SAMARENDAH
Bang ZulRumah Transformasi Indonesia
Bagi Masyarakat Samarinda, insiden teror di Gereja Oikumene pada 13 Maret 2016, di Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir, amat sangat memilukan, juga menginjak-injak falsafah lama tanah Banua: “mudahan tuntung pandang ruhui rahayu”, yang semakin kehilangan tuahnya dan tidak lagi menjadi azimat keramat tentang visi vertikal dan horizontal bermakna “semoga Tuhan memberi kehidupan yang langgeng, sejahtera dan harmonis.” Kesadaran masyarakat Samarinda yang saling bersatu dalam perbedaan, sesungguhnya dapat ditelusuri akar historisnya untuk menunjukkan arti penting penggambaran semangat etis masyarakat Samarinda yang telah terbangun sejak dulu. Terdapat data tentang itu, melalui situs resmi pemerintah kota Samarinda (samarindakota.go.id) tertulis bahwa pada pertengahan abad ke-17, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai menerima rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin oleh La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado), yang saat itu memohon suaka politik atas sikap mereka menolak perjanjian Bongaya (Perjanjian Kerajaan Gowa dan VOC Belanda) setelah mereka kalah dari serangan Belanda. Hijrah kelompok Bugis Wajo ke Tanah Kutai ini diterima dengan baik oleh Raja saat itu, atas kesepakatan untuk bersedia membantu segala kepentingan Kerajaan Kutai.
Dalam suasana saling bersepakat itulah, Raja Kutai
berinisiatif membentuk sebuah perkampungan di tanah rendah, sebagai benteng
pertahanan dari serangan bajak laut Filipina yang seringkali melakukan
perampokan di wilayah pantai Kerajaan Kutai, sekaligus menjadi kampung baru
bagi Pua Ado dan pengikutnya asal tanah Sulawesi dengan nama “Samarendah,”
sebuah kampung yang secara geografis berada di dataran rendah; (juga bermakna) persamaan
derajat bagi penduduk asli dan pendatang, antara Kutai, Bugis, Banjar dan suku-suku
lainnya. Istilah “Samarendah” inilah yang lama-kelamaan menjadi sebuah lafal
melodius: “Samarinda.” Sebutan bagi Kota di tepian Sungai Mahakam, yang sebab-musababnya bermula pada sejarah
penting dan telah berhasil menancapkan pilar-pilar egaliter, terbuka,
toleransi, tolong menolong dalam semangat Kayuh baimbay (Mengayuh
bersama-sama).
Fakta tentang teror minggu lalu, tentu saja menjadi
anomali yang terjadi di Kota bermotto Tepian (Teduh, Rapi, Indah, Aman dan
Nyaman) ini di tengah bangunan sejarah yang sangat ideal itu. Adanya disparitas
antara idealitas sejarah dengan realitas yang terjadi merupakan tanda tanya
yang harus dijelaskan. Untuk kepentingan itu, maka agama dan sejarah lokal
menjadi core dalam tulisan ini.
Narasi Agama tentang Penistaan Agama
Untuk mempermudah dalam mengurai makna pada kasus “Teror
Bom Molotov di Gereja Oikumene,” nampaknya teori semiotika Barthes tentang
“Tatanan Pertandaan (Order of Signification)” tentang makna denotasi, konotasi
dan mitos mampu menguraikan banyak hal
dibalik peristiwa tersebut. Secara sederhana, Denotasi adalah makna harfiah,
sebuah fenomena yang tampak dengan panca indera; sedang konotasi adalah operasi
ideologi; dan mitos sebagai sebuah term yang difungsikan untuk mengungkapkan
dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang beraku dalam suatu
periode tertentu. (Alex Sobur, 2006: 71).
Secara denotasi atau makna harfiah, “teror”
berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah tindakan menciptakan
ketakutan, kengerian dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. Dengan
memerhatikan insiden teror di Gereja Oikumene, maka dapat dikatakan bahwa
sekelompok orang berusaha untuk menciptakan ketakutan bagi jemaat gereja
Oikumene yang berada di Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir,
Samarinda Seberang. Di luar makna denotasinya,
“Teror Bom” jika dilihat dari makna konotasinya adalah tindakan yang
dilakukan oleh teroris untuk menandai eksistensinya yang superior dan mengancam
di hadapan sebuah kelompok agama yang dilindungi kebebasan beribadahnya oleh
negara.
