SYAIKH ‘ABDURRAHMAN SHIDDIQ: DAKWAH DALAM KONTESTASI NIAGA


 Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia  

Untuk memahami realitas Nusantara, Antropolog Perancis, Denys Lombard merasa perlu untuk mengkaji tiga kenyataan sosial yang disebutnya sebagai tiga kesatuan otonom: gugusan Barat, gugusan jaringan perniagaan Asia dan gugusan kerajaan agraris tradisional. Menurutnya, Ketiga gugusan tersebut memiliki rentang historis yang berbeda-beda, dan hanya dapat dipisahkan untuk tujuan analitis, karena dalam kenyataannya sudah lebih dari dua abad ketiganya bertautan erat satu sama lain. Dua bagian terakhir, jaringan perniagaan Asia dan kerajaan agraris tradisional akan menjadi titik pijak di dalam tulisan ini untuk mengkonfirmasi ataupun memberikan bukti-bukti tambahan yang mempertegas teori Lombard. Oleh karena itulah, dalam tulisan ini, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq menjadi tema pokok ulasan, sebagai bahan untuk mendedah fakta-fakta historis tentang strategi dakwah yang dikembangkannya di Sapat, Indragiri, Riau. Sebuah wilayah bandar yang ramai dikunjungi pedagang lintas negara. Data-data yang bersifat umum mengenai kesejarahan tokoh dikutip melalui beberapa buku, diantaranya Menapak Jejak Ulama Aswaja NusantaraInspirasi Hidup Kaffah 999 Penjaga Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah dari Zaman Walisongo hingga Indonesia Modern yang diterbitkan oleh Pustaka Pesantren, Yogyakarta pada tahun 2011 yang disusun oleh Mastuki, Ahmad Fikri, dkk; Ensiklopedia Islam (1997). Selain data primer berupa catatan silsilah Risalah Syajarah al-Arsyadiyyah wa ma Ulhiqa biha karya Syaikh Abdurrahman Shiddiq yang diterbitkan di Singapura pada tahun 1356 H. Untuk melengkapinya, tulisan ini pula memuat data-data hasil penelitian dari berbagai jurnal ilmiah yang berkaitan dengan tokoh, tempat dan konteks historis.   

Secara biografis, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq adalah cicit dari Syaikh Arsyad Al-Banjari. Ulama penting Nusantara abad 18 dari Banjar, Kalimantan Selatan. Ayahnya bernama Muhammad Afif bin Kadhi H. Mahmud, sedang ibunya adalah Shafura yang merupakan cucu Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Dilihat dari pertalian nasabnya, Syaikh ‘Abdurrahman merupakan keturunan bangsawan, sekaligus ulama-ulama Banjar. Ia lahir di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan pada tahun 1857 M. Pendidikannya dimulai dari Pesantren Dalam Pagar Martapura yang diasuh oleh Haji ‘Abdus Shamad. Selanjutnya, secara privat Ia berguru kepada pamannya sendiri bernama ‘Abdurrahman muda yang sangat mahir dalam bidang Bahasa Arab. Atas saran pamannya, Syaikh ‘Abdurrahman kemudian belajar lagi secara tertib kepada Syaikh Said Wali, ulama terkemuka di Martapura selama empat tahun. Dari proses mendaras yang intensif dan dibawah bimbingan guru yang berdedikasi inilah, ‘Abdurrahman muda mampu membaca dan memahami kitab kuning.

Barulah setelah itu, ‘Abdurrahman Shiddiq menuntut ilmu ke Mekkah pada tahun 1889 M, dari hasil penelitian lain ada kemungkinan, Ia pergi ke Mekkah pada tahun 1882/1883 M. Di Mekkah Abdurrahman Shiddiq mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dengan ulama-ulama terkemuka, baik di Masjidil Haram maupun di luar mesjid. Di antara gurunya yang banyak memberikan motivasi dan bimbingan adalah Syaikh Sayyid Bakri al-Shata' dan Syaikh Said Babasyid. Selain itu, ‘Abdurrahman juga berguru kepada ulama asal Nusantara, seperti: Syekh Nawawi al-Bantani dan Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Adapun teman-teman seangkatannya saat itu adalah: ‘Abdul Qadir al-Mandaili, Syaikh Umar Sumbawa, Awang Kenali Kelantan, Syaikh Hasyim Asy’ari Jombang, Syaikh Jamil Jaho Minangkabau, ‘Abdul Karim Amrullah Minangkabau, Syaikh Tahir Jalaluddin Minangkabau. Masa studi dilaluinya selama tujuh tahun, yaitu lima tahun di Mekkah dan dua tahun di Madinah. Di akhir masa studinya itulah, Syaikh ‘Abdurrahman mendapat gelar kehormatan “Al-Shiddiq” dari gurunya, Syaikh Sayyid Bakri Syatha. Pemberian gelar ini berkait erat dengan penguasaan Abdurrahman Shiddiq dalam ilmu-ilmu Islam yang ditekuninya serta akhlaknya yang terpuji.

