ORANG-ORANG PASAR DAN KEMERDEKAANNYA

Bang Zul
Rumah Transformasi Indonesia


Pengalaman saya bergaul dengan orang-orang pasar tidak melulu soal untung rugi dan ramai sepinya pembeli. Ada pandangan hidup pedagang yang otentik, orisinil dan hakiki. Logika dan dasar berfikir orang-orang pasar yang jarang terlihat di permukaan karena banyak orang hari ini terlanjur mengasumsikan “menjadi pegawai kantoran” sebagai pekerjaan terhormat nomor wahid yang harus diperjuangkan, bahkan kalau perlu dengan cara menyuap untuk mendapat posisi. Setidaknya, begitu yang terdengar di banyak media setiap musim pendaftaran calon pegawai. Sebuah pekerjaan impian yang memang berhasil mendefinisikan kelas dan status sosial. Dalam situasi seperti itu, pilihan menjadi pedagang, mau tidak mau, suka tidak suka akan kalah pamor dengan pegawai dan cenderung dikesankan sebagai pekerjaan kelas dua. Belum lagi soal tren beralihnya konsumen ke aktivitas jual beli berbasis online. Keadaan yang semakin menghimpit para pedagang tradisional. Secara sosial, moral dan ekonomi, ini adalah situasi yang sangat tidak menguntungkan. Tapi mengapa para pedagang tetap membuka lapaknya?, menggelar dagangannya?. Ada “Kemerdekaan” yang sedang mereka jalani dan perjuangkan.

Di pasar, saya menemukan “orang-orang bersih” dan jujur. Beberapa pedagang, saya ketahui adalah sarjana. Diantaranya bahkan alumni fakultas hukum yang lebih memilih menjadi penjual ayam potong dibanding menjadi hakim pengadil atau pengacara. Alasannya sederhana, menghindari hal-hal yang samar, kemungkinan terjebak dalam pembenaran yang salah. Keputusannya mungkin terlihat biasa, namun sebenarnya menunjukkan kemerdekaan bersikap dalam memegang prinsip. Hal ini tentu saja, bukan untuk mengatakan bahwa profesi advokat dan profesi bidang hukum lainnya itu tidak mulia, ia juga mulia, semulia semua pekerjaan yang  terus memperjuangkan kebaikan, keadilan dan kebenaran. Dari sudut pandang sosial, mungkin pedagang ayam ini dianggap “kalah,” karena tidak bersaing menduduki level dan jenjang karirnya di bidang kehukuman. Namun, menurut saya, ia menang-merdeka dalam memutuskan untuk menjauh dari potensi melakukan ketidakadilan,  putusan pengadilan transaksional yang mungkin akan terjadi. Bukankah ini kehati-hatian dalam hidup yang berisi nilai, substansi, ideal dan moral agama.

Menjadi pedagang berarti kesiapan bersosialisasi kepada siapapun, melintasi sekat-sekat agama, suku dan strata sosial. Orientasinya memang ekonomistik,”saya jual anda beli. Anda untung, saya untung.” Meskipun demikian, integritas personal adalah keharusan: sabar, jujur dan ramah kepada pelanggan langsung diuji saat itu juga, saat proses jual beli. Kesan yang baik adalah potensi keuntungan dan nilai tambah baginya. Intinya, sikap dan kepribadian sosial pedagang  harus pula dilakukan dengan jujur, tulus dan tidak palsu. Sebuah latihan kepribadian berkelanjutan yang lambat laun akan menemukan kesejatiannya. Argumen ini dapat dibuktikan dengan terbentuknya banyak komunitas sosial informal orang-orang pasar: Majelis ta’lim, komunitas olahraga, komunitas memancing, bahkan suporter sepak bola lokal cabang orang-orang pasar. Pada waktu-waktu tertentu, pedagang punya cukup waktu untuk bersilaturahmi dan belajar lewat forum-forum tersebut. Ini salah satu bentuk kemerdekaan juga bukan?.

