ANGIN, AWAN DAN HUJAN


Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia

Angin adalah makhluk Allah yang wujudnya tidak terlihat secara kasat mata. Namun demikian, ia dapat dirasakan. Keberadaan angin itu sendiri mampu menggerakkan benda-benda. Jika angin berhembus lembut, ia menyejukkan, namun jika ia bertiup kencang, maka berpotensi merusak dan menyapu benda-benda yang ada di hadapannya. Sesuatu yang faktanya terjadi di tengah-tengah masyarakat kita, sehingga lazim kita mendengar istilah: hujan yang disertai angin kencang, angin puting beliung dan lain sebagainya. Memang benar ada fakta-fakta bencana yang disebabkan angin, tapi banyak pula fakta bahwa angin memberikan banyak manfaat bagi makhluk-makhluk lainnya. Pergerakan benda-benda yang didorong oleh gerakan angin itu pada gilirannya bahkan berhasil membentuk sebuah peradaban.

Bagaimana sebenarnya peradaban digerakkan oleh angin?. Contoh itu dapat dijelaskan dengan melihat fakta-fakta sejarah tentang awal mula masuknya Islam di Asia Tenggara. Dalam kasus ketibaan Islam misalnya, tekanan udara telah menyebabkan angin berhembus sangat kencang (jet stream effect) yang menyebabkan angin musim (monsoon) di lautan Hindia. Pergerakan angin yang secara ekonomi penting, dan menjadi titik awal serta arah baru bagi pelayaran kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia untuk berlayar ke Nusantara. Yaitu kapal-kapal yang membawa para pedagang, sufi, dan penganjur Islam. Pada tahapan selanjutnya, merekalah yang kemudian memberikan pengaruh Islam bagi masyarakat Nusantara. Dari angin, layar kapal terkembang dan bergerak mengarungi samudera menjadi satu contoh penting tentang angin dan kemanfaatannya bagi semua makhluk hidup.  

Dibalik pergerakan angin itu, ada banyak pertanyaan yang perlu untuk diungkap. Tentang siapa penggeraknya?; apa dampak dari gerakan angin itu?; apa hikmah yang dapat diperoleh dari gerakan angin itu?. Tentang angin, sufi punya argumentasi yang khas dan memadai untuk dijelaskan lebih lanjut. Untuk kepentingan tersebut, saya berusaha memahami kitab tafsir yang ditulis oleh seorang sufi bernama Syaikh Isma’il Haqqi yang berjudul Ruh Al-Bayan Fi Tafsir Al-Qur’an, tentang makna surah Al-A’raf: 57.

Bagian pertama pada ayat ini adalah: “Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira”. Pertama sekali, Syaikh Ismail Haqqi membahas tentang angin. Menurutnya, angin dalam bahasa Al-Qur’an menggunakan kata “Al-Riyah”. Kata “Al-Riyah” dalam Al-Qur’an selalu menunjukkan makna rahmat, untuk menunjukkan kasih sayang Allah yang datang melalui angin. Hal ini berbeda dengan penggunaan kata “Al-Rih” (angin), yang bertujuan dan bermaksud untuk menunjukkan azab. Untuk menjelaskan dua kata itu, Syaikh Ismail Haqqi mengutip sebuah riwayat. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Nabi bersimpuh di atas kedua lututnya ketika angin berhembus sangat kencang seraya berdoa: “Ya Allah jadikanlah angin ini (sebagai angin yang berhembus lembut) dan jangan jadikan ia (sebagai angin yang menghancurkan), Ya Allah janganlah Engkau bunuh kami dengan kemarahan-Mu, dan jangan Engkau binasakan kami dengan azab-Mu, dan berikanlah kami kesehatan serta keselamatan.” Dan dalam hadis lain disebutkan pula bahwa: “janganlah engkau mencela angin, jika engkau melihat sesuatu yang tidak engkau suka, maka katakanlah (berdoalah): “Ya Allah, kami meminta kebaikan angin ini kepadamu, kebaikan yang ada padanya, dan kebaikan yang diperintahkan kepadanya, dan kami berlindung kepadamu dari keburukan angin ini dan keburukan yang ada di dalamnya, serta keburukan yang diperintahkan kepadanya.”

