KORUPSI DAN KUTUKAN LANGIT
Bang ZulRumah Transformasi Indonesia
“Kepada siapapun, apakah dia orang pendatang atau orang asli
Martadipura yang telah meminum air Sungai Mahakam. Jika dia membawa harta atau
kekuasaan yang didapat secara tidak halal, maka terkutuklah orang tersebut
dengan suatu bala (bencana). Kutukan ini berlaku jika ke hilir melalui Kutai
Lama (muara Sungai Mahakam), sedang jika ke hulu sebatas Pinang Sendawar (hulu
Sungai Mahakam)”
Kutipan di atas adalah bunyi dari kutukan
Kudungga, Maharaja Kerajaan Kutai Martadipura yang berpusat di Muara Kaman,
tempat ditemukan yupa atau prasasti yang menjadi bukti sejarah kerajaan tertua
Nusantara. Menurut budayawan dan sejarawan Kalimantan Timur, Djohansyah Balham,
kutukan tersebut adalah murka Kudungga terhadap pejabat kerajaan yang
berkhianat, tamak, memperkaya diri sendiri dengan melakukan pungutan liar
kepada rakyat. Kutukan kudungga itu menjadi akhir cerita si pejabat serakah
yang melarikan diri di malam hari dengan membawa serta harta dan keluarganya
berlayar meninggalkan pusat kerajaan. Dikisahkan bahwa pada saat pelayaran akan
tiba di muara sungai menuju laut lepas, badai besar menghantam kapal tersebut,
cuaca tiba-tiba menjadi gelap, angin disertai hujan dan gelombang laut yang
besar, membuat perahu oleng terombang-ambing, petir menyambar kapal hingga
hancur berkeping-keping, tiada yang selamat berikut harta yang turut tenggelam.
Setelah mengenggelamkan kapal, badai berhenti, langit cerah dan laut tenang
kembali di perairan yang kini dikenal dengan nama Masalembu itu. (Awaluddin
Jalil, 2014)
Kisah di atas
merupakan suatu titik pijak sejarah yang mengajarkan bahwa kehancuran bermula
dari sikap manusia yang abai atas rasa keadilan terhadap sesama. Dalam makna
yang diperluas, ketidakadilan sesungguhnya telah mewujud dalam banyak
bentuknya. Gunung dikeruk, hutan digunduli, batubara, minyak bumi dan gas
dieksploitasi habis-habisan hanya untuk memenuhi nafsu serakah pribadi atau sekelompok
orang, suatu sikap yang jauh dari rasa keadilan. Ekses negatif lain dari
hilangnya adil di dalam hati adalah tertutupnya nurani untuk jujur dalam
bersikap dan bertindak serta kecenderungan melakukan apapun dengan cara apa
saja untuk memeroleh harta dan kedudukan. Halal dan haram tidak lagi menjadi
perhatian, dua kata yang mungkin sudah dilupakan.
Boleh dikatakan, kisah tentang “kutukan Kudungga”
terhadap pejabatnya yang zalim itu bernuansa lokal, tapi sesungguhnya nilai
moral yang terkandung di dalamnya bersifat universal dan (juga) terjadi di
banyak tempat, di belahan dunia yang
lain. Sejarah mencatat, kisah serupa (kehancuran karena kezaliman) berkaitan
dengan banyak kisah-kisah lain yang dinarasikan oleh kitab-kitab agama samawi,
Al-Qur’an adalah salah satu kitab suci agama yang mengkonfirmasi itu.
Anti Korupsi Sebagai Sikap Teologis
Bentangan sejarah Islam masa lalu pernah mencatatkan
suatu kisah kaum yang berlaku curang dan korup. Kisah itu diabadikan dalam ayat
bernuansa sejarah dalam Q.S (7) 85: “Dan (kami telah mengutus) kepada
penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku,
sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya
telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah
takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang
takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi
sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika
betul-betul kamu orang-orang yang beriman". Kutipan ayat ini menggambarkan sikap
tidak adil dan koruptif penduduk Madyan (semula merupakan nama putra Ibrahim
a.s.) yang kemudian berkembang menjadi sebutan bagi kabilah yang terletak di
pantai laut merah di Tenggara gunung Sinai, Mesir.
