ISLAM, MEDIA DAN MORALITAS
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
John Vivian, pada bagian pertama bukunya berjudul The
Media of Mass Communication (2008) mengategorikan delapan jenis Media
Massa, di antaranya adalah: buku, koran, majalah, sound recording, film,
radio, televisi dan Internet. Contoh dari dua bagian kategorisasinya itu (buku
dan koran) akan saya paparkan di awal tulisan ini, sebagai data sekaligus
deskripsi tentang arti penting dan pengaruh media dalam kesejarahan Islam dan
Muslim di Nusantara.
Pada tahun 1770, dari Haramayn Syaikh ‘Abdus Shamad
Palembang menghembuskan semangat anti kolonial dengan seruan “jihad” melawan
penjajah melalui kitab yang berjudul Tadzkirat al-Mu’minin fi Fada’il
al-Jihad fi Sabilillah wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah. Karya ini
dinilai menjadi inspirasi Perang Sabil melawan koloni Belanda di Aceh. Terdapat
pula laporan tentang korespondensi Al-Falimbani tentang seruan memerangi
penjajah yang dialamatkan kepada Mangkunegara sebagai Raja Solo pada waktu itu.
Demikian laporan Michael Francis Laffan dalam bukunya Islamic Nationhood and
Colonial Indonesia: The Umma below the Winds (2003).
Kisah heroik lainnya datang dari ulama-muhaddits,
Syaikh Yasin Padang. Tentang Syaikh Yasin, Ulil Abshar Abdalla menulis sebuah
artikel berjudul “ Syaikh Yasin al-Fadani dan Nasionalisme Indonesia,” Ia
menuliskan: “ Pada suatu hari, seorang guru di Madrasah itu merobek koran
berbahasa Indonesia yang dibaca oleh sejumlah mahasiswa asal Indonesia. Guru
itu juga mengejek aspirasi nasionalis orang-orang Indonesia dengan mengatakan
bahwa bangsa bodoh yang memakai bahasa seperti itu tak akan bisa meraih
kemerdekaan.” Kejadian inilah yang menjadi sebab keluarnya Syaikh Yasin Padang
dari Madrasah Shaulatiyyah, Madrasah yang sesungguhnya terkenal dan menjadi
tujuan belajar bagi pelajar Indonesia di Mekkah saat itu. Setelah kejadian
tersebut, Syaikh Yasin kemudian terlibat aktif dalam mendirikan Madrasah Darul
‘Ulum Diniyyah pada 1934 untuk pelajar yang datang dari berbagai daerah di
Nusantara. Di Madrasah ini pulalah pengabdiannya dicurahkan dan belakangan
menjadi Direktur (mudir) hingga wafatnya pada tahun 1990.
Dari dua contoh kasus di atas (yang meskipun) berbeda
subjek dan objeknya, ia menandai arti penting media dalam membentuk jaringan
dan persaudaraan global, antara ulama nusantara di Haramain: Syaikh ‘Abdus Shamad
Palembang, Syaikh Yasin Padang dan gerakan-gerakan nasionalis di tanah air.
Dari sini jelaslah bahwa media massa menjadi faktor determinan yang mendahului
aksi dan gerakan-gerakan lanjutan. Pada titik inilah media berada pada posisi
idealnya.
Media dan Moralitas
Kita hidup dalam kondisi “serba media,” konten berita
dan informasi tersiar gencar melalui berbagai jenis media. Setiap hari kita
terpapar konten-konten media yang tidak selalu baik dan (mungkin) terjadi
berulang-ulang, keadaan yang sesungguhnya mengeksploitasi emosi dan tak jarang
akal sehat kita.
Elisabeth Noelle- Neuman, seorang sarjana komunikasi
Jerman, pengusung teori Cumulative Effects berpandangan bahwa redudansi
pesan media akan membentuk kondisi psikologis manusia untuk membenarkan
klaim-klaim mayoritas. Saat klaim-klaim mayoritas ini dianggap kredibel dan
dominan, ia kemudian membesar dan menjadi pandangan umum tanpa dipahami secara
kritis. Matinya nalar investigatif terhadap berita-berita yang “hanya” tersebar
luas dengan pengulangan-pengulangan inilah yang akan menciptakan spiral
intimidasi atas sudut pandang minoritas yang terpaksa bisu dan bungkam. Oleh
karenanya, “Cumulative Effects Theory” jauh berbeda dengan konsep libertarian
yang menyediakan media sebagai tempat bagi ide-ide yang saling berkonflik
secara setara.