Sebagai makhluk Allah, angin tunduk dan patuh atas perintah Allah. Dan untuk bersahabat dengan angin diperlukan doa, riwayat di atas adalah doa yang diajarkan rasul saat menghadapi deru angin. Sebagai makhluk Allah, angin hanya bergerak saat diperintah oleh Allah. Allah dibalik segala gerakan angin. Untuk alasan itulah Syaikh Ismail menuliskan: “sebagian guru (masyayikh) berkata, janganlah engkau bersandar pada angin untuk menentukan keseimbangan kapal dan arah pelayarannya. Hal tersebut adalah perbuatan menyekutukan Allah dalam Tauhid Af’al (Mengesakan Allah pada perbuatan, keyakinan hanya pada Allah, bahwa Dialah satu-satunya yang memperbuat segala sesuatu), meyakini bahwa anginlah yang memberikan keseimbangan adalah sebuah kebodohan, yaitu ketidakmampuan melihat hakikat dari segala sesuatu. Angin hanyalah yang digerakkan atas perintah Allah. Ketersingkapanlah yang menentukan seseorang terhindar dari kebodohan dan memiliki kemampuan untuk menyaksikan hakikat terdalam dari segala sesuatu. Seseorang yang disingkapkan Allah pada dirinya akan mampu melihat hakikat terdalam dari segala sesuatu. Syaikh Ismail Haqqi mengajak manusia untuk berfikir bahwa segala sesuatu tidak dapat bergerak kecuali ada penggeraknya, yang digerakkan pasti ada penggeraknya pula. Semua gerakan itu bergantung pada Allah. Allah sebagai penggerak ini tentu tidak digerakkan oleh penggerak yang lain, Dialah satu-satunya yang Maha Menggerakkan. Dia adalah Khaliq (pencipta), sedang yang digerakkan adalah makhluq (yang diciptakan). Keduanya tidak bisa disamakan. Sistem gerak semesta membutuhkan penggerak yang berada di luar sistem gerakan itu sendiri, jika tidak maka akan ada kerancuan, yaitu gerakan yang tak berkesudahan, dan itu tidak mungkin tanpa penggerak utama. Maka harus ada yang bergerak tapi tidak dapat digerakkan oleh apapun, Dialah Allah. Allah suci dari apapun, tidak ada yang menyamai-Nya, tidak ada yang sebanding dengan-Nya. Dialah yang menjadi penyebab segala gerakan. Dialah Yang Menggerakkan angin.  

Dalam Al-A’raf:57 angin digambarkan sebagai pembawa berita gembira, angin mendahului kedatangan rahmat Allah yang lain, yaitu hujan. Secara mekanis angin memiliki fungsi yang penting dalam proses terjadinya hujan. Ada beberapa jenis angin yang dijelaskan oleh Syaikh Ismail Haqqi, antara lain yaitu: Shaba, Syimal, Janub, dan Dabur. Angin Shaba berfungsi mendorong awan; angin Syimal mengumpulkan awan; angin janub mengalirkan awan dalam jumlah besar dan angin dabur memecah awan. Angin Shaba berhembus dari arah terbitnya matahari (Timur), titik paling tengah antara malam dan siang, sedangkan Dabur adalah jenis angin yang arah berhembusnya berhadapan langsung dengan angin Shaba, yang berhembus dari posisi (arah) terbenamnya matahari (Barat). Sedang Syimal, berhembus dari arah poros dan angin Janub adalah angin yang berhembus dari Selatan menuju utara. Berkaitan tentang ini, Ibnu Abbas mengatakan bahwa Allah mengirimkan angin, yang angin itu membawa awan yang melintas (di atas langit), seperti gambaran seseorang yang sedang melewati seekor unta dan kambing. Anginlah yang membawa awan (yang mengandung air) dan menentukan dimana hujan akan turun, semuanya dilakukan atas perintah Allah.     

Allah berada di balik gerak semesta. Angin digerakkan Allah untuk menggiring awan mendung untuk menghujani bumi yang dipilih-Nya. Hal itu dengan jelas disebut dengan pernyataan “sehingga apabila angin itu membawa awan mendung.” Angin membawa dan meninggikan awan (mendung yang mengalirkan air hujan dari langit) tersebut dengan mudah. Perkara yang sangat ringan dan mudah bagi Allah. Allah Maha Mengendalikan angin, awan dan hujan. Kemana arah angin membawa awan mendung? Ke suatu wilayah tandus, “Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu. Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu berbagai macam buah-buahan”. Daerah tandus yang dimaksud adalah daerah yang di dalamnya tidak ada kehidupan, tidak ada tumbuhan di dalamnya, dan juga setiap daerah (yang dikehendaki Allah) di muka bumi, di suatu wilayah yang berpenghuni, yang memiliki sistem/struktur pemerintahan atau tidak, kosong, berpenghuni atau bahkan di dalamnya terdapat suatu kelompok tertentu. Di daerah itu, kemudian Allah turunkan air hujan yang dengannya tumbuh berbagai macam buah-buahan yang secara nyata menjadi kebutuhan (sehari-hari). “Seperti itulah kami bangkitkan orang-orang yang sudah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran”, pernyataan ini menjadi isyarat bagaimana Allah menyajikan buah-buahan dari tanaman, juga menghidupkan sebuah wilayah yang tandus, Allah jugalah yang menghidupkan dan mewujudkan kekuatan bertumbuh (Quwwah Nabatiyyah) di suatu wilayah, sehingga hidup berbagai keanekaragaman tanaman dan buah-buahan. Demikianlah Allah menghidupkan (manusia) dari yang mati dengan mengembalikan jiwanya pada materi badaniyah setelah memperkayanya dengan kekuatan dan panca indera. Hal demikian adalah proses yang menuntut manusia untuk mengambil pelajaran atasnya, sungguh tiada yang sebanding dengan-Nya.

Gambar: cifor.org 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT