PATRIOTISME SYAIKH ‘ABDUS SHAMAD PALEMBANG
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Tiga abad lebih yang lalu, saat Indonesia masih dikenal dengan nama Jazirat Al-Jawah (Nusantara) terlahir ulama bernama Sayyid ‘Abdus Shamad bin ‘Abdurrahman (Al-Falimbani). Dalam catatan sejarah Mohammad Hasan bin Tok Kerani Mohammad Arsyad melalui Tarikh Salasilah Negeri Kedah, Syaikh ‘Abdus Shamad lahir di Palembang sekitar tiga atau empat tahun setelah 1112 H/ 1700 M ber-ibu Radin Ranti asli Palembang dan ayah bernama lengkap Syaikh ‘Abdul Jalil bin Syaikh ‘Abdul Wahab, seorang Mufti Kedah berdarah Yaman ( Chatib Quzwain: 1985, 9-10).
Dalam literatur Arab, Al-Baythar, Al-Falimbani digambarkan sebagai ulama berdedikasi tinggi yang wafat pada 1203 H/ 1789 M setelah menyempurnakan karya monumentalnya Sayr Al-Salikin (Azyumardi Azra: 2004, 114). Berkaitan dengan ini, data hasi studi filologis tentang karya-karya Al-Falimbani memberikan penjelasan tambahan tentang jumlah karya intelektual Al-Falimbani, diantaranya: Al-‘Urwah Al-Wutsqa Wa Silsilat Ulil Iltiqa Al-Sayyid Syaikh Muhammad Samman; Ratib ‘Abdus Shamad Al-Falimbani; Nasihat Al-Muslimin wa Tadzkirat Al-Mu’minin fi Fadha’il Al-Jihad Fi Sabilillah wa Karamat Al-Mujahidin fi Sabilillah; Anis Al-Muttaqin; Al-Risalah fi Kayfiyati Al-Ratib fi Laylat Al-Jumu’ah; Mulhiq fi Bayani Fawa’idh Al-Nafi’ah Li Al-Jihad fi Sabilillah, Mulkhish Al-Tuhbat Al-Mafdhah min Al-Rahmah Al-Mahdhah ‘Alayh Al-Shalatu wa Al-Salam; Tuhfah Al-Raghibin fi Bayani Haqiqat Iman Al-Mu’minin wa Ma Yufsiduhu fi Riddatil Muridin; Kitab Al-Mi’raj; Zahrat Al-Murid fi Bayani Kalimat Al-Tauhid; Hidayat Al-Salikin fi Suluk Al-Maslak AL-Muttaqin; Al-Risalah fi Bayan Al-Asbab Alladzi Harrama Biha Al-Nikah; Al-Syi’r ‘an Falah Al-Kidah. (Ahmad Lutfi: 2009, 12-13).
Data-data tersebut kemudian dipertegas oleh sebuah kitab manaqib (sejarah hidup) Faydh Al-Ihsan wa Midad Li Al-Rabbani yang menggambarkan kecerdasan masa kecil Al-Falimbani dibawah asuhan gurunya, Sayyid Hasan bin Umar Idrus. Disebutkan dalam kitab itu: “Dan setengah daripada yang dianugerahi ia akan daku oleh Allah Ta’ala dengan dia bahwa memudahkan atasku mengaji Quran pada tajwidnya di dalam semudah-mudah masa daripada zaman itu dengan tiada bersusah-susah...menganugerahi Allah Ta’ala akan daku dengan dia daripada paham dan hafizh yang telah” (Mal An Abdullah: 2012, 27-29). Dari data ini, tersimpul kesan mendalam tentang intelektualisme Al-Falimbani, berurat berakar semenjak kecil, di negeri kelahiranya, Palembang. Modal intelektual inilah yang kemudian mengantarkannya untuk melanjutkan studi ilmiah dari pondok ke pondok, hingga puncaknya ke Haramain. Oleh karenanyalah, sungguh tidak mengherankan penguasaan Al-Falimbani dalam hal pengetahuan agama beragam disiplin ilmu, meliputi bidang tasawuf, hadis, fikih, tafsir dan teologi, seperti tergambar dari karya-karya yang berhasil ditulisnya.
