syaikh ‘Abdus Shamad mengajarkan bahwa aktivitas akademis seperti menulis dan membaca tidak boleh terlepas dari Tuhan. Dalam diskusi-diskusi filsafat kita mengetahui bahwa Allah itu adalah sumber segala pengetahuan dan kebenaran. Sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran, maka memohon kepadanya untuk mencurahkan ilmu-Nya adalah sebuah keharusan. Dengan begitu pembelajar akan selalu dalam bimbingan-Nya. Di sini, Syaikh ‘Abdus Shamad memosisikan dirinya sebagai manusia yang berharap pertolongan hanya kepada Allah dengan cara berdoa. Sebuah cara yang menunjukkan harapan dan permohonan seorang hamba dihadapan Tuhannya. Bukankah untuk mendekat kepada-Nya kita perlu bersih dan suci, perlu menghilangkan kotoran zahir dan batin, perlu memohon kepada-Nya, supaya kita dalam kondisi siap menerima ilmu Allah. Di sinilah arti penting dari apa yang dilakukan oleh Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang. Beliau sedang mengajarkan arti penting “berdoa” dalam melakukan apapun, termasuk dalam menulis. Sesuatu yang menjadi kekhasan para sufi untuk semakin dekat kepada Allah. Kedekatan itulah yang akan membuka jalan bagi kelancaran dalam berkarya, menuliskan ilmu-ilmu Allah di lembar demi lembar kertas.
Hal lain yang juga penting dalam mukadimah Syaikh ‘Abdus Shamad adalah selawatnya kepada Nabi, sebagai cara menghubungkan dirinya kepada Nabi, keluarga, sahabat dan para pengikut Nabi. Seperti yang dikatakannya, bahwa mereka adalah citra ideal bagi orang-orang yang ingin mengenal Allah. Membangun hubungan dengan Nabi dan orang-orang yang mencintai Nabi memberikan pengaruh besar pada apa yang akan ditulis. Sabda Nabi, perkataan sahabat dan para pengikut Nabi adalah sumber-sumber ilmu yang tersedia, menjadi materi yang memberikan keluasan wawasan yang nyata. Memberi batas-batas pada argumentasi, sekaligus menjadi inspirasi dan melengkapi gagasan. Yang juga penting dalam menghubungkan diri kepada Nabi, keluarga Nabi, Sahabat dan para Tabi’in adalah sebagai bentuk Tawassul. Selain bermakna sebagai doa, tawassul juga merupakan penanda garis silsilah keilmuan yang terus bersambung dari Nabi hingga Syaikh ‘Abdus Shamad, hingga murid-muridnya sampai hari ini. Dengan demikian, maka idealnya: berdoa, selawat, dan tawassul kepada Nabi dan semua yang mengikutinya dan tetap melaksanakan kebaikan hingga hari kiamat menjadi ritual yang harus dilakukan dalam berkarya. Wa Allahu A’lam bi al-Shawab. Ilahi Anta Maqshudi wa Ridhaka Mathlubi.
Komentar
Posting Komentar