Sebagai sebuah teori, “Cumulative Effects”
Noelle-Neuman barangkali dapat dibenarkan dalam pesan-pesan media yang lebih
menonjolkan aspek “emosi,” namun tidak pada pesan-pesan media yang menjunjung
tinggi moralitas dan pesan “cinta”. Semakin dominan pemberitaan benar dan
beretika maka akan semakin tersebar pula inspirasi dan nilai-nilai moral. Kalaulah
kebencian melahirkan permusuhan, maka cinta akan melahirkan persatuan. Inilah
mungkin kaidah penting dan ideal bermedia dewasa ini. Namun ironisnya, kosa
kata bernada penghakiman: kafir, munafik, sesat dan sejenisnya jauh lebih
banyak menghiasi (khususnya) media sosial kita hari ini. Isu tentang dinamika
politik yang berkelindan dengan agama dan kepentingan kelompok jauh lebih
“viral” dibandingkan informasi tentang substansi agama itu sendiri. Bencana
kemanusiaan dan kerusakan lingkungan kalah populer di media jika dibandingkan
dengan berita kekuasaan, keserakahan dan korupsi. Sebagai contoh saja, banjir di
sebagian kawasan yang terjadi selama dua bulan, terhitung mulai 1 April hingga
21 Mei 2017 di tiga Kabupaten Kalimantan Timur: Mahakam Ulu (Mahulu), Kutai
Barat (Kubar) dan Kutai Kartanegara (Kukar) nyaris tanpa pemberitaan media
nasional. Semoga ini bukan tanda permisif dan mati rasa kemanusiaan warga
media. Apa yang terjadi di media kita saat ini, adalah suatu kondisi yang
disebut Stanley Cohen sebagai “moral panic/ (kepanikan moral)” yang
ditengarai kondisi, peristiwa, orang atau sekelompok orang yang memberikan
ancaman terhadap nilai-nilai dan kepentingan umum masyarakat melalui narasi dan
konstruksi media (Cohen dalam Keith Tester, 2003: 154).
Pada saat berita-berita yang memecah belah jauh lebih
banyak daripada yang sejuk dan teduh. Ujaran kebencian dibiarkan menggelinding
dan menemukan momentum keberhasilannya dengan melahirkan kegelisahan,
kekhawatiran dan kecemasan di tengah-tengah publik. Dalam posisi inilah, media
tidak lain hanya sebagai agen kejahatan moral dan sosial. Oleh karena itu, sebelum
kebenaran usai, sebelum kesadaran dan moralitas berakhir dan sebelum datang “media”
pasca ilmu dan pengetahuan maka kontra-narasi dan pengarusutamaan moral secara
holistik adalah wajib dan harus. Sebuah gerakan yang pasti akan didukung
semesta.
Penutup
Kita akan menemukan akar dan asal-usul moralitas dalam semua agama. Islam mengkonfirmasi itu dengan ajaran rahmatnya yang universal bagi semesta. Celakanya, atas fakta itupun sebagian pelaku media sosial kerap gagal paham dan mendaku paling benar atas luasnya wawasan dan narasi agama. Saat hal itu terjadi, maka “agama” di media sosial berubah menjadi bahan baku perdebatan dan konflik. Sebuah realitas tidak ideal, dan bukan representasi atas agama. Pada akhirnya, harus saya katakan bahwa bermedia itu adalah tentang keberpihakan: berpihak pada persatuan bukan pada perpecahan, berpihak pada kemanusiaan bukan pada kebiadaban. Kita harus terus yakin bahwa beragama dalam bermedia adalah usaha menciptakan surga di bumi. Allahu A’lam.
Gambar: ashevilleacademy.com
Komentar
Posting Komentar