VISI DAGANG MBOK DANANG
Bang ZulRumah Transformasi Indonesia
Bagi santri yang mondok di seputaran Krapyak-Bantul, nama Mbok Danang tentu tidak asing. Nama yang juga menjadi label alamiah warung makan yang dimilikinya. Setidaknya itu nama warung yang disematkan pada rumah makan yang sebenarnya tak berplang itu. Posisinya tepat di samping asrama santri Al-Munawwir, Krapyak.
Saya termasuk yang kerap makan di warung ini. Warung idola para santri. Murah meriah, sederhana, merakyat. Saya pikir itu, kesan umum orang kebanyakan tentang warung Mbok Danang. Kesan yang saya simpulkan dari pengalaman nyantri di Krapyak sejak 2007 hingga 2011. Pengalaman penting berinteraksi dengan mbok danang: makan di warungnya, memperhatikan cara berdagangnya, sambil berusaha memahami substansi, esensi dan nilai-nilai.
Di warung Mbok Danang, satu porsi/ bungkus nasinya jumbo, bisa dimakan oleh dua orang. Itu jika pembeli diam, tak bersuara: cukup mbok! Atau dikurangi sedikit mbok!. Mbok Danang memang tak pernah ragu menuangkan nasi dan sayur dalam jumlah yang banyak. Mbok Danang seolah paham benar porsi santri yang biasanya juga banyak. Satu lagi, pembeli bersarung (santri) selalu dipanggil “gus”: niki gus! Sampun gus! Sambil menyodorkan bungkusan nasi adalah kalimat yang masih segar dalam ingatan sampai hari ini. Mbok Danang yang memang ramah dan selalu mengingatkan tentang ibu.
Seingatku, menu paling murah, nasi sayur plus tempe hanya 2000 rupiah, gratis air minum. Murah luar biasa bukan?. Meski murah, Mbok Danang tetap menyediakan buku kecil panjang, yang biasa digunakan untuk catatan hutang. Buku itulah yang dipakai sebagian santri untuk mencatat tentang apa yang dimakan dan diminumnya agar mudah diingat saat pembayaran di akhir bulan. Sudah murah, Mbok Danang masih rela dihutangi santri. Itulah Mbok Danang, pola dagangnya tidak umum, mendobrak kemapanan teori ekonomi bisnis manapun.
Dengan pola dagang semacam itu, sulit kiranya berharap untung banyak. Untung bagi mbok Danang nampaknya bukan semata uang. Yang penting warung terus buka, santri bisa makan, perutnya terisi, belajar dan menghafal Al-Qur’an jadi lebih tenang. Meski hanya kembali modal, sepertinya bukan soal. Dari sini kita bisa mengerti siapa Mbok Danang?.
Sulit sesungguhnya menjadi Mbok Danang. Berdagang dengan kesyukuran, naluri filantropisnya turut hadir ketimbang hanya sekedar mencari keuntungan. Mungkin, baginya untung adalah membantu sebanyak-banyak orang, terlebih bagi santri penuntut ilmu. Mbok Danang adalah antitesis dari orientasi ekonomi materialistik. Visi spiritual dalam perdagangannya melengkapi: ibadah dan kesalehan sosial.
Sosok pedagang berhati mulia seperti Mbok Danang masih ada. Simbol kemenangan nurani daripada nafsu, kekayaan hati dari hanya sekedar kaya materi. Mbok Danang berhasil membalik nilai-nilai umum, yang cenderung berusaha untuk sekedar harta. Sikap dan sifatnya dibutuhkan di tengah dunia yang timpang tidak seimbang. Saat uang dan harta dituhankan, popularitas, citra dan jabatan seperti keharusan dan harga mati. Kompetisi dan orientasi hidup tidak sehat yang telah banyak menelan korban, menggelincirkan banyak orang berbagai kalangan : mulai dari pegawai rendah hingga kepala daerah, pengusaha dan pejabat. Semua itu adalah tanda dan gejala tentang orientasi keduniaan akut yang terjadi di tengah-tengah kita hari ini.
Dari sosok Mbok Danang kita belajar tentang berdagang dengan syukur. Karena di dalam syukur ada bahagia yang terus menjadi “bahan bakar” dan energi untuk berproses dan berkembang. Berusaha, lalu menjadi kaya harta sesungguhnya bukan tujuan utama. Karena ia tak berujung dan tak pernah selesai. Sehingga benarlah kata Imam Syafi’i: “idza ma kunta dza qalbin qanu’in fa anta wa malik al-dunya sawa‘/ kalau hatimu penuh rela dan merasa cukup, maka kau dan raja sebenarnya sama.” Sekali lagi, harta bukan puncak bahagia. Syukurlah yang menjadikanmu seperti “raja”. Logika agama memang selalu tak terduga, kadang tak terpikirkan dan membalik teori ekonomi dan bisnis mana saja. Contohnya, harta bisa bertambah dan berkah bukan dengan mengejarnya habis-habisan, tapi justru membagikannya dengan bersedekah. Untuk membuktikan itu mudah, sampai hari ini Mbok Danang masih terus berdagang. [MJ]
Foto: Warung dan Depot Es Van BuddinghJuru Foto: C. Koene & Co.Oleh: Ir. Djoko Luknanto, M.Sc., Ph.D.Sumber: luk.staff.ugm.ac.id/itd/
Komentar
Posting Komentar