Migrasi, Pengabdian dan Karya

Oleh karena kesadaran atas kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap pengajaran keislaman, Syaikh ‘Abdurrahman merasa harus kembali ke tanah air setelah setahun mengajar di Mekah. Kepercayaan pemerintah Arab Saudi, sekaligus menjadi posisi prestisius yang juga pernah diamanatkan kepada beberapa ulama Nusantara. Syaikh Ahmad Khatib yang juga merupakan guru Syaikh ‘Abdurrahman, adalah salah satu yang pernah mendapatkan amanat itu.

Di tanah air, tidak sedikit jabatan-jabatan penting yang ditawarkan kepadanya. Suatu waktu, Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq menemui gurunya Syaikh Ahmad Khatib yang akan kembali ke Mekah. Pada kesempatan tersebut pulalah Syaikh ‘Abdurrahman bertemu dengan Sayyid ‘Utsman, seorang Mufti Batavia yang pernah dikecam oleh oleh Ahmad Khatib karena fatwa-fatwanya yang terlalu berkompromi dengan Pemerintah Belanda. Pada saat itu pula, Syaikh ‘Abdurrahman diminta oleh Sayyid ‘Utsman untuk menggantikan kedudukannya sebagai Mufti di Batavia, akan tetapi ditolaknya. Itu bukan kali pertama, Ia menolak sebuah jabatan penting. Di kawasan Nusantara lainnya, Syaikh ‘Abdurrahman juga pernah ditawari untuk menjadi mufti di Kerajaan Johor pada tahun 1911 M saat beliau berkunjung ke Semenanjung Melayu, lagi-lagi beliau menolaknya. Bahkan, sekitar tahun 1907, ketika Ia berkesempatan bertemu tokoh Sarekat Islam untuk bertukar pikiran tentang pergerakan dan perjuangan melawan Hindia Belanda, Syaikh ‘Abdurrahman mendapat tawaran untuk mengembangkan Sarekat Islam (SI) di luar Jawa, namun lagi-lagi, ajakan ini ditolaknya. Penolakan ini tentu saja sangat beralasan, Ia merasa lebih tertarik mengembangkan dakwah dan pendidikan dibanding terlibat langsung dalam gerakan politik.

Untuk alasan-alasan itulah, langkah Syaikh ‘Abdurrahman berlabuh di Bangka dan dan Indragiri. Memang Ia sempat bermukim di Martapura yang merupakan kampung asalnya. Di kota ini, keulamaannya diperhitungkan, pendapat-pendapatnya dipertimbangkan. Namun, di kota ini Ia tidak lama, hanya sekitar 8 bulan. Ia menyusul ayah dan keluarganya yang bermigrasi dari Martapura ke Bangka pada awal paruh kedua abad ke 19 M. Migrasi yang sebenarnya terjadi sebagai dampak perang Banjar yang memberikan pengaruh buruk terhadap kondisi politik, sosial, ekonomi dan budaya. Berlangsungya perang Banjar benar-benar mengganggu perekonomian masyarakat, sebagai contoh: ekspor kain katun dari Amuntai yang semula sangat menguntungkan, lambat laun merosot, bahkan dinyatakan berhenti pada tahun 1858. Kondisi ini semakin diperparah dengan kebijakan belasting (pajak) dan kerja rodi yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda. Salah satu alasan inilah kiranya yang menjadi sebab migrasi orang-orang Banjar ke Sumatera (Edi Susrianto Indra Putra, 2011).

