JARINGAN DAGANG KALIMANTAN: ISLAMISASI DAN TRANSFORMASI


Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia 

Berubahnya tekanan udara yang menyebabkan angin sangat kencang (jet stream effect) atau angin musim (monsoon) di lautan Hindia menjadi titik penting bagi perkembangan peradaban ekonomi (sekaligus) Islam di Nusantara. Dua alasan penting itulah kiranya yang membawa pelayar-pedagang Muslim bertandang ke Nusantara, tidak terkecuali Kalimantan, sebuah pulau yang diekspresikan oleh Samuel Bryan Scott sebagai wilayah dengan bentangan hutan lebat, yang memaksa pedagang terhenti di wilayah pesisir.

Untuk menangkap informasi tentang jaringan perdagangan Kalimantan, sebagaimana judul dalam tulisan ini, perlu kiranya untuk menyusun kembali data, fakta dan bukti-bukti penting yang memadai guna menangkap ide, gagasan, nilai-nilai yang hampir pasti berkelid kelindan dengan: Mengapa Kalimantan menjadi titik perjumpaan pedagang? Kapan koneksi perdagangan itu terbentuk? Apa saja yang menjadi daya tarik Kalimantan dalam kontestasi perniagaan yang berlangsung dalam rentang historisnya?. Pertanyaan-pertanyaan yang tentu saja membutuhkan gambaran dan deskripsi-deskripsi historis untuk menjawabnya.

Untuk kepentingan itulah kiranya, saya mendaftar beberapa peneliti yang berusaha mendedah Kalimantan sebagai objek kajian sejarahnya, sebagai pijakan untuk mengembangkan dan menganalisa secara lanjut data-data yang tersedia. Pada bagian ini, nama-nama peneliti Barat, seperti: McKinnon (2000), Harrison (1959), Bellwood (1985, 1988), Selatto (1994), Irwin (1986), Purcell (1951), Bradell (1949), Groeneveldt (1887) dan Hughes Hallet (1940), sebagaimana disebutkan oleh Hermansyah dalam risetnya tentang Ilmu Ghaib di Kalimantan Barat (2010) menjadi dasar-dasar penjelasan sejarah Kalimantan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.

Dalam banyak riset, sebagaimana dipresentasikan banyak peneliti, Kalimantan hampir selalu dideskripsikan sebagai sebuah wilayah yang dipenuhi hutan lebat ditinggali orang utan dan pemburu kepala (head-hunters). Sebagai pulau terbesar ketiga di dunia setelah Greenland dan Papua yang terletak ditengah-tengah kepulauan Nusantara, Kalimantan adalah sebuah dataran yang tidak rata, dengan hutan lebat, dilalui oleh sungai-sungai besar seperti Kapuas, Mahakam, rejang, Baram dan Barito.

Para ilmuwan percaya bahwa manusia sudah menempati pulau Borneo sekurang-kurangnya sejak 40.000 tahun yang lalu. Bangsa Australoid yang pertama mungkin telah mencapai pulau ini selama masa interglacial pada masa pleistosen. Mereka melakukan perjalanan melalui jembatan-jembatan daratan kering yang menghubungkan kepulauan Sunda Besar dengan daratan Asia: Niah di Sarawak menjadi pemukiman manusia semenjak 40.000-20.000 tahun yang lalu. Sekurang-kurangnya 28.000 tahun yang lalu orang menggunakan gua dan liang di Madai dan Baturong Sabah, dan kemudian membangun pemukiman di tepi-tepi danau, memburu binatang dan mengumpulkan kerang-kerangan. Teknik pertanian padi baru masuk ke pulau ini pada Masa Neolitik, sedang besi baru dikenal antara abad ke 5 dan ke 9 M. Pada masa ini pulalah, hubungan dengan Tiongkok sudah terjadi, bahkan sejak abad ke 3 SM. Fakta ini didukung oleh catatan kesejarahan Dinasti Tionghoa tentang lawatan duta-duta dari Kalimantan pada tahun 600 dan 1500 M, duta-duta tersebut datang dari ‘Po-lo, P’oli, Poni, Ye-Po-ti dan sebagainya, nama-nama yang pada umumnya telah diterima sebagai tempat-tempat yang terdapat di Pantai Barat Borneo.

