MASJID, KEMANDIRIAN DAN PASAR
Bang ZulRumah Transformasi Indonesia
Judul ini tentu saja bukan untuk memperbandingkan antara yang sakral dan yang profan. Antara tempat ibadah dan tempat yang berorientasi ekonomi. Keduanya jelas tidak sama. Berbeda fungsi, berbeda tujuan. Meskipun begitu, ada kemungkinan yang bisa dikembangkan dari masjid dan juga pasar. Kemungkinan itu adalah: membangun ekonomi umat dari masjid, dan membangun spiritualitas di pasar. Tentu saja pasar dengan makna yang luas, hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas ekonomi dan bisnis. Usaha menumbuhkan kesadaran ini sudah dimulai. Seperti sebuah kegiatan bertajuk Ta’lim Ramadan: Muslim Mandiri Peduli Negeri, yang saya ikuti kemarin, tepat di hari ketujuh bulan ramadan 1440 H.
Menariknya, acara yang saya sebutkan di atas digagas oleh sekelompok anak muda yang bernaung di bawah lembaga ketakmiran masjid bernama Ikatan Pemuda Masjid Al-Hidayah (IPM Al-Hidayah) di Kelurahan Rapak Dalam, Samarinda Seberang. Dalam kesempatan ini, dihadapan beberapa ikatan remaja masjid dan langgar kecamatan Samarinda Seberang, saya menyampaikan beberapa hal tentang: siapa sebenarnya muslim?; apakah ada hubungan relasional antara nilai-nilai keberislaman dan semangat sosial ekonomi?; apa ada juga contoh-contoh nyata dari semangat keberislaman dan kemandirian?; serta kontribusi apa yang bisa diberikan oleh pemuda muslim bagi negerinya?.
Pertanyaan-pertanyaan di atas berusaha saya jawab dengan kasus-kasus yang dekat dengan kenyataan orang Samarinda. Tentunya, setelah menjelaskan hal-hal normatif tentang hubungan Islam dengan Iman dan Ihsan yang memang satu paket, tidak bisa diganggu gugat. Soal ini, saya sejujurnya teringat dengan petuah guru saya di pesantren dulu. Beliau pernah mengatakan bahwa rukun Islam itu kalau ditelaah secara mendalam, terdapat nuansa sosial ekonominya. Beberapa contoh yang bisa disebut: untuk menghadap Allah dengan pakaian terbaik perlu biaya, begitu juga dengan zakat yang mengharuskan kemampuan ekonomi, dan yang terakhir berhaji, harus punya kemampuan finansial berlebih untuk menunaikannya. Melengkapi argumen ini, saya mengutip ayat al-Qur’an surah al-Qashash 77: “...dan jangan kamu lupakan bagianmu di dunia..” tidak lupa, saya tambahkan pendapat dari tafsir Al-Munir karya Syaikh Nawawi Al-Bantani yang menyatakan maksud potongan ayat itu, adalah untuk ambil bagian dalam kehidupan dunia sebagai pemenuhan atas kebutuhan sehari-sehari. Dan harus diingat, bahwa muara dari usaha memperoleh dunia adalah untuk tujuan akhirat semata. Singkatnya, dunia baik, akhirat juga baik. Seperti kandungan doa sapu jagat yang biasa kita baca saat menutup doa. Menjadi muslim berarti berusaha menjadi baik dengan kemandirian.
Agar narasi tentang muslim mandiri ini menjadi semakin nyata dan jelas, saya bercerita tentang sejarah pendirian Masjid Shiratal Mustaqim yang disebut sebagai mesjid yang pertama kali berdiri di Samarinda. Pendirian masjid ini secara historis tidak terlepas dari peran besar Sayyid Abdurrahman dari Pontianak. Tokoh ini mula-mula datang sebagai pedagang sekaligus ulama. Dengan ketaatannya pada agama serta kemandirian secara ekonomi, Ia kemudian diberi gelar Pangeran Bendahara oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Atas ilmu agama, ketaatan dan kemapanannya disertai kepeduliannya pada situasi yang terjadi, Ia kemudian menginisiasi pembangunan masjid bersama para tokoh dan masyarakat Samarinda Seberang pada tahun 1881. Hal ini seharusnya menjadi inspirasi pergerakan membangun kemandirian ekonomi yang juga berarti membuka lebar kesempatan memperluas pengaruh agama di tengah-tengah masyarakat yang ditandai dengan mendirikan masjid.
Efek lanjutan dari masjid itu kemudian, adalah tumbuhnya aktivitas ekonomi. Ada banyak sekali contohnya di Indonesia. Namun saya ambil dua saja, setidaknya itu yang pernah saya kunjungi, yaitu: Pasar Ampel Surabaya dan Pasar Pagi Samarinda. Dua pasar ini berdampingan dengan dua mesjid besar, masjid Sunan Ampel dan Masjid Raya Darussalam Samarinda. Yang saya tahu, pembangunan Masjid Raya Darussalam ini diprakarsai oleh saudagar Banjar dan Bugis. Tentu saja Masjid Sunan Ampel-pun demikian. Punya sejarah besar yang melatarinya. Yang ingin saya tekankan adalah soal hubungan antara masjid dan pasar.
Tugas orang-orang yang mandiri secara ekonomi dan kepeduliannya sudah dipapar. Citra itu sangatlah ideal. Tugas bagi kita selanjutnya adalah merealisasikan idealitas itu. Supaya ada spiritualitas di tengah pasar, ada semangat pembangunan ekonomi di masjid. Dari mana memulainya?. Dari pemuda masjid. [MJ]
Gambar: Pesona Wisata Indonesia
Gambar: Pesona Wisata Indonesia
Komentar
Posting Komentar