Hijrah orang-orang Banjar ke Sumatera itulah yang kemudian menjadi titik awal perjumpaan orang-orang Banjar dengan masyarakat Melayu Riau. Temuan Edi Susrianto Indra Putra, dalam sebuah penelitian berjudul “Elan Vital Orang Banjar di Perantauan: Studi Kasus Migrasi dan Adaptasi Orang Banjar di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau” menemukan bahwa adaptasi orang Banjar di daerah tujuan dilakukan dengan cara bertamu, berteman, melakukan kegiatan sosial dan keagamaan. Pola komunikatif semacam inilah yang menjadi modal sosial di titik-titik migrasi orang Banjar di Sumatera. Indragiri sesungguhnya bukan satu-satunya tujuan. Kuala Tungkal, Tembilahan, Selangor, Batu Pahat, Johor dan beberapa daerah di semananjung Melayu adalah daerah-daerah lain yang menjadi tujuan migrasi atau hanya sebagai daerah transit perantau dari Banjar. Sebuah model migrasi yang dikenal dengan istilah leaping frog (lompatan katak). Dalam arus migrasi tersebutlah, keluarga Syaikh ‘Abdurrahman merupakan satu dari sekian banyak keluarga Banjar yang turut berpindah ke Sumatera.

Syaikh ‘Abdurrahman tercatat pernah bermukim di Bangka untuk mengembangkan ilmunya, berdakwah sembari menulis kitab sebelum menetap di Indragiri dan menjadi mufti kerajaan selama 27 tahun. Pengabdian keulamaan yang menandai reputasi dan produktivitas keilmuan yang dimilikinya. Sedikitnya, ada 14 karya untuk mengkonfirmasi itu, antara lain: Fath al-‘Alim fi Tartib al-Ta’lim  berisi tentang tuntunan bagi orang-orang yang akan menuntut ilmu, selesai ditulis pada 10 sya’ban 1324 H; Risalah fi ‘Amal Ma’rifat, berisi tentang ajaran-ajaran tasawuf, selesai ditulis pada tahun 1333 H; Risalah fi ‘Aqa’id al-Iman, berisi tentang ilmu Akidah dan ilmu Kalam, selesai ditulis 16 Rabi’ul Awwal 1334; Sya’ir ‘Ibrah wa Khabar Qiyamah, berisi tentang nasihat-nasihat Akhlak, ditulis dalam huruf Melayu, tidak ada kejelasan tentang kapan selesai ditulis; Asrar al-Salak fi ‘iddat al-kutub wa al-Mu’tabarat, berisi tentang fiqh ibadah, di cetak di Percetakan Ahmadiyah, Singapura, tahun 1349 H /1931 M dalam Bahasa Arab Melayu; Kitab fara’idh : selesai 10 Muharram 1338 H, dicetak oleh Percetakan Ahmadiyah 1338 H; Majmu’ al-Ayat wa al-Hadits fi Fadha’il al-‘Ilm wa al-‘Ulama’ wa al-Muta’allimin wa al-Mustami’in, berupa kumpulan ayat-ayat juga hadits Rasulullah tentang keutamaan menuntut Ilmu, selesai 10 Dzulhijjah 1345 H, dicetak oleh Percetakan Ahmadiyah, Singapura, tahun 1346 H /1927 M; Mauizhah li Nafsi wa Li Amtsal min al-Ikhwan, berisi tentang kumpulan catatan dakwah dan nasihat-nasihat, dicetak di Singapura tahun 1355 H; Tazkiyah li Nafsi wa li Amtsal: tentang kumpulan catatan dakwah dan nasihat-nasihat, dicetak di Singapura tahun 1355 H; Bay' al-Haywa Lil-Kafirin: tentang ilmu Fiqh Mu’amalah (perdagangan), dicetak di Singapura tahun 1335 H; Risalah Syajarah Al-Arsyadiyyah wa Ma Ulhiqa Biha : berisi tentang sejarah dan silsilah keluarga Syaikh Arsyad Al-Banjari, selesai ditulis tahun 12 Syawal 1350 H, dicetak tahun 1356 H; Sejarah Perkembangan Islam di Kerajaan Banjar, Kalimantan Selatan, merupakan salah satu bab pada kitab Risalah Syajarah Al-Arsyadiyyah wa Ma Ulhiqa Biha; Kumpulan Khutbah, kumpulan khutbah Syaikh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ditulis oleh Abdurrahman dalam Bahasa Melayu, dicetak di Singapura tahun 1933 M; Risalah Ta’limat Qaul Mukhtashar, berisi tentang tanda-tanda kiamat yang diambil dari hadits Nabi Muhammad Saw serta ungkapan-ungkapan ‘Ulama terdahulu, dicetak di Singapura tahun 1356 H.