Bukti lain yang memperkuat terbentuknya jaring-jaring relasional Kalimantan adalah bercokolnya kerajaan-kerajaan Hindu, fakta yang juga dipertegas dengan peninggalan-peninggalan Hindu yang terdapat di pahat pada abad ke 4, di pantai Timur Kalimantan. Berdirinya kerajaan-kerajaan kecil Hindu yang berkembang di kawasan pantai pulau ini menandai arti penting Hindu dan pengaruhnya di Kalimantan. Di sisi lain, kerajaan-kerajaan kecil yang merupakan pengaruh Jawa sejak abad ke 9 mencapai puncaknya pada abad ke-14 di kawasan Timur. Sebuah fakta yang mengonfirmasi perkembangan agama Hindu di Kalimantan. Selain Hindu, Islam sebagai ideologi agama baru tiba pada abad ke 13. Pada gilirannya, Islam menggantikan kedudukan kerajaan-kerajaan Hindu pada abad 15 atau 16. Perubahan dan pergantian sistem tersebut, ditandai dengan munculnya kesultanan di wilayah-wilayah Kalimantan: Brunei di Utara, Sambas, Landak, dan Sukadana di Barat, Kutai dan lainnya di Timur, serta Banjarmasin di Selatan.

Berubahnya kerajaan menjadi kesultanan dan terformalisasinya sistem kekuasaan Islam tidak menghalangi kedatangan bangsa Eropa ke Kalimantan untuk membentuk jaringan dan hubungan dagang (Logan: 1984; Hall: 1971). Perjumpaan penduduk Kalimantan dengan orang-orang Eropa ini menjadi fase awal sekaligus pintu masuk kolonialisme yang baru berlangsung tiga abad berikutnya, abad 19. Pada abad inilah, Inggris dan Belanda secara efektif menguasai Kalimantan (Sellato: 1994; Leyden: 1837), meskipun belum mampu sepenuhnya mengontrol wilayah tengah (pedalaman) hingga kekuasaan Jepang pada tahun 1942-1945. Masa pascakolonial atau kemerdekaan, Selatan Kalimantan menjadi bagian dari Republik Indonesia; Sabah dan Serawak bergabung dengan Persekutuan Tanah Melayu untuk membentuk Malaysia; dan pada tahun 1984 Brunei mendapatkan kemerdekaannya.

Perjumpaan-perjumpaan “Kalimantan” dengan beberapa bangsa berikut ideologinya, hingga secara resmi menjadi bagian negara adalah jalan panjang yang menjelaskan banyak hal tentang Kalimantan, dua yang utama adalah: Ideologisasi agama dan kolonialisme. Diseminasi ideologi keagamaan akan melestarikan moral, sedang kolonialisasi adalah penundukan dan penguasaan wilayah dan tentu saja “kekayaan” yang ada di dalamnya. Keduanya bisa saja berpangkal pada satu sebab awal, gerakan ekonomi. Di Kalimantan, persoalan ekonomi yang mewujud dalam perdagangan, ekspor dan impor komoditas lokal berupa hasil hutan dan tambang adalah alasan penting terbentuknya koneksi dagang Kalimantan sejak lama, bahkan masih terjadi hingga saat ini.

Kalimantan, Pedagang Arab dan Cina

Titik temu relasional antara Kalimantan dan beberapa negara seperti yang sudah disebutkan di atas menemukan pijakan akademisnya jika merujuk pada temuan Samuel Bryan Scott dalam “Mohemmedanism in Borneo: Notes for a Study of the Local Modifications of Islam and the Extent of Its Influence on the Native Tribes” dalam Journal of the American Oriental Society, Vol. 33, (1913). Melalui penelitian ini, ia mengungkapkan bahwa gerakan ekonomi besarlah yang membawa Islam ke pulau Kalimantan. Kesimpulan ini nampaknya seiring sejalan dengan temuan-temuan peneliti lainnya. Hamka merasa perlu untuk menyebut peran penting pedagang dan ulama sebagai penyebar Islam di Nusantara. Dalam skala lokal, datangnya para penyebar Islam yang juga pedagang tersebut merupakan hubungan timbal-balik antara Singapura-Malaka, kemudian Pasai dan Aceh dengan tanah Banjar serta marabahan (pelabuhan) yang ramai pada masa pemerintahan Raden Sari Kaburangan dan Pangeran Temanggung (Mukhyar Sani, 2003). Argumen ini diperkuat dengan fakta tentang pengaruh pedagang Muslim terhadap Islamisasi di Kutai, ditandai dengan berubahnya gelar raja menjadi sultan (Cathrin Bullinger, 2006).