Kendati merdeka atas usaha yang dimilikinya, tidak lantas membuat pedagang bebas atas usahanya. Ia ditempa keadaan pasang surut situasi ekonomi. Menutup toko atau tidak berjualan adalah sesuatu yang berat, tidak akan dilakukannya kecuali dalam keadaan terpaksa dan karena hal-hal darurat. Pedagang memiliki keyakinan bahwa setiap hari adalah potensi ekonomi. Kesadaran dan etos kerja yang bermuara pada Hadis Nabi: “sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (Ahmad)
  
Setiap pekerjaan mungkin memiliki sisi kemerdekaannya masing-masing. Siapapun akan merdeka atas profesinya selama tidak mendustai hati nurani, kebenaran, keadilan, hak alam dan hak-hak kemanusiaan lainnya. Singkatnya, eksistensi kehidupan, dan atas profesinya itu memberikan manfaat bagi semua. Persoalannya hari ini, adalah banyak orang yang abai atas nilai-nilai. Menganggap semuanya dapat dibeli. Mendapatkan pekerjaan bergengsi, menduduki jabatan, meloloskan proyek dilakukan dengan suap dan korupsi. Jika ini yang terjadi, kemerdekaan bukanlah jadi tujuan hidupnya. Ia sedang mempersempit makna merdeka. Kemerdekaannya hanya soal uang yang sudah pasti tidak membahagiakannya. sehingga wajar muncul anekdot: “kini sembilan dari sepuluh pintu rizki sudah tidak hanya pada perdagangan, melainkan di kantor-kantor pemerintahan (yang) didalamnya juga ada ‘perdagangan proyek’.”

Kemerdekaan lahir dari hati yang taqarrub kepada Allah. Jujur, sabar, tawakkal, bersikap adil yang ditampilkan dalam kehidupan akan menjadi wasilah bagi banyak kemerdekaan lainnya. Dari pedagang, saya menemukan: kemerdekaan dalam memegang teguh prinsip dan idealisme. Ia tidak diatur oleh pimpinan, karena ia sendiri pemimpin atas usahanya yang berhak merencanakan, mengatur strategi usahanya; kemerdekaan menjadi manusia sosial, melintasi batas-batas kesukuan dan agama, memandang semua manusia sebagai manusia yang harus dilayani, oleh karenanyalah pedagang selalu punya banyak persahabatan dari berbagai macam golongan. Sebuah aktivitas ekonomi yang membongkar sekat-sekat eksklusivitas kelompok. Sebuah pandangan hidup orang-orang pasar yang sungguh tidak sederhana. Selain sebagai pelaku ekonomi, Ia juga aktor sosial. Semakin tinggi jaringan sosialnya, semakin tinggi pula potensi ekonominya. Di dalam perdagangan yang dilakukannya ada nilai “silaturahim,” yang di dalam banyak hadis dijelaskan sebagai wasilah peluas rezeki. Itulah mungkin salah satu esensi penting dalam perniagaan. 

Sebagai kalam pamungkas untuk mengakhiri tulisan ini, izinkan saya untuk mengingat pengajian kitab berjudul Mukhtar Al-Ahadits Al-Nabawiyyah wa Al-Hikam Al-Muhammadiyyah, sebuah kitab yang biasa kami kaji dengan dipimpin oleh seorang Abah Guru menjelang waktu berbuka puasa saat masih belajar di pesantren dulu. kitab Hadis ini disusun oleh Sayyid Ahmad Al-Hasyimi secara alfabetis. Pada bagian khusus hadis-hadis yang berawalan huruf “Ta”, terdapat dua Hadis yang matan-nya berawalan kata “al-Tajir” (Pedagang). Hadis yang pertama adalah riwayat Al-Daylami, berbunyi: “Pedagang yang jujur berada di bawah naungan arasy pada hari kiamat.” Sedang Hadis yang kedua diriwayatkan oleh Al-Tirmidzi dengan redaksi: “Pedagang yang terpercaya dan jujur (kelak di hari kiamat akan dikumpulkan) bersama para Nabi, Shiddiqin, syuhada dan orang-orang shaleh. Dua pesan langit ini, menjadi ilham (sekaligus) menunjukkan jalan-jalan kemerdekaan yang sesungguhnya. Pedagang lurus-merdeka (mungkin) sudah sejak dulu tahu tentang dua pesan suci ini?. Wa Allah A’lam bi al-Shawab. [MJ] 

Gambar: onopo.id  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ALUMNI PESANTREN, KESEIMBANGAN DAN VISI BERSAMA

ALUMNI ADALAH KEKUATAN

MODERAT DAN RAHMAT