Dua pemaknaan di atas, tentu saja memunculkan
pandangan yang beragam bagi siapapun, bahkan dalam simbol-simbol yang lebih
jelas dan konkret, bahwa teror bom Gereja Oikumene adalah sebuah usaha
membenturkan agama, antara Islam dan Kristen. Ketegangan antara Islam dan
Kristen adalah targetnya dengan menciptakan konflik terlebih dahulu, mengingat
objek peledakan bom adalah simbol agama yang disucikan pemeluknya. Lagi-lagi
Islam menjadi kambing hitam setelah terlihat bahwa pelaku teror, (Seseorang
yang mengenakan kaos bertuliskan “Jihad”), sebuah terminologi Islam yang
dipahami dengan kedangkalan berfikir dengan cara meneror. Fakta itu jelas
menyiratkan sebuah maksud dan tujuan, antara lain: mengatasnamakan agama
tertentu (untuk) melakukan tindakan “penghinaan” simbol agama lain, serta menodai
kebebasan beribadah yang sebenarnya dilindungi oleh undang-undang Negara. Untuk
meluruskan itu, sumber keagamaan Islam sepatutnya dilibatkan untuk menjelaskan
makna-makna hakikat, nilai dan norma-norma.
Kata kunci penting untuk mulai mendiskusikan kasus ini
adalah “penghinaan,” sebuah makna lain yang mau tidak mau telah dipersepsikan
oleh banyak orang. Kata kunci inilah yang digunakan untuk merujuk teks
Al-Qur’an dan penjelasan-penjelasan yang terkait. Tulisan ini, berada di luar
pembahasan “Jihad” yang diterjemahkan sebagai sebuah tindakan bersifat ancaman
yang dimaknai sebagai oleh sekelompok orang dan telah banyak dibahas dan
didiskusikan oleh ilmuan dan para ahli.
Patut diingat bahwa kasus teror pada (13/11/2016)
meledak di tempat ibadah yang amat sangat suci bagi pemeluknya. Untuk meruntuhkan
amarah, menghilang-redamkan kecurigaan dan prasangka, maka setiap kita
sesungguhnya berkepentingan untuk menolak siapapun yang menggunakan agama
sebagai alasan “menghinakan” simbol-simbol (termasuk teror). Bagaimanapun,
berdasarkan ilmu dan kesadaran beragama, ia sama sekali tidak mewakili agama
apapun bahkan bertolak belakang dari ajaran-ajaran agama.
Islam memandang penting relasi antar agama untuk tidak
saling menghinakan simbol-simbol agama lain, bahkan Tuhan sesembahan agama
lain. Mandat itu termaktub jelas dalam kalam Tuhan surah Al-An’am (6): 108: “Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena
mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan.”
Ayat ini dijelaskan dengan begitu sejuk oleh Ibnu ‘Ajibah
dalam karya Tafsir monumentalnya Al-Bahrul Madid fi Tafsir Al-Qur’an
Al-Majid, menurutnya menghinakan simbol agama (sesembahan) agama lain hanya
akan memunculkan pertentangan dan pembalasan yang tidak
didasarkan pada rasionalitas. Ayat ini turun sebagai larangan Allah agar tidak
menghinakan Tuhan agama lain. Bahkan ayat ini menjadi contoh bagi suatu metode
penggalian hukum di kalangan Malikiyah (Mazhab Imam Malik) untuk meninggalkan
sesuatu yang (mungkin) boleh, namun berpotensi menimbulkan keburukan lainnya sebagai
sesuatu yang harus ditinggalkan (Sadd al-Dzara’i).
