KEYAKINAN DAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS


Bang Zul 
Rumah Transformasi Indonesia

Di tengah tumbuhnya pasar-pasar modern dan berubahnya pola perdagangan menjadi berbasis daring, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap turunnya pendapatan pedagang tradisional. Sehingga, profesi ini tidak lagi menjadi profesi yang diharapkan. Ketidakpastian jumlah pendapatan dan tidak adanya jaminan hari tua merupakan alasan utama banyak pemuda yang tidak menjalani pekerjaan ini. Beberapa data bahkan menunjukkan fakta menyusutnya jumlah pedagang tradisional. Keadaan itu menjadi sederet realitas tentang lelah dan beratnya menjadi pedagang tradisional hari ini.

Dalam keadaan tidak menentu semacam itu, pedagang sebenarnya belum kalah sepenuhnya. Ada kesejahteraan psikologis yang diperoleh oleh pedagang. Argumen ini dibuktikan melalui studi tim peneliti Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Penelitian yang berjudul “ Analisis Keyakinan Diri dan Kesejahteraan Psikologis Pedagang di Pasar Tradisonal Darat dan Pasar Terapung Lok Baintan Sungai Tabuk Martapura” menemukan bahwa keyakinan memberikan sumbangan efektif terhadap kesejahteran psikologis berupa perasaan mampu melewati tahap-tahap perkembangan, pengalaman baru, kesadaran akan potensi serta usaha melakukan perbaikan kehidupan. Secara eksplisit, riset ini hendak mengatakan bahwa hanya pedagang dengan keyakinan yang tinggilah yang mampu bertahan dan “bahagia” dalam berdagang, dalam konteks yang lebih luas, dalam kehidupan sehari-hari.  

Dalam narasi Islam, yakin bersejajar dengan konsepsi tentang Iman, yang sejak Al-Qur’an turun menjadi kunci bagi munculnya ketenangan dan ketenteraman. Dalam hal rezeki, keyakinan kepada Tuhan membuat seseorang percaya bahwa kadar rezekinya telah ditentukan. Keyakinan kemahakayaan Allah inilah yang seharusnya membuat manusia menjadi lebih tenang dan bahagia. Allah meyakinkan itu melalui firmannya: “Dan berapa banyak binatang yang tidak dapat membawa rezekinya. Allahlah yang memberikan rezeki kepadanya dan juga kepada kalian. Dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Al-Ankabut: 60).

Selain sebagai anugerah Allah, keyakinan adalah keberhasilan memahami tanda-tanda dan hukum kausalitas kealaman. Bahasa Al-Qur’an begitu indah menggambarkan kuasa Tuhan yang terang dan meyakinkan sebagai jalan mencapai derajat yakin. Apakah mereka tidak memerhatikan unta, bagaimana diciptakan?; Dan langit, bagaimana ditinggikan?; Dan gunung-gunung bagaimana ditegakkan?; Dan bumi bagaimana dihamparkan? (Al-Ghasiyah: 17-20). Ayat-ayat “Isyarat Ilahiyyah” inilah yang kemudian membentuk cabang tersendiri dalam tafsir Al-Qur‘an bercorak sufistik, ‘Abdurrahman al-‘Akk menyebutnya sebagai “Tafsir Isyari al-‘Ilmi.” Pada titik ini saya  ingin mengatakan bahwa proses tafakkur, memahami tanda-tanda alam, baik tersurat maupun tersirat adalah penting dalam membangun keyakinan-keyakinan diri.

Selain berfikir dan mendayagunakan akal, untuk mencapai yakin adalah dengan memusatkan semua aktivitas kehidupan dalam kerangka penghambaan dan ibadah kepada Allah. Al-Qur‘an mengajarkannya dengan redaksi: “ dan sembahlah Tuhanmu sampai datang yakin kepadamu” (Al-Hijr: 99). Ulama Sufi Sunni, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani memaknai ayat ini sebagai perintah untuk bersungguh-sungguh mengenal Allah, karena dengan jalan itulah seseorang menyadari siapa dirinya, sehingga hilanglah dinding penghalang berupa ego dan “keakuan” dirinya. Sedang Al-Wahidi dalam Tafsirnya Al-Wajiz, memaknai yakin pada ayat ini sebagai al-Mawt, kematian. Hilangnya ego dan keakuan, akan membangkitkan kesadaran sebagai makhluk, menjadi hamba yang memahami dan yakin tentang siapa yang disembahnya. Begitu pula kematian, adalah sesuatu yang pasti dan tidak terbantah. Keyakinan tentang adanya adalah keharusan, sehingga akhir yang baik (husnul khatimah) wajib menjadi tujuan segala urusan.

Di tengah banyak orang yang tersesat, menganggap kemewahan sebagai kebanggan yang harus diketahui orang lain sejatinya adalah sombong, riya dan sum’ah yang sedang menyamar dalam keakuan diri. Hal itu menjadi tanda hilangnya keyakinan tentang siapa dan untuk apa anugerah yang diperolehnya?. Bagi siapapun, keyakinan harus menjadi energi kehidupan. Agar ikhtiar tidak berhenti, agar usaha terus dilakukan dalam keyakinan-keyakinan kepada Tuhan. Semua yang berasal dari keyakinan, dalam arti keimanan akan melahirkan sistem dan pola perolehan harta melalui cara-cara yang halal dan baik pula. Tidak ada tipu, dusta dan korupsi serta jalan haram lainnya untuk memeroleh rezeki, sehingga terhindar dari perasaan bersalah, tidak tenang dan sesal mendalam. Akhirnya, sumber-sumber harta halal yang diusahakan atas dasar iman (keyakinan) kepada Allah menjadi kunci keberkahan, kebahagiaan dan kebermanfaatan hidup bagi diri sendiri dan orang lain. Inilah sebenar-benar kesejahteraan psikologis yang menembus batas waktu dan tidak terbatasi kematian. Menjadi sumber kebaikan dunia dan akhirat. [MJ] 

Foto: Google/ mmlaaka.com   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

BELAJAR BAHASA INGGRIS