Strategi Dakwah: Memahami Realitas dan Konteks

Abad 12, guru-guru sufi dan pedagang-pedagang Muslim yang datang dari jazirah Arab telah berhasil memperkenalkan Sunni kepada umat Islam Melayu di kawasan Asia Tenggara (Azra, 2009). Sebuah keberhasilan dakwah Islam yang cukup untuk menginspirasi dan menjadi contoh gerakan-gerakan dakwah selanjutnya. Di luar kegigihan ulama, terbentuknya jaringan dagang menjadi poin penting dalam perkembangan Islam di Nusantara. Dalam konteks Riau, terbukanya akses niaga dan membaiknya transportasi, serta terhubungnya komoditas lokal dengan pelabuhan ekspor-impor bebas di Riau semenjak 1928 telah berhasil memosisikan Indragiri sebagai daerah hinterland atau kawasan penopang yang menjadi arus perniagaan dari pedalaman menuju wilayah-wilayah pantai. Keadaan ini didukung pula dengan hubungan langsung Riau dengan Singapura sebagai pelabuhan transit internasional, sehingga tidak mengherankan daerah-daerah penghubung kota berubah wajah menjadi pemukiman dan pusat-pusat perdagangan seperti Teluk Kuantan, Rengat, Kuala Cinaku dan Tembilahan (Edi Susrianto, 2016).

Dalam kontestasi perniagaan domestik dan luar negeri yang sedang berkembang itu, kebutuhan komoditas perkebunan lokalpun meningkat. Salah satunya adalah kelapa. Sabarman Damanik dalam risetnya tentang “ Strategi Pengembangan Agribisnis Kelapa ( Cocos Nucifera) untuk Meningkatkan Pendapatan Petani di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau”  mengungkapkan bahwa kelapa menjadi komoditas pasar terbuka yang memiliki keunggulan dalam pemasaran, selain pangsa pasarnya yang juga cukup besar, baik dalam skala lokal, ataupun jaringan pasar Internasional penyuplai produk-produk kelapa (Sabarman Damanik, 2007).

Narasi ekonomi agrikultur yang sedang berkembang di Indragiri memberikan dampak tidak langsung bagi peta dan strategi dakwah di Indragiri. Alasan itulah yang kemudian mewarnai gerakan dakwah yang dikembangkan oleh Syaikh ‘Abdurrahman di Indragiri, tempatnya mengabdi dan mengembangkan Islam di tanah Melayu Riau. Dalam kerangka dakwah, Syaikh ‘Abdurrahman dihadapkan pada kondisi masyarakat agrikultur yang dominan. Dalam keadaan itu pulalah: sarana, cara dan metode dakwah yang digunakan harus sesuai dan tepat. Beberapa catatan tentang dakwah Syaikh ‘Abdurrahman dapat dikonfirmasi melalui riset pada Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Riau dengan judul “ Peranan Syaikh Abdurrahman Shiddiq dalam Penyebaran Agama Islam di Indragiri Hilir.” Penelitian yang ditulis oleh tiga orang peneliti, terdiri dari Isjoni, Kamaruddin dan Andres Pransiska ini dirasa cukup otoritatif, karena ditulis berdasarkan hasil wawancara langsung kepada cucu Syaikh ‘Abdurrahman, yaitu H. Badruzaman dan ulama setempat, Ustadz Daus. Di dalam penelitian ini, Syaikh ‘Abdurrahman digambarkan sebagai seorang ulama yang datang ke sapat, Indragiri pada tahun 1324 H. Data lain menunjukkan bahwa Ia datang Pada tahun 1898 M, bermula ketika Syaikh ‘Abdurrahman berkunjung ke Singapura, beliau bertemu dengan Haji Muhammad Arsyad, seorang saudagar kaya asal Banjar yang bermukim di Indragiri. Muhammad Arsyad inilah yang meminta agar Syaikh ‘Abdurrahman bersedia untuk tinggal di Indragiri sebagai pembimbing rohani.