Setiap manusia, atas apa yang dilakukannya, baik dan buruknya, adalah aktivisme historis
yang akan dipertanggungjwabkannya sendiri dihadapan Tuhan-Nya. Melengkapi
penafsirannya, Ibnu ‘Ajibah menuliskan sebuah isyarat bahwa al-‘Arif
al-Kamil (Orang yang mengenal Tuhan) tidaklah akan menghinakan segala
ciptaan Allah (termasuk makhluk) dan apa yang telah ditakdirkan-Nya dengan
mengedepankan moral terhadap segala wujud dengan kelebihan-kelebihan yang
dimilikinya. Rasul Muhammadpun menegaskan dalam Hadisnya: “Allah melaknat
orang-orang yang menghinakan kedua orang tuanya, Sahabat bertanya: Siapakah
yang menghinakan kedua orang tua itu wahai Rasulullah?, dia yang menghina ayah orang lain sehingga orang
itupun menghina ayahnya, dan dia memaki ibu orang lain sehingga orang itupun
memaki ibunya.” Riwayat ini secara normatif memberikan penegasan bahwa Islam hormat atas
hak-hak privat dan simbol suci agama lain, (bahkan juga) nilai-nilai
kemanusiaan. Sedang, Teror adalah sebuah penyelewengan nilai-nilai agama yang
ideal.
‘Ibrah Sejarah:
Kita yang Bersahabat
Dituliskan dalam sebuah kitab
Arab-Melayu berjudul Syajarah al-Arsyadiyyah wa Ma Ulhiqa Biha yang
ditulis oleh ulama kenamaan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq, bahwa Tiga abad lalu,
seorang ‘ulama asal Kalimantan, Syaikh Arsyad Al-Banjari bersama sahabat-sahabat
seperguruannya (Syaikh ‘Abdus Shamad Palembang, Syaikh ‘Abdurrahman Betawi,
Syaikh dan Abdul Wahab Bugis) menuntut ilmu di Haramain. Dikabarkan bahwa,
salah satu guru “empat serangkai” ini, Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi menyarankan
Syaikh Arsyad dan sahabat-sahabatnya untuk segera pulang mengajarkan Islam di
Nusantara setelah 30 tahun lamanya belajar di Haramain. Setibanya empat
serangkai di Batavia, menetaplah mereka selama dua bulan sebelum kembali ke
daerah masing-masing, diceritakan bahwa empat serangkai ini melakukan
perbincangan (mudzakarah) dan sharing perspektif (munazharah)
perihal ilmu yang melibatkan para ‘Ulama, Pendeta Nasrani, Jenderal dan
Anak Negeri. Digambarkan dalam perkumpulan itu sebagai perkumpulan dengan
suasana yang saling berkasih dengan ikhlas, hormat menghormati, dan saling
memberikan hadiah sesama mereka. (‘Abdurrahman Shiddiq, 1937: 6-7). Sebuah data
sejarah yang menyejukkan, representasi semangat berkolaborasi dengan beragam
orang yang berbeda-beda secara keyakinan, etnis dan status sosial.
Catatan kisah perjalanan di atas merupakan representasi ideal tentang hubungan sosial antar sesama. Jika ditarik satu garis lurus tentang ajaran sejarah dan agama, kita akan menemukan momentumnya pada satu titik yang koheren, yaitu sejarah Samarinda yang egaliter, terbuka pada dialog dan kerjasama didukung narasi agama mencerahkan adalah titik pijak kita untuk meyakinkan diri kita bahwa berbeda adalah sunnatullah (hukum Allah) yang harus dijunjung tinggi, tidak hanya sebagai perbuatan yang dinilai baik, tetapi juga merupakan bentuk ibadah yang berdimensi sosial yang akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Tuhan.
Teror Gereja Oikumene Samarinda menyisakan luka dan darah. Hilangkan curiga dan prasangka, teror ini diluar garis ajaran agama-agama apapun. Teror ini adalah kecelakaan sejarah bagi masyarakat Samarinda dan Indonesia. Luka yang kita tanggung bersama ini adalah momen penting untuk menciptakan citra kehidupan yang lebih baik dan meneguhkan identitas dan karakter luhur, sebagai masyarakat Samarinda, Indonesia juga dunia yang menjadi rahmat bagi semesta alam.
Komentar
Posting Komentar