HUJAN, TANAH DAN HATI YANG DAMAI
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Salah satu yang menarik dalam tafsir sufi adalah interpretasi simbolik
atas ayat-ayat Al-Qur’an. Simbol-simbol yang terdapat pada alam raya menjadi
isyarat yang mengandung kedalaman makna. Sesungguhnya alam semesta dalam
pandangan sufi adalah ilmu-ilmu yang terbentang, hikmah dan pencerahan yang
amat sangat banyak. Benda-benda alam adalah bagian penting yang tidak terlepas
dengan kesejatian manusia, mengandung nilai dan makna-makna. Gambar, bentuk dan
wujud semesta itu adalah guru yang menjadikan bijaksana bagi siapapun yang
melihat dan berusaha memahaminya. Segala yang banyak terpusat pada-Nya, dan dari-Nya
Yang Maha Esa pulalah mewujud segala keragaman yang banyak itu. Demikianlah
sufi memahami ayat-ayat Tuhan. Angin, awan, hujan, tanah, tanaman dan
buah-buahan semuanya menjadi penanda bagi kebesaran Tuhan. Penafsiran terhadap Al-A’raf:
58 adalah satu fragmen, tentang bagaimana sufi menjelaskan alam sebagai
simbol-simbol yang harus dipahami dengan baik. Penjelasan tentang tanah
merupakan salah satu ayat yang ditafsirkan oleh seorang sufi, Imam Ibnu
‘Ajibah.
Berdasarkan hukum kausalitas, dari tanah baik yang ditanami akan
menumbuhkan tanaman-tanaman yang subur dan berkembang dengan baik pula. Pernyataan
ini sejalan dengan Al-Qur’an dalam surah Al-A’raf: 58. Apa sebenarnya makna
tanah yang baik itu? Menurut Imam Ibnu ‘Ajibah dalam Tafsir Al-Bahrul Madid
fi Tafsir Al-Qur’an al-Majid, tanah yang baik adalah bumi yang mulia, yang
di dalamnya terdapat tanah yang sangat baik. Dari tanah tersebut kemudian
tumbuh tanaman-tanaman yang subur atas izin Tuhan. Tanaman pada tanah yang baik
dapat tumbuh dengan mudah, kuat lagi berkembang dengan pesat. Meskipun, tanah
menjadi faktor penting untuk menumbuhkan tanaman-tanaman yang subur, tetapi
semua itu tidak akan terjadi tanpa izin Tuhan, Imam Ibnu ‘Ajibah menyebutnya: masyi’atullah
dan Qudratullah, kehendak dan kuasa Allah.
Sebagai perbandingan, ayat ini juga menjelaskan tentang apa yang
terjadi pada tanaman yang tumbuh pada tanah yang buruk. “Dan tanah yang
buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana.” Tanah yang buruk untuk tanaman
adalah tanah yang menyerupai batu (tanah berbatu) dan tanah rawa. Tanah ini
sedikit kemanfaatannya, sulit (untuk menumbuhkan tanaman).
Fakta-fakta tentang tanah yang menumbuhkan berbagai tanaman merupakan tanda
bagi kebesaran Allah, bagi mereka yang bersyukur. “Demikianlah Kami
menjelaskan berulang-ulang, tanda-tanda (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang
bersyukur.” Bersyukur atas anugerah-Nya. Selain mensyukuri karunia, menurut
Imam Ibnu ‘Ajibah, bersyukur dapat dilakukan dengan cara ber-tafakkur
dan mengambil pelajaran atas tanda-tanda kekuasaan Allah pada alam raya ini.
Melanjutkan penafsirannya di atas, Imam Ibnu ‘Ajibah mengutip pendapat
Al-Baydhawi sebagai sebuah catatan reflektif mengenai ayat yang sedang
ditafsirkannya. Apa yang dijelaskan pada ayat di atas sesungguhnya adalah
perumpamaan tentang seseorang yang berusaha untuk memahami tanda-tanda
kekuasaan Allah, dan mengambil manfaat darinya. Juga tentang seseorang yang tidak
mampu melihat tanda-tanda kekuasaan Tuhan dan tidak mendapatkan manfaat
darinya. Argumentasi ini ditopang oleh sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari, Ibnu Abbas dan lainnya berkaitan tentang ayat ini: “perumpamaan
hati orang yang beriman dan orang yang ingkar”, pernyataan ini menurut Ibnu
Jaziy mengandung makna zahir sebagaimana bunyinya. Ayat ini memiliki
keterhubungan dengan ayat-ayat sebelumnya Al-Araf: 57-58 yang menjelaskan tentang
hujan. Dari angin, awan, hujan yang kemudian menyuburkan tanah itu adalah
tamsil tentang kondisi hati manusia. Hati yang baik itu adalah hati orang-orang
yang beriman kepada Allah. Sedang hati yang buruk adalah hati orang-orang yang
ingkar kepada Allah. Selain makna itu, ia adalah sebuah perbandingan tentang:
orang yang mampu memahami dan orang yang tidak mampu memahami tanda-tanda
kebesaran Tuhan.
Secara simbolik, Allah-lah yang mengirimkan angin hidayah yang kemudian menyebarkan awan-awan yang menjadi inspirasi ketuhanan (Al-Waridat Al-Ilahiyyah) dan karunia Ketuhanan (Al-Nafahat Al-Rabbaniyyah) yang datang mendahului makrifat (pengenalan) seseorang kepada Allah. Sebuah berita kegembiraan yang datang lebih dulu sebelum wushul (sampai kepada Allah). Seorang hamba, jika telah datang petunjuk, karunia, dan kemakrifatan padanya, maka ia akan dianugerahi oleh Allah “Ilmu-ilmu Ladunniyyah”, yaitu ilmu yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, hal ini digambarkan dengan simbol awan mendung yang digiring angin lalu tumpahlah air hujan. Air hujan itulah yang dimaksud dengan “ilmu ladunni”. Ilmu ladunni (air hujan) yang mengucur dari langit itulah yang kemudian mengairi hati yang mati, penuh kebodohan dan hawa nafsu. Dari hati yang demikian inilah akan tumbuh buah-buah ilmu, bunga-bunga hikmah/kebijaksanaan, dan cahaya-cahaya keyakinan (pada kekuasaan Allah).
Argumentasi sufistik tentang ayat-ayat alam di atas menunjukkan satu proses alamiah yang terjadi tidak secara sederhana. Allah menurunkan hujan, lalu dengan air hujan itu tanah menjadi subur, yang dengan kesuburannya mampu menumbuhkan banyak tanaman. Dari tanaman-tanaman itulah muncul lagi beraneka buah-buahan yang memberi manfaat bagi banyak makhluk hidup. Secara lahiriah, idealnya alam sudah dapat dipahami sebagai satu tanda kebesaran Tuhan. Bahkan mengandung hikmah-hikmah batiniah yang menjadi cermin kearifan dalam pengenalan kepada Tuhan Yang Maha Tinggi. Rusaknya alam adalah ancaman bagi manusia. Eksploitasi atas alam adalah bencana bagi manusia dan kemanusiaan. Keseimbangan dan harmoni antara alam, manusia dan makhluk hidup lainnya adalah keharusan sebagai sebuah fitrah dan sunnatullah. Hati yang mendekat kepada Allah (taqarrub) adalah hati yang menjaga alam. Sebagai wujud ibadah, sebagai ketundukan sekaligus ketaatan kepada Allah.
Komentar
Posting Komentar