Sketsa biografis Al-Falimbani di atas menjadi starting point yang memberikan deskripsi historis sekaligus keteladanan tentang keberhasilan ulama dalam meciptakan “multiplier effects” atau pemicu bagi capaian-capaian lain yang memberikan pengaruh besar. Sebuah prestasi intelektual yang muncul dari halusnya budi dan cahaya ilmu, bukan dari kejamnya marah dan dendam, seperti terjadi pada sementara masyarakat dan elit hari ini.
Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang dan Semangat Rekonsiliatif
Dalam kasus Sumatera Abad 17, satu catatan sejarah Islam sebelum masa Al-Falimbani tentang kelompok yang saling berseteru tentang konsepsi wujudiyyah (Kesatuan wujud antara Tuhan dan Manusia). Perdebatan pelik pun terjadi antar ulama, dan atas dasar alasan “teologis”, maka diambillah kebijakan politis untuk memberangus ajaran tersebut karena dianggap bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu, para pengikut ajaran ini, dihukumi kafir dan halal dibunuh selama ia belum bertaubat. Fakta lain menunjukkan bahwa ada banyak kitab-kitab berkaitan tentang konsep Wujudiyyah yang dibakar (Sri Mulyati: 2006, 91-92).
Melihat situasi dan pertentangan ahli fikih terhadap kaum sufi pada masa-masa sebelumnya, menjadi inspirasi bagi Al-Falimbani untuk membuat karya-karya penting di bidang hukum tanpa meninggalkan nafas sufistiknya. Hal ini jelas sekali terlihat dalam banyak karyanya seperti yang sudah disebutkan di awal tulisan ini. Semangat rekonsiliatif dengan menulis karya-karya hukum bernuansa tasawuf, sebagaimana menurut A.H. Johns (2006) dan Goldziher (1955), adalah merupakan suatu sikap untuk menghindari konfrontasi dari ulama-ulama formalistik (Fuqaha). Semangat rekonsiliatif Al-Falimbani bermuara pada ilmu dan akhlak sehingga ia berhasil mencapai dua hal sekaligus: melancarkan ajaran fikih-sufistik sekaligus menghindarkan konflik antar ulama. Untuk tujuan ini, dengan jelas Ia sampaikan di dalam kitabnya Sayr Al-salikin perkataan Imam Malik: “ Barangsiapa menuntut ilmu tasawuf dan tiada ia mengetahui ilmu fikih yang fardhu ‘ayn itu maka sesungguhnya ia zindiq, dan barang siapa yang menuntut ilmu fikih dan tiada menuntut ilmu tasawuf, maka sesungguhnya ia fasik, dan barangsiapa yang menghimpunkan keduanya, maka ia menjadi ulama yang muhaqqiq.”
Yang Gugur di Medan Perang
Menjadi guru bagi ulama-ulama Nusantara di Haramain, menguasai banyak disiplin ilmu agama telah mengantarkannya sebagai tokoh kosmopolit pada jaringan ulama Nusantara. Tingginya ilmu dan kedudukan tidak pernah membuatnya lupa pada tanah airnya. Dalam banyak kesempatan Al-Falimbani melakukan korespondensi degan para ulama dan sultan di tanah air melalui para jama’ah haji asal Nusantara. Berkaitan dengan ini, P. Voorhoeve (1976) menilai hubungan Al-Falimbani dengan Nusantara (native country) merupakan usahanya agar tidak hilang kontak, sekaligus memberikan pengaruh-pengaruh penting di Nusantara.
Berdasarkan data yang saya peroleh, setidaknya ada dua pengaruh besar dari korespondensi (termasuk) karya yang ditulisnya. Pertama adalah, seruan perlawanan Al-Falimbani kepada Mangkunegara yang saat itu merupakan raja Solo, tentu merupakan sebuah dukungan anti kolonial terhadap kerajaan di Nusantara pada ahun 1770 (Michael Francis Laffan: 2003, 27). Kedua, sebuah karya fenomenal berbahasa Arab dengan judul Nashihat Al-Muslimin wa Tadzkirat Al-Mu’minin fi Fadha’il Al-Jihad fi Sabilillah yang persebarannya berhasil membakar semangat jihad Muslimin Nusantara untuk melawan Belanda. Berkenaan dengan ini, Asrina (2007) mengungkapkan: “mengenai kolonialisme Barat, al-Falimbani menulis kitab Nashihat Al-Muslimin wa Tadzkirat Al-Mu’minin fi Fadha’il Al-Jihad fi Sabilillah, dalam bahasa Arab, untuk menggugah semangat jihad umat Islam sedunia. Tulisannya ini sangan berpengaruh pada perjuangan kaum Muslimun dalam penjajahan melawan Belanda, baik di Palembang maupun di daerah-daerah lainnya. Hikayat Perang Sabil-nya Tengku Cik Di Tiro dikabarkan juga mengutip kitab tersebut.”