Kontak sosial paling nyata antara pedagang Muslim dengan penduduk lokal Kalimantan terjadi pada saat kebutuhan tempat bernaung (shelter), air dan jalan pintas. Hubungan saling melengkapi antara penduduk lokal dan para pedagang tersebut bersamaan dengan meningkatnya intensitas kunjungan para pedagang di pelabuhan-pelabuhan pesisir. Lambat laun, hubungan itu semakin baik dan terorganisasi sehingga membentuk sistem dagang, pengelolaan bea cukai dan meningkatnya populasi pedagang skala kecil Melayu dan Bugis di kawasan pesisir. Populasi pedagang inilah yang kemudian membentuk rantai jaring perdagangan internasional Asia, dan Eropa yang pada saat bersamaan tertarik dengan bermacam rempah dan kekayaan alam pulau tropis.

Komunitas pedagang lokal kepulauan yang telah terbentuk itulah, yang kemudian membentuk pusat perniagaan di Aceh, Batam dan dan banyak tempat lainnya yang menjadi sentral bagi barang-barang pilihan yang dibawa kepada saudagar dengan kapal-kapal besar dengan jangkauan pasar yang lebih besar. Kapal-kapal dagang itu kemudian membawa produk-produk Timur ke Arah Barat, dari Cina, lalu ke India dan Arab.

Di Kalimantan atau di banyak kawasan Nusantara, lalu lintas perdagangan tidak hanya menjadi wadah transaksi barang dan produk lokal, Ia juga menjadi pintu masuk dan internalisasi nilai dan ajaran Islam. Catatan Scott menunjukkan bahwa salah satu pembawa ajaran Islam adalah pedagang Arab yang juga mencari keuntungan pada sektor ekonomi dengan misi agama sebagai tugas sekundernya. Pedagang-pedagang ini datang dari India, Mesir, Mekkah dan Hadramaut. Meningkatnya aktivitas ekonomi di kawasan Nusantara ini berbanding lurus dengan persebaran ajaran Islam di Nusantara, termasuk Kalimantan. Imbas perdagangan dalam skala global juga  memberikan pengaruh bagi aktivitas dagang di kawasan Kalimantan, hal ini ditandai dengan datangnya koloni dagang dari kelompok Melayu, Bugis dan Jawa di muara-muara sungai dan kawasan pesisir Kalimantan. 

Selain sebagai destinasi pedagang-pedagang Arab, Kalimantan pula menjadi tujuan dagang Cina. Dalam catatan pedagang Muslim Cina, ditemukan berbagai ragam data yang sahih mengenai interaksi Islam, Cina dengan Kalimantan Timur. Berita Cina pada awal abad Islam itu adalah penyebutan daerah-daerah Nusantara dengan lafal Cina yang berdasarkan studi toponomi dapat diketahui artinya, tentang beberapa daerah yang menjadi tujuan jalur perdagangan Cina, seperti: Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Dijelaskan pula dalam data tersebut tentang daerah-daerah tersebut yang melimpah ruah hasil alamnya sehingga menjadi tujuan persinggahan pedagang Cina (Agus Suprapto, tt.)

untuk mempertegas fakta itu, data yang ditulis oleh Tjilik Riwut dalam Kalimantan Membangun (1979) dapat digunakan sebagai pembanding. Hubungan dagang Kalimantan dan Tiongkok dapat dikonfirmasi melalui catatan sejarah perjalanan Cheng Ho pada tahun 1407, dalam ekspedisinya ini, Ia berhasil menyinggahi beberapa wilayah di Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Suluk. Sebagai sebuah tanda persahabatan, datanglah dari banyak daerah, utusan-utusan ke Peking dengan membawa serta sebuah bingkisan. Dalam ekspedisi ini, ada pula seorang utusan dari Kalimantan (Brunei) yang membawa bingkisan. Pada masa itu dijelaskan terjadi hubungan antara penduduk asli Kalimantan (Dayak) dengan Tiongkok pada sektor perdagangan berupa besi, emas, perak serta piring-piring kuno.

Penutup

Koneksi perniagaan Kalimantan yang berskala lokal dan global berimplikasi pada perubahan-perubahan signifikan terhadap banyak hal, beberapa diantaranya adalah: transmisi dan internalisasi nilai dan ajaran agama, faktor ini disebut-sebut menjadi bagian tak terpisahkan bergantinya sistem kerajaan menjadi sistem kesultanan berikut hal-hal yang berkaitan dengannya: sistem hukum dan kepengikutan rakyat kepada sultan. Perubahan-perubahan lain mewujud dalam hal yang lebih riil, terbentuknya simpul-simpul dagang yang semakin membesar, pada gilirannya menjadi komunitas besar perniagaan yang menghubungkan kawasan-kawasan kepulauan. Sebuah keadaan yang menjadi akar dan inspirasi pembentukan identitas Nusantara. [MJ] 

Gambar: indonesia-tourism.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT