“NEGOSIASI ETIK” ORANG PASAR
Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia
Selain zoon politicon yang dikenalkan Aristoteles untuk menggambarkan manusia sebagai makhluk sosial. Ada pula homo economicus. Sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Adam Smith untuk menjelaskan kedudukan manusia yang dalam kehidupan sosialnya berusaha untuk mempertimbangkan dan memperoleh keuntungan-keuntungan. Tentang yang terakhir ini, tentu saja kita bisa bersepakat, bisa juga tidak. Semua tergantung pada “keuntungan” seperti apa?; dengan cara apa mendapatkannya?; dan untuk tujuan apa keuntungan-keuntungan tersebut?. Mengenai hal tersebut, saya ingin berbagi tentang sedikit pengalaman.
Sesungguhnya tidak salah hidup dalam pertimbangan dan perhitungan keuntungan. Hanya saja manusia berbeda-beda dalam mendefiniskan keuntungan itu sendiri. Perhitungan ekonomis-materialistik dapat dibenarkan sebagai cara bertahan hidup, tetapi tidak bisa dibenarkan, jika ia dijadikan tujuan kehidupan. Menyepakati ini sama saja mengiyakan nihilisme, menafikan kehidupan mulia di dunia dan akhirat. Contohnya, karena sibuk mengejar harta, seseorang lupa menjadi manusia sosial. Kehidupannya dipenuhi angan-angan tentang kemewahan dan kemegahan individu, sehingga merasa harus untuk menipu, berbohong bahkan menutup jalan rezeki orang lain. Sederhananya ia salah alamat, dengan menjadikan “cara hidup” sebagai tujuan hidup. Karena melakukan aktivitas ekonomi sesungguhnya, hanya cara hidup dan melipatgandakan manfaat dan kualitas hidup untuk tujuan yang lebih mulia dan sejati, yaitu mempertanggungjawabkan kehidupan dunia dihadapan Tuhan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menuju Tuhan, oleh karenanyalah semua cara berkehidupan harus memiliki orientasi pada Tuhan. Syuhudul Wahdah fil Katsrah, Syuhudul Katsrah fil Wahdah.
Jalan terbaik untuk mencapai tujuan kepada Tuhan adalah menciptakan keseimbangan: antara dunia dan akhirat. Dalam konteks berdagang, semangat keseimbangan adalah sebuah keharusan. Selain mencari keuntungan, harus pula ada kontribusi sosial. Setelah mendapat rezeki, harus pula mengeluarkan zakat dan sedekah. Dengan cara ini maka keberkahan menjadi niscaya.
Pengalaman membersamai orang-orang pasar mengantarkan saya pada kesimpulan-kesimpulan agak berbeda tentang pasar. Jika pada umumnya, pasar diasumsikan sebagai tempat paling materialistik dan ekonomistik, maka tidak dengan beberapa tradisi orang pasar yang justru mengesankan kritik atas laku dagang yang berorientasi tunggal, hanya soal keuntungan materi semata. Tradisi tawar-menawar, Berelaan dan Ijab Qabul adalah tiga forma tradisi yang mengkonfirmasi argumentasi ini.
Jamak terjadi dipasar-pasar tradisional aktivitas tawar menawar harga. Secara substansi, hal tersebut merupakan bentuk komunikasi dan negosiasi bersifat sosial yang terjadi antara penjual dan pembeli. Dalam tawar menawar ada usaha untuk saling mengikhlaskan tentang harga, maksudnya adalah saling bersepakat sehingga tidak ada beban bagi keduanya.
Dalam masyarakat Banjar, ada istilah Berelaan. Sebuah istilah yang digunakan untuk meminta rela/rida atas sesuatu yang mungkin terjadi dalam prosesi dan peristiwa sebuah kegiatan, termasuk jual beli. Dalam jual beli, tawar menawar bisa saja berlangsung alot, bahkan mungkin tidak tercapai kesepakatan. Untuk saling “menghalalkan” atas salah dan khilaf yang mungkin menyakiti, ungkapan “berelaan” adalah tanda keikhlasan untuk saling melapangkan.
Yang terakhir, Ijab Qabul. Adalah serah terima antara penjual dan pembeli. Tradisi ini mungkin berlaku umum dan terjadi di banyak tempat. Dalam tradisi masyarakat Banjar, Ijab Qabul dalam jual beli ditandai dengan ungkapan: Jual lah (Saya jual barang ini) oleh pembeli, dan langsung dijawab: tukar lah (saya beli barang ini) oleh pembeli. Menjadi penanda saling rida atas barang yang dijual dan yang dibeli, oleh penjual dan pembeli.
Tiga tradisi jual beli di atas menjadi bukti akumulasi nilai-nilai yang diwujudkan dalam perniagaan. Di dalamnya ada unsur sosial, melaksanakan ideal moral agama dan kemanusiaan. Secara sosial-kemanusiaan tradisi itu merekatkan, tidak mendelegitimasi peran-peran kemanusiaan dengan menganggap pembeli sebagai orang yang juga berhak mengukur harga dan memberikan penilaian. Ini berbeda dengan pola pasar modern semisal mall dan sejenisnya yang meminimalkan interaksi dengan melabel harga pasti (tidak bisa ditawar) di setiap produknya.
Apa yang terjadi di pasar tradisional, merupakan bentuk “negosiasi sosial” orang pasar yang bermuatan etis-religius. Kesadaran yang terbangun dari pondasi agama dan kebudayaan lokal. Semangat yang juga menjadi perintah Tuhan dalam Al-Qur’an, surah Al-Nisa ayat 29:"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka/keridaan di antara kamu....”. Tentang keridaan dalam jual beli, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dalam tafsirnya menegaskan bahwa keridaan (dalam memperoleh harta/ jual beli) adalah sumber ketenangan jiwa. Ini penting, mengingat hanya dengan hati yang rida dan diridai-Nya lah kita ingin kembali kepada-Nya. [MJ]
Gambar: Google/ nu.or.id
Komentar
Posting Komentar