Kitab Fadha’il Al-Jihad (NMTM) yang dikarangnya itu memuat makna-makna alternatif dari jihad, sekaligus semangat etik yang terkandung di dalamnya. Dari kurang lebih 27 ayat Al-Qur’an yang dikutip Al-Falimbani, memuat beberapa bangunan makna, diantaranya: Jihad melalui harta, perlawanan atas penindasan dan tidak memerangi sebelum diperangi. Lebih lanjut Al-Falimbani membingkai makna jihad itu dengan menggunakan semangat tasawuf akhlaqi, sabar atas kepedihan dalam ketaatan.
Tidak hanya melalui mimbar-mimbar ilmu, Al-Falimbani pula menyebarkan ide serta pengaruhnya dengan turun langsung berjuang di medan laga. Diceritakan dalam Tarikh Salasilah Negeri Kedah bahwa Al-Falimbani pernah datang dari Mekah ke Kedah mengunjungi saudaranya Mufti’Abd al-Qadir. Pada saat itu kota Koala (kini: kota Kuala Muda) yang sedang diduduki pasukan Siam (Thailand). Dalam keadaan tersebut, Al-Falimbani kemudian ikut serta dalam perundingan para pemimpin negeri dan membentuk pasukan pembebasan. Berdasarkan sumber tersebut pula, bahwa kejadian itu terjadi di Haah Yai, dalam wilayah kekuasaan Siam (Songkhla – Kedah Utara). Cerita ulama patriotik berakhir di peperangan ini, Al-Falimbani, tokoh neosufisme abad 18 dilaporkan terbunuh dalam perjuangan mempertahankan Nusantara.
Melalui data ini dapat dipastikan Al-Falimbani merupakan ulama sekaligus pemikir massa yang memberikan dampak langsung bagi perjuangan kemerdekaan Nusantara abad 18. Aktivismenya mengesankan pada satu hal yang saling berpilin kelindan: mengembangkan ilmu dalam jihad membangun agama, mencipta persatuan, mempertahankan tanah air. Sebuah pergerakan yang memiliki efek domino, bagi perkembangan ilmu, agama dan kebangsaan secara bersamaan. Pencapaian ini tentulah tidak lahir dari emosi dan amarah yang cenderung menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah-masalah lainnya. Fakta historis ini adalah satu pelajaran penting bagi bangsa Indonesia bahwa keluasan dan kemapanan ilmu, kekokohan iman dan cinta tanah air dalam menyelesaikan setiap permasalahan kebangsaan adalah jalan terbaik yang harus ditempuh.
Semangat Syaikh Abdus Shamad (untuk) Indonesia
Al-Falimbani dengan apa yang telah diperjuangkannya bagi Nusantara adalah penggambaran utuh tentang berfungsinya ilmu dan nilai-nilai etik dalam setiap tindakan. Semangat perjuangan Al-Falimbani menjadi model utama yang dibutuhkan negeri ini, sebuah pendekatan holistik dan tidak parsial. Bagi Al-Falimbani, membela agama berarti memperjuangkan banyak hal, termasuk di dalamnya menciptakan persatuan, menyudahi kolonialisme, mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyebarkannya melalui karya-karya.
Parade pertentangan, dendam dan amarah yang diwartakan media akhir-akhir ini membuat sebagian anak bangsa saling menyalahkan. Hilangnya persatuan, persaudaraan dan disintegrasi adalah ekses negatif yang bukan tidak mungkin akan terjadi. Keadaan demikian diperparah dengan isu ekonomi, kedaulatan kebangsaan yang terancam di tengah arus global yang mengancam. Dalam situasi sulit ini, maka emosi tidak akan pernah benar-benar menyelesaikan masalah. Untuk itulah maka ide moral Al-Falimbani yang mewujud dalam keislaman, keilmuan, keindonesiaan adalah titik pijak utama mencipta rahmat bagi Indonesia dan semesta.
Gambar: republika.id
Komentar
Posting Komentar