Secara konseptual, tindakan koruptif pada ayat
tersebut adalah suatu bentuk pengingkaran terhadap keadilan. Berkaitan tentang
ayat tersebut, Shaykh ‘Abdul Qadir Al-Jilani melalui karyanya Tafsir
Al-Jilani memberikan narasi tentang suatu kaum yang melampaui batas-batas
dengan melakukan penipuan-penipuan yang amat merugikan. Pada kondisi itulah,
kemudian Nabi Syu’aib mendakwahkan nilai-nilai secara simpatik dalam bentuk
nasehat kepada kaum Madyan untuk menyembah Allah dan mengesakan Ketuhanan-Nya,
karena tiada Tuhan selain Allah yang menunjukkan bukti-bukti nyata berupa
bencana. Dia pulalah yang mengajarkanmu dengan ragam kelembutan dan kemuliaan
sebagai petunjuk untuk berbuat adil di dalam ber-mu’amalah untuk
mencapai keseimbangan moral dan keadilan. Sempurakanlah takaran dan timbangan
dengan memenuhi hak-hak Allah; janganlah mengurangi hak-hak kemanusiaan; jangan
(pula) menjadi perusak bumi yang telah diciptakan Allah untuk keadilan dan
kebaikan, sebagaimana diutusnya Rasul dan turunnya Al-Qur’an kepadamu. Maka
dari itu, menegakkan keadilan, menunaikan kebajikan dan menjalankan perintah
adalah bentuk dari keyakinan terhadap keadilan Allah sebagai sebuah jalan yang
lurus.
Tafsir bernuansa sufistik di atas mengesankan
pemenuhan atas hak-hak vertikal dan horizontal sebagai sebuah kesatuan. Secara
sederhana dapat dipahami bahwa menegakkan keadilan dengan tidak mengurangi
hak-hak kemanusiaan sesungguhnya adalah pemenuhan atas hak-hak Allah pula.
Sikap anti korupsi, dengan tidak melakukan pengurangan dalam takaran dan
timbangan (mark up) sesungguhnya bersumber dari nilai-nilai ketauhidan
kepada Allah. Sebaliknya, korupsi adalah sikap berlawanan terhadap nilai-nilai
ketauhidan.
Iktibar Sejarah: Korupsi sebagai
Sumber Petaka
Kalam Tuhan yang merupakan pesan langit bagi kaum
Madyan yang kerap mengurangi timbangan dan takaran di Sinai dan juga kisah
petaka bagi menteri zalim yang merampas hak-hak rakyat yang terjadi di kerajaan
Kutai Martadipura di bawah pimpinan Kudungga. Dua kisah di atas terjadi di dua
tempat berbeda, pada masa berbeda dan setting historis yang juga
berbeda. Namun, kedua kisah itu mendeskripsikan alur cerita dan akibat yang
sama, bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh kezaliman (baca: korupsi).
Malapetaka turun akibat ketidakadilan yang memunculkan
sifat-sifat negatif: korupsi dan penentangan atas kebenaran hukum-hukum alam (sunnatullah).
Hal paling sederhana yang dapat dijadikan contoh adalah kerugian negara yang
menjadi efek domino bagi kerugian rakyat di sisi lain. Sedang, pelaku tidak
pernah menemukan ketenangan hidup karena hilangnya “keberkahan” (bertambahnya
kebaikan-kebaikan sebab halalnya harta), sebuah istilah yang mungkin semakin
asing di tengah budaya hedonis yang semakin menggejala. Dalam tataran praktis,
kisah “kutukan Kudungga” dapat dimaknai sebagai penggambaran tentang koreksi
alam atas keserakahan, misalnya bencana banjir karena penebangan liar. Efek
langsung yang tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga masyarakat luas. Hal
lain, kisah Kaum Madyan menyiratkan hal yang serupa, “kutukan langit” dalam
bentuk gempa atas pengingkaran dan ketidakadilan yang merajalela, “kemudian
mereka ditimpa gempa, Maka jadilah mereka mayat-mayat yang bergelimpangan di
dalam rumah-rumah (kota) mereka.” (QS. 7: 91).
Petaka tidak perlu berulang, “bencana” akibat korupsi
adalah kemunduran dan kegagalan membaca sejarah. Untuk itulah penting apa yang
dikatakan oleh Durkheim bahwa “hanya dengan mempelajari masa lalu secara
saksama maka kita dapat mengantisipasi masa depan dan memahami masa kini.”
(Durkheim 1977: 9). Ketidakadilan dan korupsi tidak berpangkal pada idealisme
ilmu dan agama, narasi-narasi sempit dan dangkal pulalah yang meggiring tindakan
itu. Pepatah mengata: “ ada sirih hendak akan sepah,” ada banyak jalan yang
baik untuk memeroleh kejayaan, tidak perlu memilih jalan yang salah.
Gambar: cnbcindonesia.com
Komentar
Posting Komentar