Syaikh ‘Abdurrahman digambarkan pula sebagai ulama yang berusaha untuk mengajak masyarakat memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Semangat ini dipadukannya dengan usaha meningkatkan ekonomi masyarakat dengan cara berkebun kelapa. Disebutkan dalam tulisan tersebut, bahwa Syaikh ‘Abdurrahman tidak segan-segan masuk ke dalam hutan hingga 3 kilometer sembari mengajak masyarakat untuk membuka areal perkebunan kelapa. Usahanya berhasil, banyak masyarakat yang mengikutinya. Ajakannya tersebut berhasil mematahkan anggapan masyarakat tentang “angkernya” hutan yang selama ini diyakini masyarakat setempat. Selain itu, Syaikh ‘Abdurrahman pula mempelopori pembuatan parit induk bagi perkebunan kelapa di daerah tersebut. Sejak parit induk dibangun, perkebunan kelapa di daerah tersebut bertambah luas dan subur sehingga ramailah masyarakat berdatangan menetap di daerah tersebut. Atas dasar ide pembuatan parit itulah, daerah tersebut disebut dengan nama “Parit Hidayat” atau Parit yang merupakan petunjuk Allah.

Kontribusi Syaikh ‘Abdurrahman tidak berhenti, semula ia hanya membangun mesjid yang menjadi tempat belajar para santri. Dalam perkembangan selanjutnya, Ia membuat Madrasah yang dikenal sebagai Madrasah pertama di Indragiri. Dedikasi dan integritasnya, juga penerimaan masyarakat terhadapnya menjadi kunci keberhasilan Madrasah yang dikembangkannya. Madrasahnya tidak hanya populer di daerah Riau, tetapi juga masyhur di Singapura dan Malaysia sehingga tidak mengherankan banyak santri yang datang belajar ke Madrasah tersebut. Soal pembiayaan dan operasional Madrasah, Syaikh ‘Abdurrahman memanfaatkan dana hasil perkebunan. Data lain menyebutkan bahwa Syaikh ‘Abdurrahman sendiri memiliki 120 baris, atau sekitar 4800 batang kelapa, sehingga tidak mengherankan hasilnya mampu untuk membuat tidak kurang dari seratus pondok-pondok sebagai asrama untuk dijadikan tempat tinggal para santri di sekitar masjid dan Madrasah tanpa dipungut biaya. Satu peran sosial Syaikh ‘Abdurrahman, “bisnis” dan dakwahnya yang menyatu. Kehadirannya bahkan dianggap berhasil menciptakan keharmonisan pergaulan antar suku-suku di Indragiri dengan pendekatan sosial keagamaan yang terus didakwahkannya. Atas jasa-jasanya itulah, masyarakat setempat biasa memanggilnya dengan sebutan “Tuan Guru”. Sebuah gelar yang disematkan, tidak hanya oleh Masyarakat Riau, tetapi juga sebagian Masyarakat dimana santri-santrinya berasal: Singapura, Malaysia dan Patani di Thailand.    

Penutup

Kekuatan mamahami realitas dan konteks menjadi unsur penting dalam dakwah Syaikh ‘Abdurrahman. Kemuliaan sebagai tuan guru yang dihormati tidak menghalanginya menjadi pelopor pertanian, mengusahakan stabilitas dan peningkatan ekonomi masyarakat. Namun, pada saat yang sama tidak berhenti memproduksi narasi Islam melalui lisan, tulisan dan lembaga pendidikan yang didirikannya. Syaikh ‘Abdurrahman adalah akumulasi dari konsistensi dan persistensi dakwah yang dijalankannya. Ia Mufti, da’i sekaligus petani yang berhasil lahir dan batin. Totalitas keilmuannya diterjemahkan dalam teladan, dalam kehidupan sehari-hari dan di tengah-tengah masyarakat. Kayu besar di tengah padang, tempat bernaung kepanasan, tempat berlindung kehujanan adalah peribahasa yang sesuai untuk mendeskripsikan Syaikh ‘Abdurrahman Shiddiq Al-Banjari yang berpulang pada 4 sya'ban 1358 H atau bertepatan dengan 10 Maret 1939 M dalam usia 82 tahun. [MJ] 

Foto: detikriau.org


Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT